Dispensasi Kawin Demi Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Awalnya negara melalui undang-undang, telah menentukan suatu batas umur penduduk untuk dapat melangsungkan perkawinan
ilustrasi pernikahan. Foto : Freepik.com
ilustrasi pernikahan. Foto : Freepik.com

Pemberian izin dari pengadilan kepada calon suami/isteri yang belum berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk melangsungkan perkawinan atau lebih dikenal sebagai dispensasi kawin. 

Adapun dispensasi kawin, semakin marak permohonannya diajukan di beberapa daerah Indonesia. 

Awalnya negara melalui undang-undang, telah menentukan suatu batas umur penduduk untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti kesehatan, mental, pendidikan dan ekonomi (vide Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)

Dalam ketentuan dimaksud, perkawinan hanya diizinkan bagi laki-laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. 

Hal mana batas umur pria dan wanita yang berbeda dipandang sebagai sutau diskriminasi sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017. 

Salah satu pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menjelaskan “Tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi”.

Hal tersebut diselaraskan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang merubah ketentuan batas usia melangsung perkawinan yakni pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. 

Penyimpangan terhadap batas umur 19 tahun diberikan jalan keluar melalui dispensasi kawin.

Dalam Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur bahwa dalam hal terjadi penyimpangan terdahap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. 

Alasan sangat mendesak menjadi poin penting dalam hal menerobos batas umur dibolehkannya perkawinan. 

Bahwa alasan sangat mendesak dimaknai sebagai keadaan tidak adanya pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan, dengan disertai bukti-bukti pendukung yang cukup seperti surat keterangan dari tenaga kesehatan, yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang, untuk mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. 

Pembuktian terhadap alasan sangat mendesak tersebut, dilakukan di pengadilan melalui permohonan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam.

Adanya persyaratan berupa alasan sangat mendesak tersebut, bukan dalam konteks mempermudah adanya perkawinan anak, tetapi upaya membatasi perkawinan anak. 

Indonesia sebagai negara pihak dan mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak), menyadari bahwa anak merupakan sumber daya insani bagi pembangunan nasional yang mana pembinaan kesejahteraanya melalui pengembangan hak-haknya menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa dan negara, sehingga segala tindakan terhadap anak dilakukan demi kepentingan terbaik anak, serta wajib dipastikan perlindungan, pengasuhan, kesejahteraan, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

Proses peradilan dalam permohonan dispensasi kawin agar tetap mengutamakan kepentingan terbaik bagi Anak. 

Guna menjamin hak anak tersebut, Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. 

Pemohon yang merupakan orang tua dari anak yang dimohonkan untuk dispensasi kawinnya, harus mampu membuktikan adanya alasan yang sangat mendesak, selain itu anak yang dimintakan permohonan dispensasi kawin, calon suami/isteri dan orang tua/wali dari calon suami/isteri harus dihadirkan pula di persidangan. Bilamana tidak dihadiri pihak-pihak tersebut, menyebabkan permohonan dispensasi kawin tidak dapat diterima. 

Tidak hanya hadir, melainkan anak yang dimintakan dispensasi kawin, calon suami/isterinya, orang tua/wali anak maupun calon suami/isterinya juga dimintai keterangan dalam hal nantinya dilakukan identifikasi, terkait apakah anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui dan menyetujui atau tidak rencana perkawinannya, kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan Anak melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan rumah tangga, dan ada tidaknya paksaan psikis, fisik, seksual atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarga untuk kawin atau mengawinkan Anak.

Selain itu dilihat pula latar belakang dan alasan perkawinan anak, adanya perbedaan usia antara Anak dan calon suami/isteri maupun memastikan komitmen orang tua untuk ikut bertanggung jawab terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan anak. 

Hakim yang menangani perkara permohonan dispensasi kawin, juga diwajibkan untuk memberikan nasihat kepada pemohon, anak, calon suami/ isteri dan orang tua/wali calon suami/isteri perihal risiko perkawinan yang mungkin terjadi apabila anak dan calon suami/isteri anak yang belum berusia 19 tahun tersebut melangsungkan perkawinan. 

Hal ini, dapat berpotensi ketidakberlanjutan dalam menempuh wajib belajar selama 12 tahun, kemungkinan belum siapnya organ reproduksi, dan munculnya dampak ekonomi terkait ketidak sanggupan menghidupi keluarga kedepannya. 

Demikian juga, adanya dampak sosial dalam lingkungan masyarakat dan dampak psikologis selama menjalani perkawinan, serta ketidaksiapan mental menghadapi potensi perselisihan dan konflik dalam rumah tangga.
 
Bahkan untuk menjamin kemerdekaan anak, tanpa adanya tekanan dan paksaan serta hak-hak anak lainnya selama proses persidangan, anak dapat didengar keterangannya tanpa kehadiran orangtuanya, melalui komunikasi audio visual jarak jauh dan didampingi pendamping anak, atau juga dihadirkan penerjemah/orang yang biasa berkomunikasi dengan anak. Selain itu, hakim dan panitera pengganti dalam memeriksa anak tidak memakai atribut persidangan.

Instrumen hukum dispensasi kawin yang telah disusun baik, dengan semangat pencegahan perkawinan dini pada anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak, harus dihadapkan dengan fenomena sosial kemasyarakatan.

Fenomena hamil di luar nikah yang marak terjadi di Indonesia, salah satu faktor para orang tua dengan mengajukan permohonan dispensasi kawin, guna melegalkan secara hukum negara. 

Di sisi lain, adanya fakta bahwa anak merasa terpaksa atas adanya perkawinan, anak belum siap membangun rumah tangga, pendidikan anak yang harus dikorbankan dan apabila dilanjutkan ada potensi setelah bayi yang dikandung lahir terjadi perceraian. 

Ketidaksiapan mental anak, juga berpotensi menyebabkan selama perkawinan terjadi kekerasan. 

Guna mencari titik seimbang dengan melihat alasan yang sangat mendesak yang menyebabkan permohonan dispensasi dikabulkan dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak nantinya dalam beberapa kasus akan sulit tercapai. 

Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat memperbaharui atau merekayasa masyarakat berperan mengubah nilai-nilai sosial di masyarakat maupun sebagai sarana kontrol masyarakat. 

Dalam konteks ini, hukum membuat masyarakat memohon izin terlebih dahulu, bilamana melakukan penyimpangan terhadap batas umur saat dilakukannya perkawinan.

Namun, fenomena sosial di masyarakat, akhirnya membelokkan arah tujuan hukum dengan dalih adanya alasan yang sangat mendesak, akan mengikis pemaknaan kepentingan terbaik bagi anak. 

Pada saatnya penetapan dispensasi kawin, hanya sebagai dasar pembenaran adanya kesalahan yang dilakukan oleh orang tua dan anaknya.

Maka, dipensasi kawin dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak harus dibangun tidak hanya dari instrumen hukum dan penegakannya, melainkan juga memberdayakan masyarakat melalui proses pendidikan, pemberian pengetahuan serta kesadaran untuk mencegah adanya perkawinan anak dengan mempertimbangkan indikator kesehatan, psikologis, adat istiadat, moral dan agama serta dampak-dampak yang ditimbulkan.

Penulis: Yoga Pramudana
Editor: Tim MariNews