Dari Nikah Siri ke Sengketa Hak Anak: Ujian bagi Hati dan Hukum

Nikah siri menyimpan konsekuensi hukum yang cukup rumit, terutama saat menyangkut hak anak.
Ilustrasi nikah siri. Foto medialampung.disway.id/
Ilustrasi nikah siri. Foto medialampung.disway.id/

Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, praktik nikah siri masih cukup sering ditemui. Nikah siri, atau pernikahan yang sah secara agama namun tidak tercatat di negara, kerap dianggap sebagai solusi praktis. Namun, di balik kepraktisannya, nikah siri menyimpan konsekuensi hukum yang cukup rumit, terutama saat menyangkut hak anak.

Salah satu tantangan terbesar adalah ketika pasangan yang menikah siri memutuskan berpisah, lalu muncul sengketa terkait hak asuh atau pengakuan anak. Dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan menjadi syarat penting untuk mengakui status hukum suami-istri. Akibatnya, anak dari pernikahan siri kadang terjebak dalam status hukum yang kurang kuat, padahal secara biologis jelas siapa orang tuanya.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Ini artinya, meskipun sah secara agama, pernikahan tidak akan memiliki kekuatan hukum tanpa pencatatan negara.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki peran strategis dalam memberikan kepastian hukum. Melalui pedoman teknis dan yurisprudensi, MA dapat mengarahkan hakim di seluruh Indonesia untuk mengedepankan prinsip keadilan bagi anak. Misalnya, dengan memberikan pertimbangan kemanusiaan dalam perkara penetapan asal-usul anak atau hak pengasuhan meski orang tua anak tidak tercatat resmi sebagai pasangan suami-istri.

Ke depan, MA juga diharapkan mendorong edukasi hukum kepada masyarakat, agar pencatatan pernikahan tidak lagi dianggap formalitas semata. Karena bagi anak, legalitas itu menyangkut masa depan: akses pendidikan, warisan, hingga perlindungan sosial. Hakim juga perlu mempertimbangkan aspek psikologis dan kepentingan terbaik anak dalam setiap keputusan.

Dengan demikian, perkara nikah siri yang berujung pada sengketa hak anak bukan hanya ujian bagi hukum, tetapi juga bagi nurani kita semua.

 

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews