Bayangkan Anda sedang digugat, karena dianggap tidak memenuhi janji dalam sebuah perjanjian. Wajar jika Anda merasa perlu membela diri.
Tapi bagaimana kalau sebenarnya pihak yang menggugat Anda juga punya kesalahan atau kelalaian yang merugikan Anda? Apakah Anda hanya bisa diam dan menunggu putusan hakim?
Jawabannya sudah tentu tidak. Hukum acara perdata di Indonesia memberikan ruang bagi Tergugat untuk tidak sekadar pasif membantah dalil-dalil Penggugat. Justru, Tergugat punya hak untuk “menyerang balik” dengan cara mengajukan gugatan rekonvensi atau gugatan balik.
Apa Itu Rekonvensi?
Rekonvensi pada dasarnya adalah gugatan yang diajukan Tergugat terhadap Penggugat dalam perkara yang sama. Jadi, di dalam satu sidang, ada dua gugatan yang diperiksa sekaligus yaitu gugatan utama dari Penggugat (konvensi) dan gugatan balik dari Tergugat (rekonvensi).
Misalnya, seorang pemilik rumah menggugat kontraktor karena bangunan tidak selesai tepat waktu. Sang kontraktor membela diri dalam jawabannya, sekaligus mengajukan gugatan balik bahwa sebenarnya si pemilik rumah belum melunasi pembayaran. Dalam kasus seperti ini, hakim tidak perlu menggelar sidang dengan dua perkara terpisah. Cukup satu sidang, dan kedua gugatan bisa diputus bersama.
Dasar Hukumnya Ada di Mana?
Rekonvensi adalah mekanisme hukum yang secara tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 132a HIR dan Pasal 158 RBg menyebutkan, bahwa Tergugat berhak mengajukan gugatan balik terhadap Penggugat, KUHPerdata juga sering dijadikan dasar materi gugatan balik, misalnya, Pasal 1243 KUHPerdata untuk wanprestasi, dan Pasal 1365 KUHPerdata untuk perbuatan melawan hukum.
Selain itu, dalam pasal 4 ayat (2) poin c Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, menarik untuk dicermati bahwa tidak semua perkara perdata wajib melalui proses mediasi.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) secara tegas menyebutkan bahwa salah satu perkara yang dikecualikan dari kewajiban mediasi adalah perkara mengenai gugatan balik (rekonvensi).
Artinya, ketika Tergugat mengajukan rekonvensi dalam jawabannya, gugatan balik tersebut tidak perlu lagi dimediasi. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya mediasi bertujuan mempertemukan para pihak pada tahap awal sebelum masuk ke pokok perkara.
Sementara itu, rekonvensi baru lahir setelah proses gugatan utama berjalan, sehingga tidak lagi efektif apabila harus ditarik ke meja mediasi.
Dengan ketentuan ini, pengadilan tetap dapat menjamin efisiensi waktu dan kelancaran pemeriksaan perkara. Hakim cukup melanjutkan pemeriksaan konvensi dan rekonvensi dalam satu rangkaian sidang, tanpa harus menambah waktu untuk proses mediasi ulang.
Rumusan pleno kamar perdata Mahkamah Agung menegaskan suatu hal penting yaitu rekonvensi boleh diajukan dalam tiap-tiap perkara tanpa harus ada hubungan objek sengketa dengan perkara konvensi, kecuali terhadap :
- Kalau Penggugat konvensi menuntut karena sesuatu kualitas sedang dalam rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
- Kalau PN yang memeriksa perkara konvensi secara absolut tidak berwenang;
- Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan Hakim;
Syarat dan Proses Rekonvensi
Agar tidak asal-asalan, ada aturan yang harus dipatuhi. Gugatan rekonvensi harus diajukan bersamaan dengan jawaban Tergugat, bukan di tengah-tengah proses persidangan. Rekonvensi juga akan diperiksa bersamaan dengan perkara utama (Konvensi), dan putusannya digabungkan dalam satu amar.
Mengapa Rekonvensi Penting?
Ada beberapa alasan mengapa mekanisme rekonvensi dianggap sangat penting dalam sistem peradilan perdata di Indonesia.
Pertama, dari sisi efisiensi waktu dan biaya, rekonvensi memungkinkan dua gugatan diperiksa sekaligus dalam satu persidangan.
Tanpa adanya rekonvensi, Tergugat yang merasa dirugikan harus mengajukan gugatan baru secara terpisah. Hal ini tentu akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa, menambah biaya perkara, serta memperberat beban administrasi pengadilan.
Dengan adanya mekanisme rekonvensi, proses beracara menjadi lebih sederhana, cepat, dan hemat biaya, sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Kedua, rekonvensi juga menjamin keadilan yang seimbang yang sejalan dengan nilai-nilai Mahkamah Agung yaitu perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dalam praktik peradilan, sering kali Penggugat dipandang berada pada posisi yang lebih dominan karena dialah yang lebih dulu membawa perkara ke pengadilan.
Namun dengan adanya rekonvensi, Tergugat tidak hanya bersifat pasif menangkis dalil Penggugat, melainkan juga dapat aktif memperjuangkan hak-haknya yang mungkin juga dilanggar. Dengan demikian, kedudukan para pihak menjadi lebih setara di hadapan hukum.
Ketiga, mekanisme ini berfungsi untuk mencegah terjadinya putusan yang saling bertentangan. Jika gugatan konvensi dan tuntutan Tergugat diajukan dalam perkara yang berbeda, sangat mungkin hakim yang memeriksa masing-masing perkara memberikan putusan yang tidak selaras, bahkan bertolak belakang. Hal ini justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan para pihak.
Dengan digabungkannya konvensi dan rekonvensi dalam satu rangkaian persidangan, hakim dapat melihat persoalan secara lebih menyeluruh dan memutus dengan pertimbangan yang utuh, sehingga hasilnya lebih adil, konsisten, dan menyelesaikan pokok sengketa secara tuntas.
Putusan Hakim: Satu Sidang, Dua Amar
Dalam praktiknya, hakim akan memutus perkara dengan dua amar putusan yaitu satu untuk gugatan konvensi, dan satu lagi untuk gugatan rekonvensi. Dengan begitu, kedua belah pihak sama-sama mendapat kepastian hukum dalam satu proses persidangan.
Penutup
Rekonvensi adalah salah satu instrumen penting dalam hukum acara perdata. Ia lahir dari semangat untuk memberikan keseimbangan dalam persidangan dan efisiensi dalam penyelesaian sengketa.
Bagi masyarakat, mengetahui hal ini sangatlah penting. Jika suatu saat Anda berada di posisi Tergugat, jangan lupa bahwa hukum memberi ruang untuk membela diri sekaligus menggugat balik.
Dasarnya jelas diatur di HIR/RBg sebagai prosedur, KUHPerdata sebagai materi, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sebagai aturan teknis, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sebagai pedoman dari Mahkamah Agung.
Dengan memahami rekonvensi, kita semakin sadar bahwa hukum bukan hanya soal menyerang atau bertahan, tetapi juga soal mencari keadilan yang seimbang bagi para pencari keadilan.