Mengenal Alasan Pemaaf dalam KUHP Nasional

Alasan penghapus pidana terdiri atas alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond).
Ilustrasi putusan hakim. Foto ;iStockphoto
Ilustrasi putusan hakim. Foto ;iStockphoto

Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.

Ketentuan yang erdapat di dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas 3 (tiga) syarat, yaitu:

  1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari sisi pembuat;
  2. Adanya perbuatan melawan hukum, yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati; dan
  3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.

Selain bahwa tidak dipidananya pelaku tindak pidana karena tidak adanya kesalahan padanya, maka juga terdapat alasan-alasan lain sebagai alasan untuk tidak dipidananya seseorang meskipun ia melakukan tindak pidana.

Alasan-alasan tersebut disebut sebagai alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terdiri atas alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond).

Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi pembahasan dengan hanya membahas alasan pemaaf.

Alasan pemaaf bersifat subjektif, menghapus kesalahan pelaku karena kondisi batin atau keadaan tertentu meskipun perbuatannya tetap melawan hukum. 

Berbeda dengan alasan pembenar yang membenarkan perbuatannya, alasan pemaaf memaafkan pelakunya.

Alasan pemaaf tidak membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, tetapi memberikan dasar untuk menghapus pertanggungjawaban pidana atas dasar tidak adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 

Dalam hal terdapat alasan pemaaf, Hakim akan menjatuhkan putusan lepas dari tuntutan hukum (ontslag van alle recht vervolging), sebab unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan terpenuhi, namun terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena kesalahannya dimaafkan oleh hukum. 

Hal ini berbeda dengan alasan pembenar, dalam hal hilangnya “sifat melawan hukum” perbuatan, Hakim akan menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak).

Alasan pemaaf secara khusus diatur dalam Paragraf 2 Bagian Kedua Bab 2 KUHP Nasional yang mengatur tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Alasan pemaaf yang diatur dalam KUHP Nasional di antaranya:

  1. Pasal 40-41 mengatur tentang pelaku adalah anak berusia di bawah 12 tahun;
  2. Pasal 42 mengatur tentang daya paksa (overmacht);
  3. Pasal 43 mengatur tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces); dan
  4. Pasal 44 mengatur tentang menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik (een onbevoegd gegeven amtelijk bevel).

Pasal 40 KUHP Nasional pada pokoknya menegaskan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan Tindak Pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun. 

Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi anak yang melakukan Tindak Pidana. 

Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penanganan perkaranya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak. 

Pada dasarnya ketentuan dalam Pasal 40 ini secara substansi adalah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 41 KUHP Nasional pada pokoknya menegaskan dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Tindak Pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk:

  1. menyerahkan kembali kepada Orang Tua/wali; atau
  2. mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik pada tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) Bulan. Keikutsertaan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam ketentuan ini termasuk rehabilitasi sosial dan rehabilitasi psikososial.

Dalam ketentuan ini, anak yang masih sekolah tetap dapat mengikuti pendidikan formal, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta. Dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat melibatkan dinas pendidikan, dinas sosial, pembimbing kemasyarakatan, lembaga pendidikan, dan lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial.

Pasal 40 hingga Pasal 41 pada intinya mengatur bahwa anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun ketika melakukan tindak pidana maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 

Dalam pasal ini, bukanlah penjatuhan pidana atau pengenaan pidana yang dilakukan melalui proses peradilan, melainkan pengenaan tindakan yang dilakukan di luar proses pengadilan oleh penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional.

Pasal 42 mengatur bahwa Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena:

dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau
dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.

Ketentuan Pasal 42 berkenaan dengan daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif. Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” atau paksaan mutlak adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. 

Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” atau paksaan relatif adalah:

  1. ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan
  2. apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih daripada kepentingan yang diselamatkan.

Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan pada pertimbangan pikirannya sendiri. 

Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

Daya paksa (overmacht) adalah hal yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya. 

Keberadaan daya paksa menjadi penting karena dapat menentukan dan menjadi dasar peniadaan hukuman pidana.

Pasal 42 huruf a berkenaan dengan paksaan (dwang) yang absolut, sedangkan Pasal 42 huruf b berkenaan dengan paksaan yang relatif. 

Misalnya, seorang pemegang kas dari suatu bank dipaksa seseorang dengan ancaman senjata api untuk menyerahkan semua uang yang ada di kas. 

Jika ia tidak memenuhi permintaan paksa itu, ia bisa ditembak mati. Orang yang diancam itu (sebenarnya) masih dapat memilih apakah akan menyerahkan uang kas atau ia melawan yang jika ia memilih hal ini ia bisa tewas tertembak. Kalau ia memilih menyerahkan uang kas ke orang itu, maka ia tidak dipidana karena ia berada dalam keadaan overmacht.

Namun, tidak setiap paksaan atau dorongan dapat menimbulkan keadaan overmacht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ini. 

Misalnya, seorang majikan (si A) menyuruh bawahannya (B) untuk memukul orang lain (C). Meski si B melakukan perbuatan memukul C itu di bawah pengaruh majikannya, ia tidak dapat mengelakkan diri dari hukuman atas dasar adanya overmacht. 

Dengan demikian, daya paksa disini sebenarnya memiliki makna khusus yakni paksaan yang berasal dari seseorang yang mengarahkan atau memaksa seseorang melakukan tindak pidana, di mana paksaan itu sendiri bersifat relatif, bukan paksaan yang absolut.

Pasal 43 mengatur bahwa setiap Orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana. 

Ketentuan ini mengatur pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dengan syarat:

  1. pembelaan melampaui batas atau tidak proporsional dengan serangan atau ancaman serangan seketika; dan
  2. yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika.

Noodweer exces di Pasal 43 ini dapat dilihat dalam 3 (tiga) bagian yang harus terpenuhi agar orangnya tidak dipidana, yaitu:

  1. Pertama, adalah perkataan “pembelaan terpaksa”. Harus ada syarat-syarat sebagaimana noodweer: (1) Ada serangan, di mana serangan itu harus mengancam pada saat itu juga (ogenblijkkelijke) atau dikhawatirkan segera menimpa (onmiddelijke dreigen); (2) Serangan itu bersifat melawan hukum (wederechtelijk); dan (3) Yang dibela terbatas, yakni diri sendiri atau diri orang lain, atau harta benda sendiri atau orang lain.
  2. Kedua, adalah perkataan “yang melampaui batas”. Di sini merujuk pada adanya syarat yang terpenuhi, yakni ada pembelaan yang diharuskan (geboden) dan sangat diperlukan/terpaksa (noodzakelijk). Dapat juga dikatakan bahwa melampaui batas itu karena pembelaan yang dilakukan tidak memenuhi asas subsidiaritas dan proporsionalitas.
  3. Ketiga, adalah perkataan “langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum”. Harus dibuktikan bahwa melampaui batas pembelaan terpaksa itu langsung disebabkan oleh adanya kegoncangan jiwa dan juga harus dibuktikan bahwa kegoncangan jiwa itu karena serangan atau ancaman serangan (bukan oleh sebab lainnya). Jadi harus ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara serangan atau ancaman serangan dengan kegoncangan jiwa itu.

Contoh, seorang wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa seorang pria. Pria tersebut berhasil mendekat badan wanita, namun dengan sekuat tenaga wanita tersebut menendang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai di situ, wanita tersebut memukulkan benda-benda di sekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya.

Dalam konteks demikian, secara teoretis wanita tersebut melakukan 2 (dua) pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweer exces, ketika wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada di sekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.

Pasal 44 mengatur bahwa perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan kepada wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya.

Hal ini tentu menyulitkan banyak orang, khususnya bagi mereka yang berada pada posisi bawahan yang harus taat menjalankan perintah dari atasannya. 

Kalau mereka menjalankan perintah dan ternyata perintah itu tidak sah atau diberikan oleh atasan yang tidak mempunyai kewenangan maka mereka dapat dipidana.

Sebaliknya, jika mereka tidak melaksanakan perintah dari atasan maka akan dianggap melakukan suatu penolakan, pengabaian atau bahkan pembangkangan yang juga dapat mendatangkan risiko buruk bagi pegawai bawahan itu sehingga para pegawai harus selalu mencermati dan meneliti apakah atasan yang memberikan perintah itu memang benar-benar mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan perintah semacam itu ataukah tidak.

Oleh karena situasi sulit bagi bawahan inilah maka pembuat undang-undang menyadari bahwa seorang bawahan tidak selalu mempunyai kemampuan untuk menilai kebenaran perintah yang telah ia terima dari atasannya.

Di sini ada 3 (tiga) syarat terpenuhinya ketentuan Pasal 44 ini, yaitu:

  1. Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berwenang;
  2. Yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang; dan
  3. Pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya/ruang lingkup pekerjaannya.

Referensi

Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pers.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Muhammad Rizqi Hengki. (2023). Hukum Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Bandung: Media Sains Indonesia.
Muhammad Rizqi Hengki. (2025). Hukum Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia. Bandung: Media Sains Indonesia.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/beda-alasan-pembenar-dan-alasan-pemaaf-dalam-hukum-pidana-lt686f49205392b/  
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-overmacht-dan-ultimum-remedium-lt56dd07c1a7dbf/