Perkembangan hukum perkawinan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sistem hukum Eropa kontinental, khususnya tradisi hukum Austria-Hongaria yang memberikan landasan konseptual penting bagi transformasi institusi perkawinan dari ranah keagamaan menuju regulasi negara. Transformasi ini memiliki akar sejarah yang dapat ditelusuri hingga reformasi hukum perkawinan yang dilakukan oleh Kaisar Joseph II melalui Marriage Patent 16 Januari 1783 (Savuliak:2024)
Marriage Patent 1783 merupakan tonggak sejarah penting yang menetapkan otoritas negara untuk mengatur secara legal hubungan perkawinan dan mentransfer sengketa hukum yang timbul dari hubungan tersebut kepada pengadilan dengan yurisdiksi sekuler. Sebelumnya, yurisdiksi gerejawi eksklusif dalam masalah perkawinan berdasarkan hukum kanonik tidak dapat diperdebatkan. Namun, melalui Marriage Patent ini, terjadi pemisahan formal antara hukum perkawinan negara dari hukum gereja untuk pertama kalinya.
Selain Marriage Patent 1783, ada juga aturan yang dikenal dengan Josephine Code. Peraturan tersebut mengukuhkan reformasi yang diperkenalkan melalui Marriage Patent tersebut, dengan menetapkan perkawinan sebagai perikatan individu secara negara atau dikenal sebagai konsep kontrak sipil. Transformasi ini, sebagaimana dicatat oleh sejarawan hukum Jerman Gerd Klein Heyer, secara aktual berarti penggantian hukum gereja tentang perkawinan dengan regulasi negara terhadap hubungan perkawinan (Savuliak:2024). Perubahan radikal ini menimbulkan perlawanan gereja, karena selama ini hanya gereja yang melaksanakan perkawinan.
Adopsi prinsip-prinsip hukum Eropa kontinental ini kemudian memengaruhi perkembangan sistem hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan yang semula dipandang sebagai sakramen keagamaan, secara bertahap bertransformasi menjadi institusi yang diatur dan dimediasi oleh negara. Hal ini tercermin dalam sistem administrasi perkawinan Indonesia yang melibatkan Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat, serta Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama sebagai institusi pemutus sengketa.
Perubahan ini menunjukkan bagaimana negara mengambil alih peran yang sebelumnya didominasi oleh institusi keagamaan. Meskipun aspek sakramental perkawinan tetap diakui, validitas hukumnya kini ditentukan oleh kontrak perkawinan dan surat nikah yang dikeluarkan oleh negara melalui lembaga-lembaga resmi.
Lebih lanjut, penegasan peran negara dalam pengikatan perkawinan layaknya kontrak sipil diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Undang-undang ini merepresentasikan sintesis antara tradisi hukum kontinental dengan karakteristik sosial-budaya Indonesia, dimana negara mengambil peran sentral dalam mengatur institusi perkawinan sambil tetap mengakomodasi aspek keagamaan.
UU Perkawinan secara tegas menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang, yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim. Prinsip pencatatan wajib ini mengadopsi konsep Marriage Patent 1783 yang menekankan validitas perkawinan melalui kontrak dan surat resmi negara, bukan semata-mata melalui upacara keagamaan.
Lebih lanjut, undang-undang ini menetapkan sistem peradilan dwi-fungsi untuk menyelesaikan sengketa perkawinan: Pengadilan Agama untuk umat Islam dan Pengadilan Negeri untuk non-Muslim. Dualisme ini mencerminkan adaptasi kreatif dari prinsip yurisdiksi sekuler dalam Marriage Patent, disesuaikan dengan realitas pluralisme agama di Indonesia
UU Perkawinan menjadi instrumen negara untuk mengatur institusi perkawinan secara komprehensif, mencakup prosedur, persyaratan, dan penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan formal.
Dengan demikian, sejarah hukum perkawinan di Indonesia menunjukkan evolusi dari sistem yang berbasis keagamaan menuju sistem yang didominasi regulasi negara melalui UU No. 1/1974, mengadopsi prinsip-prinsip hukum Eropa kontinental yang memandang perkawinan sebagai kontrak sipil yang diatur secara komprehensif oleh negara sambil tetap mengakomodasi dimensi spiritual-keagamaan masyarakat Indonesia.