Diseminasi Doktrin Vicarious Liability Sistem Peradilan Pidana Anak

Orang tua/wali yang memiliki tugas mendidik anaknya, secara logis, tentunya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas perbuatan anaknya. Inilah ghirah dari konsep vicarious liability dalam pertanggungjawaban pidana anak dibawah 12 tahun.
Ilustrasi hukuman pidana untuk anak. Foto jdih.sukoharjokab.go.id
Ilustrasi hukuman pidana untuk anak. Foto jdih.sukoharjokab.go.id

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, konstruksi anak dalam konteks pertanggungjawaban pidana sendiri dapat dibedakan menjadi tiga kualifikasi. 

Pertama, anak usia 0 hingga dibawah 12 tahun. Ketentuannya, anak tidak dapat diperiksa dalam sistem peradilan pidana (penyidikan/penuntutan/persidangan), serta tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun dapat dikenakan tindakan (dikembalikan pada orang tua/wali dan mengikutsertakan program pendidikan dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS) melalui penetapan pengadilan yang diajukan oleh penyidik, bersama pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional. 

Dalam konteks dugaan tindak pidana yang dilakukan anak di bawah usia 12 tahun, pemeriksaan yang dilakukan penyidik bukan dalam rangka proses peradilan pidana (penyidikan), melainkan sebagai dasar pengambilan keputusan yang melibatkan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional, guna berikan tindakan yang tepat dan efektif terhadap anak di bawah usia 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Pengaturan usia terkait pertanggungjawaban pidana sendiri, erat kaitannya dengan faktor kemampuan bertanggungjawab yang merupakan salah satu aspek dari kesalahan. Jan Remmelink dalam buku Hukum Pidana (2003) mengartikan kemampuan bertanggungjawab sebagai keadaan kematangan dan normalitas psikis yang ditandai tiga kemampuan, yakni 
mengerti arti dan akibat dari perbuatannya, memahami bahwa perbuatan itu melanggar norma sosial, serta adanya kebebasan kehendak untuk melakukan perbuatan.

Secara praktis, unsur kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana diejawantahkan dengan kalkulasi kemampuan akal, dalam arti dalam kondisi normal atau tidak (kurang sempurna akal sejak lahir atau karena sakit), serta perihal batas usia minimum seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka anak di bawah usia 12 tahun dianggap oleh pembentuk undang-undang, tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab karena belum memiliki kematangan psikis. 

Kedua, anak usia 12 hingga dibawah 14 tahun. Ketentuannya, anak dapat diperiksa dalam sistem peradilan pidana, hingga persidangan, namun boleh dilakukan penahanan, serta tidak dapat dijatuhi sanksi pidana dan hanya dapat dikenakan tindakan melalui putusan pengadilan yang berbentuk lebih luas dari anak usia dibawah 12 tahun, yakni pengembalian pada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan, yang diadakan instansi pemerintah atau swasta, serta perbaikan akibat tindak pidana. 

Ketiga, anak usia 14 tahun hingga di bawah 18 tahun. Ketentuannya, anak dapat diajukan hingga persidangan. Dapat dijatuhi sanksi pidana atau tindakan. Menurut Pasal 71 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sanksi pidana terhadap anak dibedakan menjadi sanksi pokok yang terdiri dari pidana peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.

Sedangkan pidana tambahan terdiri perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat. Selanjutnya, apabila hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, dimana pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. 

Selain itu, terdapat lex specialis dalam penjatuhan pidana terhadap anak yang sifatnya meringankan (afirmatif penal), yakni sanksi penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah maksimal ½ dari maksimum pidana penjara terhadap orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pidana maksimum yang dapat dijatuhkan terhadap anak adalah pidana penjara 10 tahun.

Berdasarkan tiga konstruksi pertanggungjawaban pidana anak di atas, pada dasarnya terdapat celah hukum yang dapat berimplikasi pada lahirnya ketidakadilan dalam realitas sosial, yakni jika seorang anak dibawah 12 tahun melakukan tindak pidana terlebih yang tergolong tindak pidana berat atau kesusilaan terhadap sesama anak. Misalnya perkara pencabulan/kekerasan seksual. 

Tidak dapat dipungkiri perkembangan teknologi kini, telah merubah perilaku anak pada umumnya sehingga menstimulasi seorang anak melakukan tindak pidana kekerasan seksual sesama anak. Sebagaimana yang dialami oleh seorang Ibu dengan inisial NDP, berkeluh kesah di media sosial untuk memperjuangkan keadilan pada anaknya, karena anaknya yang masih balita jadi korban kekerasan seksual oleh seorang anak berusia 9 tahun. 

Secara yuridis, jika anak di bawah 12 tahun melakukan tindak pidana, maka anak di bawah 12 tahun tidak bisa dikenakan pertanggungjawaban pidana apapun dan hanya dikenakan tindakan dengan bentuk pengembalian pada orang tua atau mengikutsertakannya pada program pendidikan dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS. 

Dalam konteks ini, lalu bagaimana keadilan terhadap korban sesama anak. Korban adalah pihak yang paling dirugikan dan paling terdampak atas terjadinya suatu tindak pidana. Anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual, tentunya mengalami penderitaan psikis berat yang dapat berakibat terhadap perkembangan mentalnya di masa depan. Di sisi lain, membebankan pertanggungjawaban pidana terhadap anak di bawah 12 tahun, juga tidak dibenarkan secara aturan maupun norma pergaulan internasional. 

Maka diperlukan terobosan hukum untuk mengatasi problema tersebut yakni dengan mendiseminasikan doktrin vicarious liability (pertanggungjawaban pidana pengganti) dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Jadi konsepnya, bilamana  seorang anak berusia 12 tahun melakukan tindak pidana yang merugikan korban secara psikis, fisik maupun ekonomi, maka yang dipertanggungjawabkan secara pidana adalah orang tuanya, jika tidak memiliki orang tua maka wali, jika tidak memiliki wali, kejaksaan sebagai pengacara negara yang menanggungnya.

Bentuk pertanggungjawaban pengganti di sini, tentunya bukan dalam bentuk perampasan kemerdekaan yang bersifat retributif, melainkan sanksi yang bersifat pertanggungjawaban pemulihan terhadap kerugian korban, seperti ganti rugi atau pembiayaan rehabilitasi medis, sosial, dan psikososial dalam jangka waktu tertentu.

Jadi, orang tua/wali yang memiliki tugas mendidik anaknya secara logis tentunya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas perbuatan anaknya. Inilah ghirah dari konsep vicarious liability dalam pertanggungjawaban pidana anak di bawah 12 tahun. 

Meskipun secara umum doktrin pertanggungjawaban pidana mengandung asas personalitas, yakni setiap pertanggungjawaban pidana ditanggung oleh orang yang melakukannya dan sanksi pidana dikenakan pada siapa orang yang melakukan tindak pidana. Namun dalam fenomena anak di bawah 12 tahun yang melakukan tindak pidana, maka asas personalitas dapat dikesampingkan untuk mewujudkan tujuan hakiki dari adanya hukum yakni keadilan substantif. 

Keadilan sirna saat anak yang berusia di bawah 12 tahun pelaku tindak pidana, tidak dimintai pertanggungjawaban pidana dan dikenakan tindakan untuk dididik kembali, menjadi insan bermoral. Sedangkan korban tindak pidana mendapatkan keadilan, melalui sanksi pertanggungjawaban pengganti yang dibebankan pada orang tua/wali/kejaksaan dalam bentuk ganti rugi maupun pembiayaan rehabilitasi medis/sosial/psikososial. 

Di sisi lain, orang tua/wali dari pelaku, juga mendapatkan edukasi/warning therapy untuk lebih concern dalam mendidik anak melalui pertanggungjawaban pengganti. Inilah keadilan hukum substantif. Dimana sanksi pidana dioperasionalisasi, untuk memberikan keadilan korektif dan rehabilitatif.