Di era digital seperti sekarang, hampir semua hal bisa dilakukan secara daring—termasuk urusan paling personal sekalipun: pernikahan. Tak sedikit pasangan memilih menikah lewat platform video call seperti Zoom, terutama saat pandemi lalu. Tetapi kemudian muncul pertanyaan yang menggelitik: sahkah pernikahan yang dilakukan tanpa tatap muka langsung? Cukupkah hanya dengan cinta, cincin, dan cap jempol digital?
Menurut hukum di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam praktiknya, pernikahan harus dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah dan dihadiri dua orang saksi. Artinya, kehadiran fisik masih menjadi tolok ukur penting untuk memenuhi unsur sahnya pernikahan secara negara. Soal perubahan atau penyesuaian aturan mengenai sahnya pernikahan daring merupakan ranah instansi pembentuk regulasi, seperti kementerian terkait dan pembentuk undang-undang, untuk menetapkan secara jelas tata cara dan syaratnya.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi berperan ketika muncul sengketa hukum terkait pernikahan daring, misalnya permohonan pengesahan pernikahan atau gugatan pembatalan pernikahan yang dilakukan secara jarak jauh. Di sini hakim harus berhati-hati, mempertimbangkan keabsahan dokumen, legalitas saksi, dan niat baik para pihak. MA juga dapat menyusun pedoman teknis bagi para hakim untuk menangani perkara serupa, memastikan setiap putusan selaras dengan hukum positif dan rasa keadilan.
Meski belum banyak kasus nikah daring yang sampai ke meja hijau, tren ini bisa menjadi tantangan hukum di masa depan. Apalagi jika menyangkut hak-hak turunan seperti akta kelahiran anak, waris, dan hak atas harta bersama.
Inovasi teknologi memang tak bisa dibendung, tetapi harus diimbangi dengan kepastian hukum dan perlindungan hak para pihak. Peran MA di sini adalah sebagai penjaga marwah peradilan, memastikan setiap sengketa diputuskan berdasarkan hukum yang berlaku, sambil menunggu adanya kepastian regulasi dari instansi pembentuk undang-undang.
Pernikahan bukan sekadar momen romantis, tetapi peristiwa hukum yang berdampak panjang. Jadi, sebelum mengatakan “sah” di depan kamera, pastikan juga sah di mata hukum.