“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities, but of their advantages.”
-Adam Smith (An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations).
Dalam sejarah, kontestasi berbagai model ekonomi menghasilkan berbagai kesimpulan tentang pendekatan yang paling lincah dalam menjawab tantangan kehidupan manusia.
Lepas dari berbagai kontroversinya, salah satu sistem yang paling “sukses” adalah kapitalisme. Alih-alih usang, model perekonomian ini sudah bertransformasi ke fase keempat: pertama, kapitalisme negara lewat merkantilisme; kedua, kapitalisme industri sejak mesin uap; ketiga, kapitalisme finansial hingga pasca-Perang Dunia Kedua; terakhir, keempat, kapitalisme global.
Beberapa futurolog bahkan menyodorkan entitas baru dari pendekatan ini: “sustainable capitalism” sebagai tawaran untuk mengobati penat dan tajamnya kapitalisme (Leyden, 2025). Dominasi kapitalisme mungkin bukan kebetulan dan bisa dijelaskan secara rasional karena model ekonomi ini sejalan dengan biologi evolusioner, khususnya dalam seleksi alam.
Secara biologis, setiap spesies akan disaring lewat kompetisi kecocokan (fit-ness) dengan lingkungan. Siapapun yang lolos akan berusaha sedapat mungkin untuk meningkatkan kemenyintasannya dengan multiplikasi dan dominasi. Bila sebuah perusahaan dibayangkan sebagai spesies, maka korporasi yang bertahan akan berjuang sehebat mungkin untuk mempertahankan kelangsungannya.
Bila perlu, strategi winner takes all (win-lose: pemenang mendapatkan segalanya dan yang kalah tidak mendapatkan apapun) dilakukan untuk bertahan. Prinsip ini jika diterapkan dalam hukum menjadi sangat tajam: hukum dan semua fasilitasnya hanya untuk mereka yang kuat (fit) secara ekonomi. Kepastian hukum pun seolah menjadi variabel dari konstanta keberlimpahan.
Kebajikan dan Transaksi dalam Aktivitas Ekonomi
Konsep yang diajukan ekonom Adam Smith (1977) tentang “tangan-tangan tak kelihatan” (invisible hands) mungkin masih menggemakan pemikiran filsuf René Descartes hampir satu setengah abad sebelumnya tentang dualisme realitas. Sederhananya, bagi Descartes yang material selalu beriringan dengan yang immaterial. Yang material adalah ekstensi (extensa)-atau perpanjangan dari sesuatu. Yang immaterial adalah pikiran (cogitans). Pikiran menurut Descartes ada di luar tubuh manusia dan sifatnya abadi.
Kembali ke Smith, ekonomi bekerja lewat materialitas pasar yang mewujudkan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Smith (2000) adalah ekonom liberalisme klasik yang masih berharap banyak pada dimensi tak terukur dari aktivitas ekonomi. Kebijakan ekonomi selalu bersandingan dengan kebajikan nilai kemanusiaan.
Pakar filsafat moral Deirdre McCloskey mencatat, Smith mengangkat keberanian (courage), pengendalian diri (temperance), kehati-hatian (prudence), keadilan (justice), dan cinta kasih (love) sebagai pilar-pilar etis dari aktivitas ekonomi (McCloskey, 2005:24).
Smith hidup di masa Revolusi Industri yang dipicu oleh mesin uap, dan berdampak pada kelahiran kelas pemilik modul (borjuis). Bagi McCloskey, Smith seakan memberi justifikasi pada lapisan sosial yang baru muncul tersebut: “An ethic for the bourgeoisie is not the same thing as an apology for greed. Smith was hostile to the reduction of ethics to greedy interest” (Etika bagi kelas borjuis tidak sama dengan pembenaran atas keserakahan. Smith menentang keras reduksi etika semacam itu (McCloskey, 2005:21).
Sebaliknya, rekan sezaman Smith, Jeremy Bentham (1973), menegasi aspek kebajikan (virtue) apapun dari aktivitas ekonomi. Menurutnya, satu-satunya dorongan manusia untuk beraktivitas di pasar adalah utilitas, dan desakan untuk mementingkan kebahagiaan (pleasure) atas penderitaan (pain). Bagi Bentham, konsep kebaikan hanya bisa ditentukan lewat angka (the greatest good for the greatest number). Singkatnya, aktivitas ekonomi bersifat steril dari nilai kemanusiaan apapun-manusia menjadi makhluk ekonomi (homo economicus).
Hakikat Pendampingan Hukum Pro Bono
Bila hukum menjadi transaksional dan hanya menjadi instrumen manusia ekonomi, apapun yang nontransaksional menjadi seolah tidak rasional. Pakar hukum Deborah L. Rhode mencatat dalam Pro Bono in Principle and in Practice, ada kesenjangan antara cita-cita untuk menjamin pendampingan hukum tanpa pandang bulu, dengan kenyataan di lapangan.
Realitasnya, hanya satu dari setiap lima orang yang membutuhkan bantuan hukum dapat dipenuhi, empat per limanya tidak mendapatkan apa-apa. Rhode menggarisbawahi bahwa advokat yang tidak bersedia memberikan bantuan pendampingan tanpa imbalan pada masyarakat yang membutuhkan justru menegasi hakikat profesi itu sendiri (Rhode, 2005).
Dalam Access to Justice, Rhode mencatat bahwa pendampingan terhadap terdakwa yang tidak mampu sangat lemah, bahkan dalam beberapa kasus advokat sempat tertidur dan menelantarkan proses investigasi. Alasan yang biasa diberikan, tukas Rhode, adalah terlalu banyak gugatan. Bagi Rhode alasan ini hanya mitos dan dibuat-buat. Dari sisi kebijakan pemerintah, defisit anggaran untuk pelayanan publik tentang pendampingan hukum bagi masyarakat tidak mampu sangat akut. Negara seolah membuat keadilan menjadi barang mewah yang jauh dari jangkauan (Rhode, 2004).
Bila Rhode menitikberatkan pada advokat sebagai elemen penting dari jaminan keadilan bagi warga negara manapun, pakar hukum Upendra Baxi justru menekankan peran negara dan lembaga peradilan. Bagi Baxi, ini bukan hanya persoalan pendampingan hukum yang berbicara tentang hal-hal yang sifatnya efisien dan prosedural, tetapi kewajiban moral dan kultural.
Bukan hanya masalah masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu mendapatkan perlindungan hukum, tetapi lebih jauh lagi. Ada pengecualian terhadap mayoritas orang miskin yang tinggal di daerah-daerah rural atau terpencil atau elemen masyarakat marjinal lainnya. Perbaikan akses ke keadilan tidak cukup hanya pada pihak tertentu seperti jangkauan advokasi, tetapi tata kelola (governance) secara keseluruhan (Baxi, 2012).
Baxi mengangkat 12 elemen di negara berkembang yang dapat menghambat akses ke warga negara dalam mencari keadilan: warisan pola kolonial, keberagaman etnis, pertumbuhan populasi, sumber daya alam, dominasi politik terinstitusionalisasi, persoalan batas negara, beban hutang negara, pola perdagangan internasional yang berat sebelah, konflik sosial, campur tangan negara adikuasa, ada tidaknya ruang aspirasi publik, dan perbedaan budaya pemelajaran (Baxi, 2012:104).
Dari jalur Critical Legal Studies (CLS – kajian yang mengangkat eksploitasi dalam hukum), Martha Minow mencatat, ketidakmampuan masyarakat miskin untuk mencari keadilan membuat mereka menjadi “incapacitated people” (orang-orang yang tidak memiliki kemampuan) yang sepenuhnya termarjinalkan dalam hukum karena dua alasan. Pertama, mereka dapat dikategorikan sebagai manusia yang inferior secara wawasan untuk dilibatkan dalam hukum. Kedua, anggapan ini kemudian dilanggengkan menjadi stereotip yang memandang persoalan ketimpangan seolah hal yang lumrah.
Bagi Minow, dalam disposisi ini, hukum pun menjadi: “an ideology that helps to justify social, economic, and political domination of some groups in society by others” (suatu ideologi yang berfungsi melegitimasi dominasi sosial, ekonomi, dan politik sebagian kelompok masyarakat atas kelompok-kelompok lainnya) (Minow, 1994:164). Dengan kata lain, hukum menjadi instrumen eksploitasi kekuasaan.
Mengembalikan Hukum sebagai Hak Warga Negara
Dalam kasus Hussainara Khatoon & Ors. v. Home Secretary, WP (Cr.) No. 57/1979, di Negara Bagian Bihar, India, advokat Kapila Hingorani mencoba memberikan pendampingan hukum terhadap ribuan tahanan miskin di penjara Bihar. Para tahanan adalah mereka yang menunggu putusan tanpa ada kejelasan selama bertahun-tahun. Hakim Mahkamah Agung India, P.N. Bhagwati dan D.A. Desai memberikan putusan pada 9 Maret 1979 untuk menyelesaikan kasus yang mandeg dan memberi kejelasan nasib tahanan.
Kejadian tersebut, menjadi titik reformasi di India karena hak untuk didampingi dalam proses hukum dijadikan elemen konstitusional Legal Services Authorities Act pada 1987. Kejadian ini merefleksikan persoalan yang diangkat oleh Rhode, dan juga sisi emansipatoris yang diusulkan oleh Minow.
Hukum modern cenderung tumbuh dalam iklim kapitalisme yang bukan berupa fenomena statis, melainkan dinamis dan adaptif; terus berkembang mengikuti logika evolusi, dan berlaku selaras dengan konsep seleksi alam. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Adam Smith, dimensi material ekonomi yang bersifat transaksional tidak bisa dilepaskan dari dimensi immaterial berupa kebajikan manusia.
Demikian pula dengan hukum: ketika aspek transaksional mendominasi, hukum berisiko menjadi alat kepentingan ekonomi semata bagi mereka yang kuat secara finansial. Dengan demikian, mengembalikan hukum sebagai hak warga negara adalah tantangan yang membutuhkan lebih dari sekadar retorika; ia menuntut komitmen moral, kebijakan inklusif, serta perubahan institusional yang nyata agar hukum sungguh-sungguh hadir sebagai alat keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.