Baru-baru ini, publik ramai membicarakan insiden pemasangan bendera bertuliskan 'One Piece' di sebuah instansi. Meski terlihat sebagai simbol budaya pop dari serial Jepang terkenal, bagi sebagian kalangan, simbol ini bisa ditafsirkan berbeda-bahkan menimbulkan kontroversi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik: sejauh mana simbol populer boleh digunakan di ruang publik?
Dalam konteks hukum Indonesia, tidak ada aturan khusus yang melarang simbol fiksi seperti itu, selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau nilai-nilai yang dilindungi negara. Namun, Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 mengatur bahwa pengibaran bendera di ruang publik harus memperhatikan kepatutan dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat.
Ketika sebuah simbol-meski berasal dari fiksi-menimbulkan polemik dan dianggap tidak sesuai konteks, maka bisa jadi bahan pertimbangan hukum. Di sinilah peran pengadilan menjadi penting. Jika muncul gugatan atau sengketa hukum terkait pemasangan simbol atau bendera tersebut, hakim perlu menilai dengan saksama, apakah unsur pelanggaran hukum terpenuhi ataukah ini hanya soal persepsi sosial.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi, memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa hakim-hakim di seluruh Indonesia memahami konteks budaya, sosial, dan hukum dalam menilai perkara-perkara serupa. Pedoman teknis dan pembinaan yustisial dapat menjadi alat penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap norma hukum.
Ke depan, di era digital dan keterbukaan budaya seperti saat ini, MA diharapkan mampu memperkuat pemahaman hukum berbasis kontekstual. Hakim tak hanya menjadi penegak hukum yang kaku, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial yang tinggi agar hukum hadir secara adil dan tidak menimbulkan luka sosial.
Fenomena 'bendera One Piece' ini bukan sekadar soal simbol, tetapi juga soal bagaimana masyarakat dan hukum belajar menafsirkan sesuatu dengan bijak.