Tali Pengikat Integritas: Batasan Pekerjaan Sampingan Bagi Hakim dalam Kode Etik

Pembatasan pekerjaan sampingan bagi Hakim didasarkan pada tiga prinsip utama dalam KEPPH: Mandiri, Integritas Tinggi, dan Profesional.
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com

Jabatan Hakim adalah profesi luhur yang menuntut dedikasi penuh, independensi mutlak, dan integritas tidak tergoyahkan. 

Demi menjaga martabat dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, setiap perilaku Hakim, baik di dalam maupun di luar pengadilan, diatur ketat oleh kode etik dan pedoman perilaku Hakim (KEPPH). 

Salah satu aspek krusial yang diatur, adalah larangan dan batasan terkait memiliki pekerjaan sampingan.

Di Indonesia, landasan utama kode etik hakim adalah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Ri Dan Ketua Komisi Yudisial RI nomor 047/kma/skb/iv/2009 dan nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 (selanjutnya disebut KEPPH). 

Walaupun KEPPH tidak secara gamblang mencantumkan pasal yang berbunyi Hakim dilarang punya pekerjaan sampingan, larangan tersebut ditegaskan melalui berbagai prinsip fundamental yang terdapat di dalamnya.

Prinsip Utama Yang Membatasi Pekerjaan Sampingan

Pembatasan pekerjaan sampingan bagi Hakim didasarkan pada tiga prinsip utama dalam KEPPH: Mandiri, Integritas Tinggi, dan Profesional.

   1. Prinsip mandiri dan larangan rangkapan jabatan

Sikap mandiri bermakna, bahwa hakim harus bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Pekerjaan sampingan, berpotensi mengganggu prinsip ini. Meskipun Hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang tunduk pada peraturan umum, larangan yang melekat padanya jauh lebih ketat.

Secara umum, KEPPH melarang rangkap jabatan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih spesifik, peraturan pelaksana sebelumnya (seperti petunjuk pelaksanaan pedoman perilaku Hakim) dan peraturan kepegawaian menegaskan bahwa Hakim:

  • Dilarang membuka usaha.
  • Dilarang berpraktik hukum (Advokat, Konsultan Hukum, Atau Pekerjaan Sejenis).
  • Dilarang bertindak sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali diperintahkan atau diperbolehkan Undang-Undang atau Peraturan.

Intinya, Hakim dilarang melakukan aktivitas di luar kedinasan yang dapat mengganggu waktu dan fokus pada tugas yudisial atau yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas pokoknya.

   2.Prinsip integritas tinggi dan konflik kepentingan

Integritas tinggi menuntut Hakim untuk berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi. Pekerjaan sampingan dapat menjadi celah bagi masuknya pengaruh eksternal yang mengancam integritas.

Jika Hakim memiliki bisnis atau pekerjaan sampingan yang melibatkan orang atau pihak yang berpotensi berperkara di pengadilannya, akan menciptakan konflik kepentingan yang jelas. 

Masyarakat akan meragukan kenetralan Hakim, dan hal ini bertentangan dengan prinsip berperilaku adil dan berintegritas tinggi (Pasal 1 KEPPH). Bahkan hanya kesan adanya konflik kepentingan, sudah dianggap sebagai pelanggaran etik.

   3.Prinsip profesional dan dedikasi penuh

Tugas utama Hakim adalah pengabdian yang tulus, bukan semata-mata mencari penghasilan materi. Prinsip profesional menuntut Hakim untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta meningkatkan pengetahuan dan kinerja. 

Pekerjaan sampingan, sekecil apa pun, akan mengurangi waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan untuk menganalisis perkara, meningkatkan kompetensi, atau menjalankan tanggung jawab administratif pengadilan. 

Dedikasi penuh (full-time dedication) yang dituntut dari seorang Hakim membuat pekerjaan sampingan praktis mustahil untuk dilakukan tanpa melanggar prinsip profesionalitas.

Batasan Pekerjaan Sampingan

Dalam praktik, Hakim umumnya diperbolehkan memiliki aktivitas di luar kedinasan yang bersifat pasif dan non-komersial, seperti:

  • Kegiatan akademik, seperti menjadi dosen tidak tetap atau memberikanpelatihan, selama kegiatan tersebut tidak berbenturan dengan jam kerja dan tidak memberikan honorarium yang dapat menimbulkan kecurigaan.
  • Kepemilikan saham/properti diperbolehkan, asalkan kepemilikan tersebut pasif (bukan sebagai pengurus aktif) dan dilakukan secara transparan serta tidak dominan sehingga memengaruhi waktu kerja.

Secara garis besar, KEPPH mengatur Hakim harus memastikan sikap, tingkah laku, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. 

Pekerjaan sampingan dinilai berdasarkan kriteria independensi, profesionalitas, atau integritas. 

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews