Pendahuluan
Pengampuan (curatele), sebagaimana diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata, bilamana merujuk pada terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio (cet. ke-30: 1999), adalah: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XX/2022, tanggal 31 Juli 2023, ketentuan Pasal 433 KUH Perdata mengalami perubahan dan hanya akan konstitusional apabila dimaknai: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Penafsiran ulang, untuk menyelaraskan Pasal 32 UU 8/2016 yang memuat norma: “Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri.” Sehingga agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.
Hal-hal tersebut, akhirnya membuat Prosedur Pemeriksaan Permohonan Pengampuan dalam Perkara Perdata, mendapat tempat pengaturan khusus dalam PERMA 2 tahun 2025 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum Di Pengadilan, yakni dalam bagian kedua Bab V.
Adapun berkaitan dengan kompetensi relatif pengajuan permohonan pengampuan berdasarkan Pasal 28 ayat (1) PERMA 2/2025, adalah diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat tinggal Penyandang Disabilitas yang dimohonkan untuk diampu.
Ketentuan ini, tidak jauh berbeda dengan Pasal 436 KUH Perdata, yakni permintaan pengampuan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan.
Aturan mengenai kompetensi relatif tersebut, dapat dikatakan bersifat khusus, karena norma umum berkaitan dengan lingkungan peradilan mana permohonan diajukan, adalah pengadilan di tempat tinggal Pemohon (vide: Bab II Huruf A angka 1, SK KMA Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 Tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan).
Pengaturan lex speciali dimaksud, bukannya tanpa alasan, karena didasarkan pada kewenangan Hakim dalam perkara pengampuan untuk dapat melaksanakan pemeriksaan terhadap si calon terampu di luar persidangan pada pengadilan, sebagaimana diatur dalam:
- Paragraf 1 Pasal 439 KUH Perdata: Pengadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.
- Pasal 28 ayat (6) PERMA 2/2025: Hakim harus melihat secara fisik dan/atau meminta keterangan dari Penyandang Disabilitas yang dimohonkan pengampuan di dalam proses persidangan. Kemudian dalam Pasal 28 ayat (7) huruf a PERMA 2/2025: Dalam hal permintaan keterangan dari Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan disebabkan kondisi disabilitasnya, Hakim dapat: melakukan pemeriksaan di tempat tinggal.
Berdasarkan hal tersebut, pemaknaan tempat tinggal menjadi krusial karena menentukan kompetensi relatif pengajuan permohonan oleh calon pengampu (curator), serta secara tidak langsung berkaitan kewenangan hakim dalam melakukan “pemeriksaan setempat” kondisi calon terampu (curandus), yang tidak dapat hadir memberikan keterangan di muka persidangan di pengadilan.
Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana seandainya terdapat kondisi yang mana calon terampu/curandus tercatat bertempat tinggal di Kabupaten X, sedangkan pada saat curator akan mengajukan permohonan, si curandus oleh suatu sebab misalnya menjalani perawatan inap untuk waktu yang tidak dapat ditentukan terhadap kondisi kesehatannya, secara nyata-nyata atau untuk sementara waktu berada misalnya di rumah sakit jiwa di Kabupaten Y, maka pengadilan manakah yang dituju untuk pendaftaran permohonan atau pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara ?
Pembahasan
Konsep Umum Tempat Tinggal Dalam Hukum Perdata Nasional
Tempat tinggal (domicilie) adalah tempat seseorang harus dianggap selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban, juga apabila pada suatu waktu ia benar-benar tidak dapat hadir di tempat tersebut.
Terdapat dua jenis tempat tinggal, yaitu tempat tinggal sesungguhnya dan tempat tinggal yang dipilih.
A. Tempat tinggal sesungguhnya (de ligenlijke of algemene woonplaats), terdiri dari dua jenis, yaitu:
- Tempat tinggal sukarela atau mandiri, yaitu tempat tinggal yang tidak terikat atau tidak tergantung pada orang lain. Ia bebas untuk menentukan tempat tinggalnya sendiri.
- Tempat tinggal wajib atau menurut hukum, merupakan tempat tinggal yang tergantung atau mengikuti tempat tinggal orang lain. Menurut Pasal 21 dan 22 KUH Perdata, terdapat beberapa orang yang mempunyai tempat tinggal wajib, yaitu: Istri, bila tidak dalam keadaan pisah meja dan tempat tidur, maka ia mengikuti tempat tinggal suaminya. Anak-anak yang masih minderjarig, mengikuti tempat tinggal orang tuanya atau walinya. Orang yang berada di bawah pengampuan, tempat tinggalnya adalah di tempat tinggal kurator atau pengampunya. Buruh, betempat tinggal di rumah majikannya, jika mereka ikut tinggal di rumah majikannya.
B. Tempat tinggal yang dipilih (Gezoken Woonplaats),
sesuai dengan Pasal 24 KUH Perdata, untuk suatu urusan tertentu (hubungan hukum), pihak-pihak yang berkepentingan atau salah satu dari mereka secara bebas berhak memilih tempat tinggal yang lain dari tempat tinggal mereka melalui suatu akta.
Perpindahan atau perubahan tempat tinggal sesuai dengan ketentuan Pasal 18 KUH Perdata dapat terjadi dalam hal:
- Rumah tempat tinggal dengan nyata pindah ke tempat lain (kota atau desa)
- Terdapat maksud untuk memindahkan tempat tinggal pokok ke tempat tinggal lain sesuai dengan cara yang ditunjukkan oleh Pasal 19 KUH Perdata (Niat itu dibuktikan dengan menyampaikan pernyataan kepada Kepala Pemerintahan, baik di tempat yang ditinggalkan, maupun di tempat tujuan pindah rumah kediaman. Bila tidak ada pernyataan, maka bukti tentang adanya niat itu harus disimpulkan dari keadaan-keadaannya).
Konsep Umum Pemeriksaan Setempat Dalam Perkara Perdata
Pasal 153 ayat 1 HIR/180 RBg, Pasal 211 Rv, yang dipertegas dengan SEMA Nomor 7 Tahun 2001, pada pokoknya mengatur “Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris dari dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim”.
Dalam pemeriksaan setempat, Hakim berkedudukan sebagai pelaksana pemeriksaan, sebab fungsi dari pemeriksaan setempat adalah merupakan alat bukti yang bebas.
Artinya kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada Hakim. Meskipun pemeriksaan setempat tidak termasuk salah satu alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR/284 RBg, maupun Pasal 1866 KUH Perdata.
Namun, tujuan pemeriksaan setempat adalah mendapatkan kepastian tentang peristiwa ataupun obyek yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah sebagai alat bukti.
Baik dalam HIR, RBg, maupun KUH Perdata, tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plattsopneming/descente/plaattselijke onderzoek/local investigation),. Maka dari itu, berikut adalah pengertian tentang pemeriksaan setempat menurut pandangan beberapa ahli :
- Menurut Subekti, pemeriksaan setempat tidaklah lain dari pada memindahkan tempat sidang hakim ke tempat yang dituju, sehingga yang dilihat oleh hakim sendiri di tempat tersebut dapat dianggap sebagai dilihat oleh hakim di muka sidang pengadilan.
- Menurut Lilik Mulyadi, pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan perkara yang dilakukan hakim di luar persidangan Pengadilan Negeri atau di lokasi pemeriksaan setempat dilakukan sehingga hakim dapat secara lebih tegas dan terperinci memperoleh gambaran terhadap peristiwa yang menjadi pokok sengketa.
- Menurut Riduan Syahrani, pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai fakta-fakta atau keadaan-keadaan suatu perkara yang dilakukan oleh hakim karena jabatannya di tempat objek perkara berada.
- Menurut Sudikno Mertokusumo, pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung tempat kedudukan pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
- Menurut Yahya Harahap, pemeriksaan setempat berarti sidang pengadilan yang dilakukan di tempat objek barang terperkara terletak, untuk melihat keadaan atau pemeriksaan secara langsung objek tersebut.
- Menurut Abdulkadir Muhammad, pemeriksan di tempat adalah pemeriksaan dengan pergi ke tempat barang yang menjadi objek perkara, yang tidak dapat dibawa ke tempat barang yang menjadi objek perkara, yang tidak dapat dibawa ke muka persidangan, misalnya keadaan pekarangan, bangunan dan lain-lain.
- Menurut Roihan A. Rasyid, pemeriksaan setempat adalah sidang pengadilan yang dipindahkan ke suatu tempat tertentu, yang lengkap berita acara sidangnya seperti biasa dan masih termasuk wilayah pengadilan tersebut.
Bilamana menarik persamaan dari berbagai pendapat ahli terkait pemeriksaan setempat tersebut, dapat terlihat unsur pemeriksaan setempat adalah kegiatan pemeriksaan oleh hakim, dilaksanakan di luar gedung Pengadilan/di tempat objek sengketa berada, dengan tujuan mengetahui keadaan faktual.
Kendala teoritisnya adalah segala definisi dari para ahli tersebut bercorak atau ditujukan terhadap benda sebagai objek sengketa, baik yang bersifat tetap/tidak bergerak, maupun bergerak (vide: Pasal 211 ayat 2 Rv).
Sedangkan, melihat perkara permohonan pengampuan yang menjadi sentral pemeriksaan adalah kondisi, khususnya curandusi sebagai subjek dan bukan objek.
Model Ideal Kewenangan Mengadili Secara Relatif Dalam Perkara Permohonan Pengampuan
Berdasarkan bahasan terkait konsep umum tempat tinggal dan pemeriksaan setempat dalam persidangan perdata di atas, maka untuk menjawab ilustrasi kasus posisi dalam bagian pendahuluan di atas, dapat diperoleh beberapa usulan model yang sekiranya dapat diterapkan, baik untuk saat ini atau sebagai bagian dari penyempurnaan hukum eksisting di masa yang akan datang, yaitu:
- Melaksanakan pemeriksaan secara delegasi, Konsep pemeriksaan secara delegasi sejatinya dikenal dalam permohonan pengampuan, sebagaimana yang diatur dalam paragraph 2 Pasal 439 KUH Perdata: “Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri., Namun, pelaksanaan ketentuan ini dapat dikatakan minim, karena terkesan obsolet terhadap perkembangan zaman. Hal tersebut, secara tekstual menimbulkan beragam pertanyaan, diantaranya siapa yang dimaksud dengan pemerintahan setempat ? bagaimana mengonversi secara resmi dan presisi jarak sepuluh pal (mengingat Standar nasional untuk ukuran jarak di Indonesia adalah sistem metrik desimal, dengan satuan dasar meter (m) yang merupakan satuan internasional (SI) untuk panjang. Satuan-satuan lain yang umum digunakan adalah kelipatannya, seperti kilometer (km)? Bilamana, dapat dikonversi mengikuti satuan jarak standar nasional, pertanyaan lanjutannya bagaimanakah sifat jarak tersebut, apakah mutlak persis 10 pal atau boleh kurang atau lebih dari itu?Untuk menjembatani hal tersebut, maka dapat dilakukan dengan meminja” kaidah pemeriksaan setempat terhadap objek sengketa. Bahwa, dalam hal objek sengketa berada di wilayah hukum pengadilan lain, maka pemeriksaan setempat harus didelegasikan kepada Pengadilan Negeri di wilayah tersebut/diserahkan kepada Residentierechter. (vide Pasal 180 ayat 3 RBg jo Pasal 213 Rv). Pelimpahan pemeriksaan setempat oleh Pengadilan Negeri lain sesuai dengan prinsip dan atau patokan yurisdiksi relatif yang dimiliki setiap Pengadilan Negeri. Jadi pengadilan pengaju (asal) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri pada objek perkara terletak, kemudian melakukan pemeriksaan setempat dan memberikan berita acara hasil pemeriksaan tersebut, kepada pengadilan negeri pengaju (pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan setempat).
- Menetapkan domisili sementara, memberi penafsiran terhadap konsep tempat tinggal yang dipilih (Gezoken Woonplaats), sesuai dengan Pasal 24 KUH Perdata. Dilakukan dengan cara menjadikan alamat tempat menjalani perawatan sebagai tempat tinggal nyata yang sifatnya sementara. Tempat tinggal nyata sifatnya sementara, karena adanya perbuatan atau keperluan tertentu yang mengakibatkan orang bersangkutan bertempat tinggal di tempat tersebut, dan tidak berlangsung terus menerus untuk jangka lama. Dokumen yang dapat menunjukkan domisili yang sementara, adalah Surat Keterangan Domisili. Dalam praktik, surat keterangan ini masih banyak ditemukan, namun saat melihat website di dispenducapil.go.id setiap kabupaten/kota, di mana Surat Keterangan Domisili diganti Surat Keterangan Penduduk Non Permanen (SKPNP) atau Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS), digunakan bagi penduduk yang tinggal di suatu tempat, namun hanya untuk keperluan tertentu. Pemberlakuan surat keterangan ini hanya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan jika masa berlaku habis maka wajib diperpanjang Kembali.
- Meredefinisi norma eksisting, bisa dilakukan dengan memberikan tafsir ekstensif maupun dengan cara penambahan pasal atau ayat lanjutan sebagai ketentuan pengecualian (escape clausule), yang pada pokoknya bertujuan mengatur pengecualian, yakni tempat calon curandus dan secara nyata berada untuk menjalani perawatan yang relevan dengan kondisi dalil permohonan pengampuan, demi hukum secara yuridis tanpa memerlukan surat domisili dianggap juga sebagai tempat tinggal. Kaidah keberadaan, secara nyata seperti konsep habitual residence dalam konteks permohonan pengangkatan anak.Maksud tujuannya, agar Pengadilan Negeri dapat secara lebih seksama menyelidiki keadaan anak untuk melindungi kepentingan anak tersebut, didasarkan penerapan hukum yang berlaku di tempat tinggal/tempat kediaman biasa sehari-hari anak tersebut (habitual residence/gewone verblijfplaats), sebagai bentuk pengecualian dari domisili anak mengikuti domisili orang tuanya, karena bisa saja anak yang belum dewasa dirawat atau dibesarkan oleh orang lain (nenek, paman dan sebagainya), meskipun perkawinan orang tuanya tidak putus karena perceraian atau alasan lain, atas kebijaksanaan Hakim dapat dipertimbangkan ke Pengadilan Negeri mana permohonan itu harus diajukan (vide: Lampiran IV huruf B angka 4 SEMA No. 6 Tahun 1983).
Daftar Rujukan
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Alumni.
Andi Bustanil Arifin Al, Volume 1, Nomor 3, Desember 2020, Pemeriksaan Setempat Sebagai Pendukung Pembuktian Dalam Perkara Perdata.
Ardiansyah, Jurnal de Jure Volume 13 Nomor 2, Oktober 2021, Analisis Normatif Tentang Hasil Sidang Pemeriksaan Setempat Menjadi Dasar Tidak Diterimanya Gugatan.
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, 2020, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi Dan Mediasi, Deepublish, Yogyakarta.
M. Yahya Harahap, 2016, hukum acara perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
P.N.H. Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Roihan A. Rasyid, 2016, hukum acara peradilan agama, Rajawali Pers, Jakarta.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1991, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya.
Sudikno Mertokusumo, 2006, hukum acara perdata indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Zulfa Djoko Basuki, Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Pemeliharaan Anak, Indonesia Journal of International Law, Volume 3 Nomor 4 Juli 2006.


