Wilāyat al-Maẓālim: Mekanisme Upaya Hukum dan Penegakan HAM dalam Peradilan Islam

Ketika peradilan menjadi ultimum remedium atas otoritarianisme, hukum berperan sebagai alat transformasi sosial menuju masyarakat berkeadaban.
Ilustrasi HAM dan hukum. Foto gawieleroux.co.za/
Ilustrasi HAM dan hukum. Foto gawieleroux.co.za/

Eksistensi Mekanisme Upaya Hukum dalam Peradilan Islam

Beberapa sarjana berpendapat, sistem peradilan Islam tidak memiliki mekanisme upaya hukum. Salah satu pandangan ini, diadvokasi Martin Shapiro, yang berargumen struktur kelembagaan peradilan dalam tradisi hukum Islam bersifat nonhierarkis dan final, sehingga tidak memungkinkan adanya koreksi atau pembatalan terhadap putusan pengadilan. 

Dalam konstruksi yuridis ini, seorang hakim berfungsi sebagai otoritas yudisial tertinggi pada tingkatannya, dan keputusannya tidak dapat dijadikan subjek upaya banding, sebagaimana lazim ditemui dalam sistem peradilan kontemporer (Shapiro dalam M. Yahya Harahap, 1994: 31).

Namun, pendapat tersebut menuai kritik dari David S. Powers melalui kajian historis, mengemukakan era Kekhalifahan Abbasiyah telah terdapat mekanisme koreksi yudisial terhadap putusan hakim tingkat lokal. 

Mekanisme ini, dilaksanakan Ketua Mahkamah di Ibu Kota (Chief Judge of the Capital City), yang memiliki kewenangan moral dan yudisial untuk melakukan pengawasan substantif atas putusan hakim daerah, meskipun tanpa adanya struktur hierarkis formal, sebagaimana dikenal dalam sistem peradilan modern.

Lebih jauh, Powers menegaskan, meskipun sistem peradilan Islam, tidak mengadopsi mekanisme banding secara terstruktur, prinsip pengawasan yudisial dan pertanggungjawaban putusan telah diimplementasikan dalam praktik peradilan. 

Realitas ini menunjukkan, keadilan substantif senantiasa jadi orientasi fundamental, sekalipun tidak diinstitusionalisasikan dalam suatu kerangka kelembagaan yang formalistik (Harahap, 1994: 32).

Salah satu preseden historis mengenai mekanisme koreksi putusan dalam tradisi hukum Islam, dapat direkonstruksi pada periode kenabian. Terdapat riwayat yang menyatakan Sahabat Ali bin Abi Thalib RA pernah menjatuhkan suatu putusan hukum, namun para pihak yang berperkara mengajukan keberatan dan memohon intervensi Rasulullah SAW. 

Setelah melakukan pemeriksaan substantif, Rasulullah SAW mengafirmasi putusan tersebut dan memerintahkan eksekusinya. Kasus historis ini, mengindikasikan eksistensi praktik peninjauan kembali (judicial review) terhadap putusan hakim telah dikenal dalam periode formatif hukum Islam, meskipun belum terinstitusionalisasi dalam bentuk struktur peradilan yang formal (Mochammad Hilmi Alfarisi, 2020: 110).

Struktur Yudisial dan Wilayat al-Mazhalim

Dalam struktur peradilan Islam klasik, terdapat tiga otoritas yudisial utama, yang memiliki karakteristik fungsional yang berbeda, yakni: (1) wilāyat al-qaḍā' sebagai otoritas yudikatif dalam penyelesaian sengketa hukum, (2) wilāyat al-ḥisbah yang berwenang dalam pengawasan moral dan tata kehidupan sosial, serta (3) wilāyat al-maẓālim yang berfungsi sebagai lembaga peradilan khusus, untuk kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan. 

Meskipun ketiga institusi ini berada dalam supervisi Qāḍī al-Quḍāt (Hakim Agung) sebagai otoritas yudisial tertinggi, masing-masing memiliki domain yurisdiksi dan lingkup kewenangan yang bersifat khusus, serta berbeda satu sama lain.

Di antara ketiganya, wilāyat al-maẓālim menempati posisi istimewa dengan lingkup kewenangan yang paling komprehensif. Institusi ini memiliki kompetensi absolut untuk mengadili perkara-perkara, yang berada di luar yurisdiksi pengadilan konvensional, termasuk tetapi tidak terbatas pada penyelesaian sengketa terkait penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara dan elite kekuasaan (Mariadi, 2018: 78). 

Sebagaimana dikemukakan Djalil A. Basiq (2012: 116), eksistensi wilāyat al-maẓālim secara filosofis merupakan respons institusional terhadap kebutuhan perlindungan hukum bagi masyarakat dari praktik otoritarianisme kekuasaan. 

Dalam perspektif perkembangan hukum, lembaga ini dapat dikonseptualisasikan sebagai embrio sistem peradilan hak asasi manusia dalam konstruksi yurisprudensi Islam.

Masdar F. Mas'udi (2003: 276–277) secara tegas menekankan prinsip independensi kelembagaan sebagai syarat mutlak bagi efektivitas wilāyat al-maẓālim. Tanpa adanya pemisahan kekuasaan (separation of power), yang tegas antara lembaga yudikatif dan eksekutif, kapasitas institusi ini dalam menjalankan fungsi pengawasan (control mechanism) terhadap pemegang kekuasaan menjadi sangat terbatas. 

Senada dengan pandangan ini, Effendi M. Zein Satria (1994: 6) mengkonstruksikan wilāyat al-maẓālim sebagai sebuah forum peradilan khusus (special judicial forum), yang berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum bagi warga negara, terhadap praktik ketidakadilan struktural yang bersumber dari penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur negara.

Wilayat al-Mazhalim dan Relevansi Hak Asasi Manusia

Secara konseptual, wilāyat al-maẓālim menunjukkan konvergensi yang signifikan dengan konsep pengadilan hak asasi manusia dalam sistem hukum kontemporer. Terdapat setidaknya empat parameter yurisdiksi wilāyat al-maẓālim, yang memiliki korelasi substantif dengan kriteria pelanggaran HAM, sebagaimana diatur Statuta Roma 1998 dan instrumen hukum positif Indonesia. 

Parameter pertama adalah orientasi perlindungan terhadap korban (victim-oriented protection). Kedua, karakteristik pelaku yang umumnya berasal dari unsur penguasa atau aparat negara. Ketiga, sifat perkara termasuk kategori delik extraordinaire, yang tidak terjangkau mekanisme peradilan biasa. Keempat, subjek hukum yang dilindungi merupakan warga sipil (Masdar, 2003; Harahap, 1994).

Secara empiris, lembaga ini telah menangani berbagai kasus pelanggaran yang bersifat sistemik, sebagaimana tercatat kasus Khalid bin Walid yang dihadapkan pada proses peradilan, akibat penyalahgunaan wewenang publik. Fakta historis in,i menunjukkan sistem peradilan Islam telah mengembangkan mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan (accountability of power) secara efektif, jauh sebelum konsep peradilan HAM, memperoleh bentuk kelembagaannya dalam sistem hukum kontemporer.

Lebih lanjut, wilāyat al-maẓālim juga mengakomodasi mekanisme penyelesaian sengketa secara restoratif (restorative justice mechanism), khususnya melalui instrumen sulh (perdamaian) yang berorientasi pada pemulihan hubungan sosial (social rehabilitation) daripada sekadar retribusi hukum. Pendekatan yuridis ini, menunjukkan kesesuaian prinsipil dengan model rekonsiliasi dalam kerangka keadilan transisional, yang berkembang dalam sistem hukum modern.

Wilayat al-Mazhalim dan Reformasi Peradilan Indonesia

Signifikansi wilāyat al-maẓālim tidak hanya bersifat historis, tetapi juga relevan sebagai constructive paradigm (paradigma konstruktif) dalam reformasi peradilan di Indonesia, khususnya penguatan lembaga pengawasan kekuasaan seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan KKR. 

Keunggulan normatifnya terletak pada pendekatan integrative holistic (menyeluruh dan lintas sektor), berbeda dari sistem peradilan modern yang terfragmentasi. Dengan yurisdiksi luas atas segala bentuk ẓulm (kezaliman), termasuk pidana, perdata, administratif, hingga pelanggaran moral, konsep ini menawarkan model pengawasan kekuasaan yang relevan dalam kerangka checks and balances konstitusional.

Bagi sistem hukum Indonesia, implikasi teoritis yang dapat diturunkan dari konsep wilāyat al-maẓālim adalah imperatifnya pengembangan mekanisme pengawasan kekuasaan (power oversight mechanism), yang tidak sekadar bersifat formal prosedural, melainkan juga substantif dan responsif terhadap asimetri sosial. 

Model hybrid yang mengintegrasikan pendekatan yudisial konvensional dengan mekanisme nonyudisial (non-judicial mechanisms), seperti mediasi dan rekonsiliasi, merepresentasikan paradigma ideal yang relevan untuk diadopsi dalam penyelesaian sengketa, dengan melibatkan disparitas kekuasaan (power disparity).

Dalam konteks kelembagaan modern, wilāyat al-maẓālim menawarkan perspektif kritis bagi rekonstruksi desain lembaga pengawasan di Indonesia. Dengan pendekatan holistik yang melampaui batas yurisdiksi sektoral, konsep ini menginspirasi pembentukan lembaga supervisi yang mampu menangani ketidakadilan multidimensi, mulai dari pelanggaran administratif, penyalahgunaan kekuasaan yudisial, hingga ketimpangan struktural yang berdampak pada hak konstitusional warga.

Lebih dari itu, wilāyat al-maẓālim memadukan keadilan prosedural dan substantif, serta menekankan pentingnya institutional sensitivity (kepekaan kelembagaan) terhadap konteks sosial-politik. Hal tersebut, menjadi koreksi atas formalisme yudisial yang masih kerap mengabaikan perlindungan bagi kelompok marginal, dalam sistem peradilan Indonesia saat ini.

Secara yuridis, wilāyat al-maẓālim berfungsi tidak hanya secara represif terhadap penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga secara preventif melalui kontrol atas elite penguasa. Ini menunjukkan hukum Islam tidak sekadar menganut reactive justice (keadilan reaktif), tetapi juga menegakkan power accountability (akuntabilitas kekuasaan) secara permanen.
Filosofinya, konsep ini mencerminkan watak hukum Islam yang dinamis dan substantif.

Dalam konteks Indonesia, di tengah lemahnya penegakan hukum, institusi HAM, dan maraknya korupsi, revitalisasi prinsip wilāyat al-maẓālim menjadi mendesak. Wujudnya menuntut keberanian kelembagaan untuk affirmative action (tindakan afirmatif) dan komitmen terhadap truth principle (prinsip kebenaran).

Teoritik dan normatif, wilāyat al-maẓālim menegaskan peradilan ideal tidak hanya menyelesaikan sengketa hukum, tetapi juga memperkuat legitimasi moral sistem hukum. Ketika peradilan menjadi ultimum remedium atas otoritarianisme, hukum berperan sebagai alat transformasi sosial menuju masyarakat berkeadaban. 

Dalam perspektif yuridis konstitusional, revitalisasi prinsip bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan philosophical-strategic endeavor (upaya filosofis strategis), guna membangun peradilan yang adil, akuntabel, dan menjunjung martabat kemanusiaan, dalam kerangka negara hukum modern berlandaskan keadilan substantif.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews