Laku tidaknya sebuah produk, salah satunya bergantung pada dikenal atau tidaknya produk tersebut oleh masyarakat. Metode yang sering digunakan untuk memperkenalkan produk salah satunya melalui iklan.
Iklan banyak digunakan oleh pelaku usaha untuk mengenalkan produknya kepada khalayak luas banyak macamnya, tak terkecuali iklan melalui akun media sosial.
Metode iklan melalui akun media sosial memiliki dampak besar bagi cara pandang masyarakat dalam menentukan pilihan terhadap produk yang diinginkannya.
Hal itu disebabkan intensitas masyarakat menggunakan media sosial dewasa ini semakin besar.
Iklan melalui media sosial tersebut lazim digunakan oleh pelaku usaha dengan menggunakan jasa orang yang memiliki followers banyak pada akun-akun media sosial mereka.
Orang-orang tersebut lazim disebut sebagai selebriti media sosial, selebgram, dan sebutan lain yang mana populer disebut sebagai influencer.
Influencer media sosial adalah orang yang telah membangun jaringan sosial dengan jumlah pengikut yang banyak dan jumlah pengikut tersebut merepresentasikan tingkat kepopuleran mereka (De Veirman, Cauberghe, & Hudders, 2017).
Dengan jumlah pengikut di media sosial yang banyak, influencer memiliki pengaruh besar terhadap persepsi dan opini masyarakat.
Iklan melalui media sosial juga dinilai memiliki biaya yang lebih terjangkau, salah satu alasan beriklan melalui influencer menjadi cara yang populer adalah harga yang dipatok lebih terjangkau dibandingkan dengan iklan melalui televisi.
Biaya iklan melalui influencer hanya membutuhkan 10 persen dibandingkan biaya penayangan iklan di TV (Ahmad Zaenudin, 2018).
Sebelum melakukan perjanjian periklanan antara pelaku usaha dengan influencer, mereka melakukan perjanjian periklanan. Lazimnya, dalam perjanjian tersebut pelaku usaha akan membayar sesuai dengan tarif yang disepakati, sedangkan influencer akan mengiklankan produk pelaku usaha melalui akun media sosial yang mereka miliki dalam bentuk gambar maupun video disertai dengan caption tertentu sesuai produk yang diiklankan.
Strategi iklan tersebut mencakup banyak produk, diantaranya kosmetik, makanan, minuman, dan produk-produk lainnya.
Namun tersirat dalam benak, bagaimana bila ternyata produk barang yang diiklankan oleh influencer tersebut berbahaya bagi masyarakat? Apakah influencer dapat dibebani pertanggungjawaban secara perdata?
Pelaku usaha dalam melakukan kerjasama periklanan dengan influencer dalam rangka mengenalkan produknya kepada khalayak luas tentunya berharap dapat meningkatkan angka penjualan produk mereka.
Apalagi pada era digital seperti sekarang serta mahalnya biaya iklan suatu produk barang melalui kanal televisi, mengiklankan suatu produk barang melalui influencer adalah sebuah langkah tepat yang dapat diambil oleh pelaku usaha.
Pelaku usaha sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah orang perseorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum atau bukan yang didirikan dan berkedudukan atau berkegiatan dalam wilayah hukum Indonesia, baik sendiri atau bersama-sama melalui perjanjian terkait kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Kemudian dalam konteks hubungan hukum ada 2 (dua) hubungan hukum yang dapat dilihat pada kasus pelaku usaha mengiklankan produk barangnya melalui influencer, yakni :
- (1) hubungan antara pelaku usaha dengan influencer. Dalam konteks ini, pelaku usaha menjalin kerjasama mengiklankan produknya melalui influencer. Yang Mana dapat berbentuk perjanjian kerjasama, adapun pengaturan perjanjian sendiri diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana syarat sahnya perjanjian meliputi sepakat, cakap, obyek tertentu dan kausa yang halal. Selain itu tentunya berlaku pula Pasal 1338 KUHPerdata, persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya, oleh karenanya pelaku usaha dan influencer terikat dalam perjanjian dalam hubungan kerjasama antar mereka
- (2) hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, keberadaan influencer adalah untuk mengiklankan produk pelaku usaha kepada masyarakat atau konsumen agar lebih mengenal, tertarik dan mau membeli produk para pelaku usaha. Sehingga influencer bertugas sebagai penghubung antara pelaku usaha dengan masyarakat sebagai konsumen dalam mengenalkan produk barang milik pelaku usaha. Apabila masyarakat menyukai produk yang diiklankan melalui influencer, maka masyarakat akan membeli dan menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut, sehingga disinilah terjadi hubungan antara pelaku usaha dengan masyarakat sebagai konsumen.
Sebagai pihak yang menyebarluaskan iklan suatu produk barang, influencer seharusnya memiliki kewajiban bahwa produk tersebut memenuhi syarat yang aman untuk dipakai atau dikonsumsi oleh masyarakat sebagai konsumen.
Hal itu sejalan dengan hak-hak konsumen sebagaimana dimuat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan serta keselamatan dalam mengkonsumsi barang.
Konsumen berhak memilih dan mendapatkan barang sesuai dengan yang dijanjikan serta berhak terhadap informasi yang benar, jelas serta jujur terkait kondisi barang.
Kemudian apabila diketahui produk barang yang diiklankan oleh influencer terdapat indikasi masalah, misalnya cacat produk barangnya, produknya illegal maupun produk yang tidak aman dipakai atau dikonsumsi, di Indonesia belum ada mekanisme pertanggungjawabannya bagi influencer, yang ada adalah pertanggungjawaban oleh pelaku usaha.
Bilamana merujuk pada Pasal 19 ayat (1) UUPK pelaku usaha memiliki tanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang yang sejenis/setara nilainya, perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya pada Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat disebutkan bahwa konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atau melalui peradilan umum.
Sedangkan apabila merujuk pada Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menyebutkan bahwa setiap pihak yang membuat, menyediakan sarana serta menyebarluaskan iklan elektronik memiliki kewajiban memastikan materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta bertanggungjawab terhadap materi iklan tersebut.
Namun bila dilihat lebih lanjut pada penjelasan pasal tersebut pertanggungjawaban dikembalikan pada pelaku usaha atas kebenaran materi iklan yang disampaikan.
Kemudian ada lagi Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 18 Tahun 2024 Tentang Penandaan, Promosi dan Iklan Kosmetik. Dalam peraturan tersebut pihak yang dapat menggunakan iklan dalam melaksanakan publikasi Adalah pelaku usaha (Pasal 16 ayat 1).
Kemudian pada Pasal 21 peraturan tersebut dimuat sanksi administratif bagi pihak yang melanggar, Adapun pada pasal tersebut pihak yang melanggar jelas disebut pelaku usaha.
Lebih lanjut pada bagian pendahuluan Lampiran VI Peraturan tersebut menyebutkan bahwa di era digitalisasi, pelaku usaha kosmetik dituntut untuk dapat bersaing secara sehat, iklan Adalah salah satu strategi memperluas pasar sehingga iklan menjadi sarana pelaku usaha menyampaikan informasi untuk mendekatkan produk mereka ke masyarakat.
Di lain pihak, perkembangan iklan yang dinamis menuntut adanya kaidah beriklan secara sehat, jujur, objektif dan bertanggungjawab.
Pedoman iklan tersebut pedoman bagi ; (1) pelaku usaha bidang kosmetik (2) pengawas badan pengawas obat dan makanan.
Dari aturan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peraturan menjadi pedoman bagi pelaku usaha dan pengawas badan pengawas obat dan makanan bukan bagi influencer.
Adapun di Indonesia sendiri pernah terjadi kasus antara masyarakat sebagai konsumen dengan influencer, salah satunya antara Via Vallen yang melakukan endorse produk kosmetik dari Derma Skin Care Beauty (DSC), ternyata produk skincare tersebut tidak terdaftar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini masih menekankan tanggung jawab produk barang bilamana ada kerugian hingga urusan iklan kepada pelaku usaha.
Namun bagi influencer yang juga berperan dalam mengiklankan suatu produk barang belum ada peraturan yang mengaturnya bilamana produk yang diiklankannya terjadi cacat, rusak, illegal, melebih-lebihkan saat mengiklankan dan tidak sesuai fakta produk barang yang diiklankan maupun berbahaya dikonsumsi oleh masyarakat.
Hubungan antara pelaku usaha dengan influencer sendiri lazimnya dituangkan dalam suatu perjanjian kerja, yang mana pelaku usaha menjalin kerjasama mengiklankan produknya melalui influencer, adapun pengaturan perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Selain itu tentunya berlaku pula Pasal 1338 KUHPerdata, kesepakatan para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Ketika terbukti produk barang cacat, rusak dan tidak sesuai dengan keterangan yang diiklankan, atau influencer dalam mengiklankan produk dengan melebih-lebihkan kualitasnya, kemungkinan influencer tersebut digugat oleh masyarakat terbuka peluangnya.
Hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 1365 KUHPerdata, setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian orang lain, maka pembuat kesalahan wajib mengganti rugi.
Lebih lanjut apakah suatu perbuatan dapat digugat dengan alasan perbuatan melawan hukum, maka diperlukan unsur-unsur sebagai berikut ; perbuatan tersebut harus melawan hukum, harus ada kesalahan pada pelaku, harus ada kerugian dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Adapun dalam menentukan suatu perbuatan dikategorikan sebagai melawan hukum diperlukan beberapa syarat, yakni bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kepatutan, teliti dan kehati-hatian (Rosa Agustina, 2003).
Apabila dikaitkan dengan influencer yang mengiklankan suatu produk barang yang mana produk tersebut terjadi cacat, rusak dan tidak sesuai dengan faktanya, maka influencer tersebut dapat dikategorikan kurang teliti dan berhati-hati terhadap produk yang diiklankan, sehingga terjadi kerugian bagi masyarakat sebagai konsumen yang tertarik kemudian membeli produk tersebut setelah melihat iklan influencer atas produk tersebut.
Oleh karenanya apabila masyarakat merasa dirugikan, dapat melayangkan gugatan terhadapnya.
Peraturan di Negara Lain Yang Mengatur Tanggungjawab Hukum Influencer
Berbeda dengan di Indonesia, bilamana mengacu pada aturan di negara lain terkait dengan influencer telah ada peraturan yang mengakomodirnya.
Berdasarkan penelusuran penulis, di Amerika Serikat, melalui Federal Trade Commission (FTC) sebuah Lembaga Federal yang memiliki kewenangan perlindungan konsumen dan persaingan usaha telah lebih dahulu mengantisipasi fenomena ini melalui FTC Endorsement Guides.
Bilamana influencer lalai maka dapat dikenai pertanggungjawaban administratif dan perdata.
FTC juga menerbitkan Disclosures 101 for social media influencers, yang mana di dalamnya berisi panduan endorsement suatu produk untuk dipatuhi.
Seorang pengiklan yang menerima endorse suatu produk harus dengan jelas menunjukkan adanya “material connection” dengan merek tersebut, misalnya berupa apakah ada hubungan pribadi, hubungan keluarga maupun pekerjaan pengiklan dengan produk yang diiklankannya, apakah sebuah merek memberikan bayaran atau diskon kepada si pengiklan tersebut.
Selain itu juga diatur terkait pengiklan harus menjelaskan dengan benar produk yang diiklankan agar tidak menyesatkan konsumen.
Si pengiklan juga harus memberitahukan kepada followers nya dengan jujur dan akurat info produk yang diendorse nya.
Selain itu Federal Trade Commission juga menerbitkan Federal Trade Commission 16 CFR Part 255 Guides Concerning the Use of Endorsements and Testimonials in Advertising.
Panduan tersebut bertujuan untuk memberikan penafsiran administratif atas undang-undang yang diberlakukan oleh Federal Trade Commission sebagai pedoman bagi masyarakat agar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Secara khusus, Panduan ini membahas penerapan Pasal 5 Undang-Undang FTC (15 U.S.C. 45) terhadap penggunaan testimoni dan rekomendasi iklan. Panduan ini memberikan dasar untuk mematuhi undang-undang bagi pengiklan dan pemberi testimoni.
Praktik yang tidak sesuai dengan Panduan ini dapat mengakibatkan tindakan korektif oleh FTC berdasarkan ketentuan yang ada, jika setelah penyelidikan, FTC memiliki alasan bahwa praktik tersebut termasuk dalam ruang lingkup perilaku yang dinyatakan ilegal oleh undang-undang.
Penutup
Tanggungjawab influencer atas produk yang diiklankannya sangat penting, mengingat peran mereka dalam memasarkan suatu produk pelaku usaha kepada masyarakat sebagai konsumen.
Berbekal kepopuleran dan banyaknya followers di akun media sosialnya, influencer dapat memberikan efek besar bagi laku tidaknya sebuah produk, terlebih di era digital seperti saat ini.
Namun di satu sisi, belum ada regulasi yang mengatur bilamana influencer dalam mengiklankan suatu produk ada ketidaksesuaian dengan faktanya. Misalnya kondisi produk barang yang cacat, rusak, illegal atau berbahaya dalam penggunaannya oleh masyarakat sebagai konsumen.
Mekanisme yang memungkinkan bagi masyarakat saat ini, bilamana dirugikan oleh iklan produk influencer adalah melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah belum ada. Padahal di negara lain peraturan serupa sudah diakomodir, oleh karenanya penulis memberikan saran agar tanggungjawab hukum, khususnya perdata, influencer dalam memasarkan produk pelaku usaha dapat diakomodir dalam suatu kebijakan hukum.
Hal tersebut penting untuk membekali influencer pemahaman etika dalam memasarkan produk barang pelaku usaha, di sisi lain masyarakat sebagai konsumen diharapkan lebih kritis dan juga teliti sebelum memutuskan membeli dan menggunakan suatu produk barang.
Pada akhirnya dengan adanya kejelasan regulasi, hal tersebut diharapkan dapat dapat melindungi masyarakat sebagai konsumen serta membangun ekosistem digital yang sehat dan berkeadilan.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 18 Tahun 2024 Tentang Penandaan, Promosi dan Iklan Kosmetik
Agustina, Rosa. (2003). Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Indonesia
De Veirman, M., Cauberghe, V. & Hudders, L. (2017). Marketing through Instagram influencers: The impact of number of followers and product divergence on brand attitude. International Journal of Advertising, 36(5) 798-828
Zanudin, Ahmad. 2018. Influencer di Media Sosial, Penantang Tangguh Iklan Konvensional. https://tirto.id/influencer-di-media-sosial-penantang-tangguh-iklan-konvensional-cEfr. diakses pada hari Senin tgl 16 September 2025
https://www.ftc.gov/system/files/documents/plain-language/1001a-influencer-guide-508_1.pdf diakses pada hari Senin tgl 16 September 2025
https://www.ftc.gov/sites/default/files/attachments/press-releases/ftc-publishes-final-guides-governing-endorsements-testimonials/091005revisedendorsementguides.pdf diakses pada hari Senin tgl 16 September 2025
https://kominfo.jatimprov.go.id/berita/polda-jatim-ungkap-produksi-kosmetik-ilegal-asal-kediri diakses pada hari Senin tgl 16 September 2025
https://jatim.antaranews.com/berita/268615/via-vallen-mengaku-tak-tahu-produk-endorse-nya-ilegal diakses pada hari Senin tgl 16 September 2025