Dinamika Konsep Keputusan Fiktif dalam Hukum Administrasi Indonesia

Sikap diam pemerintah yang tak menanggapi permohonan warga dalam lalu lintas administrasi publik dikenal dengan istilah keputusan fiktif.
Ilustrasi administrasi pemerintahan atau tata usaha negara. Foto : Freepik
Ilustrasi administrasi pemerintahan atau tata usaha negara. Foto : Freepik

Arah penentuan sikap diam pemerintah dalam hukum administrasi Indonesia mengalami dinamika panjang sejak diundangkannya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun), Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP), hingga Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK). 

Sikap diam pemerintah yang tak menanggapi permohonan warga dalam lalu lintas administrasi publik dikenal dengan istilah keputusan fiktif. 

Konsep ini mencerminkan bagaimana sistem hukum memandang “diamnya” otoritas administratif sebagai tindakan yang dapat menimbulkan akibat yuridis bagi warga negara.

Konsep keputusan fiktif pertama kali diatur dalam Pasal 3 UU Peratun. Ketentuan ini menganggap bahwa ketika pejabat administrasi tak mengeluarkan keputusan dalam waktu yang ditentukan, maka sikap diam tersebut dianggap sebagai bentuk penolakan. 

Penolakan yang tak tertulis ini disamakan kedudukannya dengan keputusan tertulis. Konstruksi hukum demikian dikenal dengan istilah fiktif negatif, karena diamnya pemerintah ditafsirkan sebagai penolakan terhadap permohonan warga.

Dalam literatur hukum, istilah fiktif negatif sejajar dengan konsep tacit refusal dalam pustaka hukum Inggris dan silencio negativo dalam hukum Spanyol yang berarti silence is rejection. Oswald Jansen menyebutnya sebagai fictitious refusal (fictieve weigering). 

Di Indonesia, konsep ini merupakan adaptasi dari istilah ketetapan negatif yang telah lebih dulu diperkenalkan oleh E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang.

Perubahan paradigma terjadi ketika UU AP diundangkan melalui Pasal 53 yang memperkenalkan konsep baru, yaitu fiktif positif. Sikap diam pejabat pemerintah tak lagi dianggap sebagai penolakan, melainkan sebagai persetujuan secara hukum (approval). 

Paradigma ini bertujuan memperkuat tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pelayanan publik secara cepat dan responsif, sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi.

Arus balik kebijakan legislasi norma keputusan fiktif memunculkan prahara baru. Perbedaan mendasar antara fiktif negatif dan fiktif positif menjadi sumber konflik norma. 

Di satu sisi, Pasal 3 UU Peratun masih mengakui diamnya pejabat sebagai penolakan, namun di sisi lain Pasal 53 UU AP menafsirkan diam sebagai persetujuan. 

Konflik ini menciptakan ketakpastian hukum serta membuka peluang bagi pejabat untuk berlindung di balik kekosongan hukum (wet vacuum) guna menghindari kewajiban administratif. Oleh karena itu, perlu harmonisasi dan penyelarasan regulasi terkait sikap diam pemerintah.

Untuk menyelesaikan pertentangan tersebut, digunakan asas preferensi hukum, yakni lex posteriori derogat legi priori-peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama. 

Berdasarkan asas ini, rezim hukum yang berlaku seharusnya adalah fiktif positif, sebagaimana diatur dalam UU AP yang lebih mutakhir dibanding UU Peratun. Namun demikian, ketentuan fiktif negatif belum sepenuhnya dihapus. 

Norma tersebut masih eksis sepanjang belum dicabut melalui revisi UU atau dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. 

Dengan demikian, kedua konsep tersebut masih dapat hidup berdampingan berdasarkan asas lex posterior generali non derogat legi priori speciali-peraturan baru yang bersifat umum tak menghapus peraturan lama yang bersifat khusus.

Dalam konteks perbandingan, Oswald Jansen dan para sarjana lain menyebut fiktif positif dengan berbagai istilah seperti silent consent, fictitious approval, tacit authorization, atau silencio positivo. 

Semua istilah ini berpijak pada asas Latin qui tacet consentire videtur yang berarti silence implies consent-diam berarti setuju. Dalam hukum administrasi Belanda, konsep ini dikenal sebagai positieve fictieve beschikking, sedangkan dalam literatur Indonesia paralel dengan istilah lex silencio positivo.

Secara filosofis, spirit fiktif positif sejalan dengan kewajiban pejabat pemerintah untuk tak menolak pelayanan publik dengan alasan kekosongan hukum. 

Konsep ini merefleksikan semangat salus populi suprema lex-kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi-serta menegaskan peran negara kesejahteraan (welfare state) dalam menjamin hak warga.

Perubahan besar berikutnya muncul melalui Pasal 175 UU Cipta Kerja yang mengubah substansi Pasal 53 UU AP. 

Berdasarkan perbandingan kedua ketentuan tersebut, terdapat beberapa perubahan mendasar: batas waktu penyelesaian permohonan menjadi lebih singkat, yaitu lima hari kerja; diakomodirnya permohonan yang diajukan secara elektronik; serta tak lagi diwajibkannya permohonan penetapan ke PTUN untuk menyatakan persetujuan hukum. 

Artinya, pengabulan permohonan kini terjadi secara otomatis tanpa intervensi pengadilan. Ini menunjukkan pergeseran paradigma dari fiktif positif yang mengambang ke fiktif positif mutlak (absolute tacit approval).

Namun, perubahan tersebut juga menimbulkan persoalan baru. Tak adanya mekanisme pemeriksaan dan eksekusi di PTUN berpotensi mengurangi kontrol yudisial terhadap tindakan administrasi. 

Selain itu, Pasal 175 UU CK tak menjelaskan secara tegas perbedaan antara permohonan keputusan/tindakan fiktif positif dan tindakan faktual, sehingga menimbulkan potensi tumpang tindih dalam praktik peradilan administrasi.

Kelemahan normatif ini menunjukkan bahwa perumusan UU Cipta Kerja belum sepenuhnya memperhatikan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Akibatnya, perlindungan terhadap hak konstitusional warga dalam konteks keputusan fiktif positif menjadi kabur. 

Tak heran jika norma fiktif positif dalam UU Cipta Kerja banyak diuji ke Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan bahwa penerapannya masih menghadapi tantangan serius. Salah satu penyebabnya adalah belum terbitnya peraturan pelaksana yang seharusnya menjadi jembatan antara norma dan praktik. 

Ketidakpastian hukum yang timbul dari kekosongan Peraturan Presiden berpotensi menegasikan tujuan utama fiktif positif, yaitu menjamin kepastian dan akses keadilan bagi warga negara.

Pada akhirnya, dinamika antara fiktif negatif dan fiktif positif menggambarkan pergulatan hukum administrasi Indonesia dalam menyeimbangkan dua hal penting: kepastian hukum dan efisiensi pelayanan publik. 

Transformasi dari paradigma “diam berarti menolak” menuju “diam berarti mengabulkan” adalah refleksi evolusi hukum yang berupaya menempatkan warga negara sebagai pusat pelayanan administrasi pemerintahan.

Penulis: David Pasaribu
Editor: Tim MariNews