“The existence of social institutions and facts depends on collective intentionality, on our ability to form shared intentions and attitudes, which create and sustain the framework of social reality.”
John Searle (The Construction of Social Reality).
Dunia hidup manusia memang unik. Di satu sisi, realitas yang dihuninya bersifat objektif, di sisi lain, ia menciptakan bangun subjektif ruang hidupnya sendiri (Harari, 2011). Bentang alam, hukum-hukum fisika, mekanisme biologis, dan berbagai disiplin sejenis lainnya tidak tergantung pada pengamatan-bersifat independen. Sebaliknya, lembaga peradilan atau institusi politik dan ekonomi adalah ciptaan manusia yang hanya berlaku untuk dirinya.
Bencana alam tidak bersifat konsensual (tidak memerlukan persetujuan siapapun). Gempa bumi, tsunami, atau hujan meteor terjadi secara acak, kapanpun dan di manapun. Objektivitas fenomena alam tidak dapat dikendalikan oleh pejabat publik dari negara manapun. Semua terjadi begitu saja.
Bertolak belakang dengan fenomena alam, semua peristiwa sosial terjadi pada dan disebabkan oleh manusia. Perang, perdamaian, perdagangan, dan berbagai macam kejadian yang melibatkan lebih dari delapan miliar penduduk Planet Bumi terjadi karena geliat dan gejolak para aktor dalam komunitas dan masyarakat (Latour, 2005). Fenomena ini menjadi tolak ukur dari peradaban: semakin tinggi teknologi dan pencapaiannya, semakin kompleks artefak-artefaknya. Pemanusiaan bentang alam menjadi tanda dominasi Homo sapiens (Giddens, 1990).
Dengan pengelolaan informasi menjadi ilmu pengetahuan dan ideologi sebagai instrumen kooperasi, manusia menjadi spesies paling sukses di antara spesies lain-bahkan lebih unggul dari hominin seperti Neanderthal yang akhirnya punah (Harari, 2024). Semua aktivitas manusiawi, tidak terkecuali hukum, berasal dari informasi yang dibangun oleh bahasa.
Bentukan Realitas oleh Bahasa
Filsuf yang cukup berpengaruh dalam filsafat hukum, John Searle (murid dari filsuf bahasa John Langshaw Austin) mengatakan, bahasa tidak dapat dianggap sebagai sekadar bunyi yang membentuk makna. Seturut Austin, ujaran (speech) bisa berbentuk lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner (Austin, 1955).
Bila kita mengatakan “hari ini hujan lebat”, maka kita memberikan pernyataan lokusioner. Bila yang kita ucapkan adalah “saya berjanji membayar tiket masuk”, Austin mengategorikannya sebagai ilokusioner. Jika saat keluar dari area parkir kita diingatkan petugas: “bayar biaya parkirnya”, pernyataan tersebut bersifat perlokusioner. Sederhananya, Austin memberikan gradasi dari semantik (substansi makna) biasa menjadi sebuah tuntutan untuk melakukan tindakan (performativitas).
Dalam istilah Searle, bahasa bukan sekadar informasi, lebih dari itu, bahasa manusia memiliki fungsi deontik (tuntutan kewajiban). Seseorang bisa saja hanya mengucapkan sesuatu tanpa ada maksud tertentu, namun relasi sosial tidak akan mungkin dibangun oleh ujaran lokusioner saja. Jejaring makna-deontik, yang disebut Searle sebagai fungsi status (status function), adalah tenunan simbolik yang tersebar dalam setiap interaksi sosial yang bersifat deontik (Searle, 2013).
Pernyataan yang mencerminkan fungsi status mau tidak mau berkarakter deontologis, dan dari titik inilah realitas subjektif manusia dibangun. Kata “pemilik” dalam pemikiran Searle adalah contoh dari fungsi status, yang tidak hanya memiliki makna, tetapi sekaligus berdampak. Sederhananya, karakter linguisitik semacam ini hanya dimiliki oleh manusia.
Dalam garis pemikiran Searle, interaksi khas tersebut memiliki empat dimensi: ontologi-subjektif, ontologi-objektif, epistemologi-subjektif, dan epistemologi-objektif.
Paradoks Realitas Hukum
Ontologis-objektif adalah kenyataan atau faktualitas dunia manusia. Filsuf John Locke menyebutnya sebagai kualitas primer dari sebuah konsep (Locke, 2003). Senada dengan Locke, ontologi-subjektif adalah pengalaman manusia yang sangat bergantung pada persepsi personal. Rasa enak yang dikecap dari sebuah hidangan adalah contoh dari dimensi ini, meski Locke mempergunakan gagasan sedikit berbeda yang mengacu pada kualitas sekunder dalam tataran konseptual. Epistemologis-objektif adalah pernyataan yang bersifat evidensial-yang mengacu pada proses pembuktian.
Terakhir, epistemologis-subjektif adalah ujaran yang sulit atau tidak mungkin dijangkarkan pada pembuktian. Preferensi seseorang terhadap selera kuliner atau mode berpakaian adalah contoh tepat dari konsep keempat ini. Bagi Searle, hukum berada di dalam paradoks: secara ontologis subjektif, tetapi epistemologinya objektif.
Setiap peristiwa hukum menurut Searle selalu melibatkan formulasi “kejadian X yang diasumsikan sebagai Y dalam kejadian Z”, yang sifatnya deklaratif. Searle mengatakan: “There are portions of the real world, objective facts in the world, that are only facts by human agreement. In a sense there are things that exist only because we believe them to exist. I am thinking of things like money, property, governments, and marriages. Yet many facts regarding these things are ‘objective’ facts in the sense that they are not a matter of your or my preferences, evaluations, or moral attitudes” (Terdapat bagian-bagian dari dunia nyata, fakta objektif dalam dunia tersebut, yang hanya menjadi fakta berdasarkan kesepakatan manusia. Dalam pengertian tertentu, ada hal-hal yang eksis semata-mata karena kita meyakini keberadaannya. Yang dimaksud adalah hal-hal seperti uang, kepemilikan properti, pemerintahan, dan perkawinan. Namun demikian, banyak fakta yang berkaitan dengan hal-hal tersebut bersifat ‘objektif’ dalam arti bahwa fakta-fakta tersebut tidak bergantung pada preferensi, penilaian, ataupun sikap moral pengamat manapun) (Searle, 1995).
Normativitas hukum dalam garis pemikiran Searle bersifat sosio-ontologis (Epstein, 2024). Untuk memahaminya, kita bisa mengambil contoh permainan catur. Semua aturan yang ada didalamnya adalah murni buatan manusia (ontologi-subjektif): mulai dari langkah pion hingga raja. Namun saat aturan tersebut disepakati, maka penilaian yang mungkin dilakukan saat sebuah turnamen berlangsung bersifat objektif.
Tidak ada pemain manapun yang bisa dengan sesuka hati menciptakan langkah baru. Semua peserta tunduk mutlak pada pakem yang sudah ada (epistemologi-objektif). Sebelum dimulai, panitia kejuaraan akan memberikan pernyataan deklaratif tentang catur dan semua aturan yang menyertainya, dan ini mengikat partisipan tanpa kecuali. Ada tuntutan (deontik) yang wajib dipenuhi dari fungsi status sebagai pemain catur.
Urgensi Ontologis dan Epistemologis Bahasa Hukum
Konstruksi juridis dibangun oleh elemen-elemen trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan pendekatan ontologi-subjektif. Semua aturan main yang diterapkan memang mengacu pada aspirasi rakyat, namun pembahasannya lekat dengan pertimbangan eksperiensial dari para iuris dan proses legislasi.
Setelah disahkan, peraturan dan perundang-undangan bekerja secara epistemik-objektif. Objektivitas pada tahap ini menjadi sangat penting, karena bila tidak, maka kerangka ontologisnya gugur dengan sendirinya-seperti rumah yang mendadak kehilangan fondasi.
Peran hakim dalam melaksanakan tugasnya (performatif) menjadi sangat penting dan bahkan genting. Pola pikir ini perlu ditanamkan baik-baik agar hakim tidak hanya mengejar penyelesaian perkara (dimensi kuantitas) tetapi juga kualitas dari putusan yang dihasilkan. Menyikapi hukum hanya sebagai fondasi ontologis dalam garis pemikiran Searle adalah pola pikir keliru, dan kontra-produktif terhadap berbagai dimensi pembangunan di Indonesia, dari ekonomi hingga budaya.
Pada 10 April 2006, Mahkamah Agung Jepang menjatuhkan putusan untuk kasus Sokaiya (SaikÅ Saibansho Minji Hanrei-sho No. 1154) yang menganggap tindakan penggelapan informasi dari para direktur tentang keterlibatan perusahaan dengan organisasi kejahatan di Jepang sebagai langkah yang tidak bisa diterima. Menurut hakim, sekalipun di bawah pemerasan, elemen eksekutif dari pihak manajemen bisa saja meminta perlindungan dari kepolisian. Alih-alih, upaya mereka untuk menutup-nutupi fakta dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (Milhaupt, 2012:105-111).
Di kasus ini kita bisa melihat bahwa segala informasi yang dipaparkan dalam RUPS sebagai realitas ontologi-subjektif yang harus dikukuhkan oleh tindakan para manajer dengan praktik bisnis yang etis dan prosedural sebagai dimensi epistemik-objektifnya.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa realitas hukum adalah manifestasi khas dari kemampuan manusia dalam menciptakan dunia sosial yang kompleks melalui bahasa dan kesepakatan kolektif. Meskipun keberadaan hukum bersifat ontologis-subjektif-tergantung pada kesepakatan, pengakuan, dan praktik manusia-penerapan dan penilaian hukum harus dilakukan secara epistemologis-objektif agar dapat memberikan kepastian, keadilan, dan legitimasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Contoh kasus Sokaiya di Jepang memperlihatkan bagaimana fakta hukum yang lahir dari konsensus sosial dan praktik institusional dijaga dan ditegakkan melalui prosedur yang objektif, sehingga hukum bukan sekadar konstruksi belaka, melainkan fondasi nyata bagi tata kelola yang efektif dan etis.
Oleh karena itu, memahami paradoks ontologis dan epistemologis hukum menjadi penting bagi para praktisi dan akademisi hukum agar dapat menjalankan fungsi hukum dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab terhadap realitas sosial yang terus berkembang.