Disparitas putusan adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum.
Disparitas putusan dianggap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktik disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo (2003: 7), menyatakan disparitas putusan berkaitan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.
Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan.
Sebagaimana disebutkan oleh Indonesianis asal Belanda, Sebastiaan Pompe dalam bukunya “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, yang menyatakan bahwa ketika putusan-putusan menjadi semakin tidak konsisten, kemungkinan penyelewengan yudisial pun makin membesar.
Hal ini senada dengan yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI saat itu, Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., pada Refleksi Akhir Tahun di gedung Mahkamah Agung, 29 Desember 2021, yang menyatakan bahwa peningkatan kualitas putusan dalam perkara yang diadili MA maupun badan peradilan di bawahnya akan berdampak signifikan terhadap citra dan nama baik Mahkamah Agung.
Lebih jauh, Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. juga tidak berharap ada banyak disparitas putusan yang dihasilkan oleh hakim.
Disparitas putusan menjadi problematik karena ada banyak faktor, yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan. Sebastiaan Pompe mencatat paling tidak ada 2 (dua) hal, yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan yaitu tunggakan perkara dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan. Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.
Secara normatif, berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, namun dalam beberapa putusan, Hakim Agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional.
Hal ini dapat terlihat pada kaidah hukum putusan Nomor Putusan 2661 K/Pid.Sus/2017. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan sebagai berikut:
- Bahwa pidana penjara yang dijatuhkan oleh Judex Facti kepada Terdakwa selama 19 (sembilan belas) tahun tidak memenuhi rasa keadilan dan menciptakan terjadinya disparitas pidana ;
- Bahwa disparitas pemidanaan dimaksud dengan perkara lainnya dengan barang bukti Narkotika dalam jumlah yang lebih sedikit ± 2 (dua) kilogram dipidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun, sedangkan dalam perkara a quo barang bukti sabu yang diterima Terdakwa dari Malaysia ke Indonesia jumlahnya sangat besar yaitu 7.136,8 gram ;
Perhatian akan disparitas putusan juga ditemukan dalam Putusan Nomor 2744 K/Pid.Sus/2017. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Agung menyatakan sebagai berikut:
- Hukuman Terdakwa tidak dapat diperberat karena barang bukti narkotika yang ditemukan pada diri Terdakwa berupa narkotika jenis shabu seberat 1 (satu) gram;
- Pada umumnya perkara tindak pidana narkotika dengan barang bukti narkotika jenis shabu sebanyak 1 (satu) gram dalam praktek peradilan dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
- Penjatuhan pidana penjara lebih berat seperti yang dikehendaki dan dikemukakan Penuntut Umum dalam memori kasasinya tentu akan menciptakan disparitas pemidanaan yang mencolok sehingga menciptakan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif dalam pemidanaan;
- Bahwa yang seharusnya dijatuhi pidana berat adalah bandar, produsen gelap, importir/eksportir gelap atau pemasok narkotika atau sindikat/ jaringan peredaran gelap narkotika Internasional, transnasional. Sedangkan Terdakwa kedudukannya belum termasuk dalam kategori tersebut;
Pertimbangan senada ditemukan pada perkara nomor 759 K/Pid.Sus/2021. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi memperbaiki pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa dengan alasan disparitas.
2. Bahwa namun demikian putusan judex facti harus diperbaiki mengenai lamanya pidana yaitu dengan menjatuhkan pidana yang lebih ringan, karena masih ada alasan yang meringankan yang belum dipertimbangkan oleh judex facti, yaitu:
- Bahwa barang bukti yang ada pada Terdakwa sisa pemakaian Terdakwa dan Odo artinya kepemilikan/penguasaan Terdakwa terhadap barang bukti adalah dalam rangka untuk digunakan bersama Odo (DPO) bukan untuk diedarkan kembali;
- Bahwa jumlah barang bukti selain tidak melebihi ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 juga tidak ternyata Terdakwa sebagai target operasi di Kepolisian dan/atau terlibat dalam jaringan peredaran gelap Narkotika;
- Bahwa selain untuk menghindari disparitas pidana dalam perkara serupa dan fakta bahwa Terdakwa belum pernah dipidana sebagaimana telah dipertimbangkan judex facti, juga perlu dipertimbangkan usia Terdakwa yang masih dalam usia produktif;
Pertimbangan serupa ditemukan pada perkara nomor 174 K/Pid.Sus/2021, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa terhadap alasan kasasi lain dari Penuntut Umum berupa terhadap keseluruhan barang bukti dalam perkara a quo yang seharusnya statusnya dikembalikan kepada penyidik (PPNS) Bea Dan Cukai Wilayah Sumatera Barat di Bandar Lampung Guna Penyidikan Perkara Lain dengan pertimbangan akan digunakan dalam perkara lain, menurut judex juris pertimbangan judex facti perihal 31 (tiga puluh satu) status barang bukti yang tidak dikembalikan kepada penyidik (PPNS) Bea Dan Cukai Wilayah Sumatera Barat di Bandar Lampung Guna Penyidikan Perkara Lain sudah tepat menurut hukum dikarenakan selama persidangan, Penuntut Umum tidak mau menjelaskan berkaitan dengan perkara yang lain yang mana kaitannya dengan 31 (tiga puluh satu) barang bukti tersebut, disamping itu selama proses persidangan tidak ada pelaku lain yang diperiksa sebagai saksi dalam perkara atas nama Terdakwa;
Bahwa namun demikian, terhadap pidana yang dijatuhkan oleh judex facti perlu diperbaiki dengan pertimbangan Terdakwa belum pernah dihukum serta agar tidak terjadi disparitas dalam menangani perkara sejenis, sehingga dipandang adil pidana yang dijatuhkan sebagaimana amar putusan di bawah ini;
Dalam perkara 28 PK/Pid/2019, Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengkualifikasi perbedaan hukuman dan disparitas hukuman antara Terpidana I dan II, sebagai kekhilafan atau kekeliruan yang nyata. Majelis Hakim Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa namun demikian terlepas dari alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali /Terpidana II tersebut, judex juris telah melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam hal menjatuhkan pidana kepada Terpidana II dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, sementara kepada Terpidana I dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir;
- Bahwa berdasarkan fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana terungkap di muka sidang, terbukti fakta terjadinya tindak pidana dalam perkara a quo adalah atas kehendak dan kerjasama yang erat antara Terpidana I dengan Terpidana II, sehingga tidak adil apabila kedua Terpidana dijatuhi pidana yang berbeda, dengan perbedaan yang mencolok tersebut, oleh karena akan menciptakan disparitas pemidanaan terhadap dua pelaku tindak pidana yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama;
Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah Agung kerap mengoreksi pemidanaan dengan memperhatikan disparitas pemidanaan. Pertimbangan mengenai disparitas pemidanaan juga dapat ditemukan dalam perkara perkara lainnya.