Hukum pidana di Indonesia tidak semata-mata berhenti pada teks undang-undang, melainkan senantiasa berkelindan dengan nilai, keyakinan, dan praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat.
Kesadaran tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang membuka ruang pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai salah satu rujukan penilaian hukum pidana.
Namun, pengakuan terhadap living law tidak selalu menghadirkan kepastian, terutama ketika berhadapan dengan norma pidana yang dirumuskan secara formal dan administratif.
Salah satu titik krusialnya tampak pada pengaturan mengenai tindak pidana kohabitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 412 KUHP Baru, khususnya ketika dikaitkan dengan praktik pernikahan siri yang sah menurut agama, tetapi tidak dicatatkan menurut ketentuan perundang-undangan.
Fenomena nikah siri bukanlah gejala baru. Praktik ini bahkan dilaporkan terus meningkat dan kerap memicu polemik, terutama ketika pasangan yang mengaku telah menikah secara agama dilaporkan dengan tuduhan perzinaan atau kohabitasi.
Di titik inilah hakim dihadapkan pada dilema: apakah pernikahan siri dapat dipertimbangkan sebagai dasar yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan kohabitasi, ataukah ketiadaan pencatatan perkawinan harus berujung pada pemidanaan?
Titik Singgung Nikah Siri dan Kohabitasi
Perlu ditegaskan, kohabitasi dalam KUHP Baru tidak identik dengan perzinaan (overspel). Kohabitasi merujuk pada perbuatan hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan yang diakui oleh negara, yang dalam praktik sosial sering dikenal sebagai kumpul kebo.
Pasal 412 KUHP Baru mengancam pidana penjara paling lama enam bulan bagi setiap orang yang hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan.
Meski demikian, ketentuan ini dirumuskan sebagai delik aduan absolut, sehingga penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan pihak-pihak tertentu, yakni suami atau istri yang sah, orang tua, atau anak.
Persoalan muncul pada frasa “perkawinan yang sah”. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Konsekuensinya, nikah siri yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat, berada dalam posisi ambigu: diakui secara religius, namun tidak sepenuhnya hadir dalam sistem hukum administrasi negara.
Legalitas Administratif dan Legitimasi Sosial
Di sinilah letak ketegangan antara legalitas administratif dan legitimasi sosial. Pasal 2 KUHP Baru memang membuka ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Namun, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan pemidanaan yang sewenang-wenang berbasis moral mayoritas, melainkan sebagai instrumen korektif agar hukum pidana tidak tercerabut dari rasa keadilan yang hidup.
Dalam konteks ini, mengemuka pertanyaan mendasar mengenai keadilan pemidanaan terhadap seseorang yang dinilai ‘hidup bersama sebagai suami istri’, padahal secara substansial yang bersangkutan telah terikat dalam perkawinan yang sah menurut agama serta diterima dalam lingkungan sosialnya.
Jika hakim hanya berpegang pada pendekatan legalistik-formal, maka nikah siri berpotensi diperlakukan sama dengan relasi tanpa ikatan apa pun. Padahal, dari sudut pandang sosiologis dan religius, keduanya tidak berada pada derajat yang sama.
Nikah Siri dan Sifat Melawan Hukum Materiil
Untuk menjawab dilema tersebut, pendekatan hukum pidana tidak cukup berhenti pada pemenuhan unsur formil delik. Hakim perlu menilai ada atau tidaknya sifat melawan hukum secara materiil.
Apabila dalam persidangan terbukti, pernikahan siri benar-benar terjadi secara sah menurut hukum agama, dengan adanya wali, saksi, dan mahar, serta tidak sekadar direkayasa untuk menghindari jerat hukum, maka esensi perbuatan tercela yang hendak dicegah oleh Pasal 412 KUHP Baru pada hakikatnya tidak terpenuhi.
Dalam kondisi demikian, perbuatan tersebut patut dipertanyakan keberadaan sifat melawan hukum materiilnya, sehingga pemidanaan tidak serta-merta menjadi pilihan yang proporsional.
Namun demikian, kehati-hatian tetap mutlak diperlukan. Hakim harus melakukan verifikasi yang ketat terhadap keabsahan nikah siri tersebut, termasuk konsistensi waktu akad dengan dimulainya hidup bersama.
Langkah ini penting untuk mencegah penyelundupan hukum oleh pihak-pihak yang baru mengklaim adanya nikah siri setelah menghadapi proses hukum.
Menemukan Jalan Tengah yang Berkeadilan
Tidak dapat dipungkiri, nikah siri menimbulkan persoalan serius dalam ranah hukum perdata, terutama terkait perlindungan hak-hak perempuan dan anak.
Namun, menyamakan pasangan nikah siri dengan pelaku kohabitasi yang sama sekali tanpa ikatan merupakan kekeliruan penalaran hukum.
Dalam kerangka KUHP Baru, peran hakim bukan sekadar menjadi corong undang-undang, melainkan penjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif.
Apabila nikah siri terbukti sah secara agama dan diakui dalam lingkungan sosialnya, pemidanaan seharusnya menjadi pilihan terakhir, bahkan dapat dihindari sama sekali.
Alternatif yang lebih berkeadilan adalah mendorong pencatatan perkawinan sebagai langkah edukatif agar hubungan tersebut memperoleh pengakuan negara tanpa harus mengorbankan nurani keadilan.
KUHP Baru perlu dijaga agar tidak berimplikasi pada kriminalisasi terhadap praktik keagamaan yang hidup di masyarakat.
Tantangan bagi hakim ke depan adalah ketepatan menempatkan diri di antara teks dan konteks—memastikan bahwa pidana dijatuhkan hanya kepada mereka yang benar-benar melanggar norma hukum dan sosial, bukan kepada mereka yang semata-mata terhambat oleh persoalan administratif.
Daftar Rujukan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Kompleksitas Kawin Siri: Antara Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia”. Istinbath 21 (1):165-88. Https://Doi.Org/10.20414/Ijhi.V21i1.492.
Irfan, M. Nurul. “Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri.” Al-‘Adalah, Vol. X, No. 2, Juli 2011.
Asa, Agam I., Muhammad M. Syamsuddin, Agus Wahyudi, and Agus Hamzah. "Aliran Filsafat Hukum Sebagai Cara Pandang (Worldview) Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 7, no. 2 (2025): 199-227. Accessed : December 23, 2025. https://doi.org/10.14710/jphi.v7i2.20-48


