Konstatir, Kualifisir, dan Konstituir: Tahapan bagi Hakim dalam Membuat Keputusan

Putusan sering juga dikonotasikan sebagai mahkota dari hakim, sebuah mahkota menjadi kehormatan bagi hakim yang bersangkutan
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik

Putusan merupakan produk akhir dari sebuah perkara yang diperiksa, dan diputus oleh seorang hakim.

Putusan sering juga dikonotasikan sebagai mahkota dari hakim, sebuah mahkota menjadi kehormatan bagi hakim yang bersangkutan, dan martabatnya sebagai hakim terlihat dari mahkota yang digunakannya. 

Semakin bagus mahkota yang digunakan maka semakin terlihat kebijaksanaan dan kewibawaan dari hakim tersebut.

Dalam membuat mahkotanya tersebut, hakim harus berpikir secara logis dikarenakan hakim dituntut untuk dapat menyelesaikan sebuah perkara yang tak jarang dihadapkan oleh misteri yang harus dipecahkannya melalui beberapa alat bukti yang ada. 

Untuk dapat berpikir secara logis tersebut, hakim dapat melalui tiga tahapan dalam membentuk mahkotanya tersebut yakni melalui proses Konstatir, Kualifisir, dan Konstituir.

Tahapan Membuat Putusan

Tahap pertama, Konstatir, pada tahap ini seorang hakim mengkonstatir benar atau tidaknya telah terjadi sebuah peristiwa. 

Dalam tahap ini hakim menilai telah terjadinya sebuah peristiwa yang diajukan kepadanya yang merupakan sebuah peristiwa bukan dugaan, dengan batu uji alat bukti, yang dinilai hakim melalui keyakinannya. 

Menilai alat bukti yang diajukan oleh pihak dengan memperhatikan aspek formiil dan materiil, sehingga memenuhi batas minimum pembuktian dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Hakim harus berpikir logis, penguasaan hukum pembuktian bagi hakim sangat dibutuhkan pada tahap ini.

Oleh karena itu, hakim harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas, bukan sekadar ilmu hukum dogmatik belaka, namun juga mendalami disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, filsafat, politik. 

Setelah berhasil mengkonstatir peristiwa tersebut, lalu dilanjutkan dengan mengkualifisir nya.

Tahap kedua, kualifisir, disini hakim menilai peristiwa tersebut dengan mengelompokkan peristiwa konkrit dalam kelompok atau golongan peristiwa apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah di konstatir tersebut. 

Tahap ini menjawab persoalan apakah rumusan tertulis masalah (bestandeel) terpenuhi atau tidak.Contohnya peristiwa tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan pencurian (Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 

Setelah tahapan ini hakim harus menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikualifisirnya.

Tahap ketiga, konstituir, pada tahap ini hakim menetapkan hukumnya atas semua fakta yang telah melalui proses konstatir dan kualifisir yang selanjutnya dituangkan dalam amar putusan sebagai jawaban atas semua tuntutan pidana dari penuntut umum. 

Hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik kesimpulan dari premis mayor (aturan hukumnya) terhadap premis minor (peristiwa pidananya). 

Setelah melalui tiga tahapan tersebut, hakim mempunyai solving legal problems dan mempunyai kewajiban mencari solusinya yang memang tidak mudah untuk mendapatkan jawabannya. 

Hal ini dikarenakan dalam kehidupan masyarakat terdapat masalah-masalah kehidupan, baik yang berkaitan dengan kehidupan, agama, sosial, moral, kesopanan, kesusilaan dan lainnya. 

Seorang hakim yang mempunyai kompetensi harus dapat memberikan jawaban dari sebuah permasalahan hukum, hal ini sesuai dengan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum) 

Oleh karenanya, hakim harus mampu mengkonstatir masalah, mengkualifikasi masalah dan barulah menemukan hukumnya.
 
Dari menemukan hukum tersebut seorang hakim harus melakukan pemecahan permasalahan hukum.

Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. 

Kata menggali pada pasal tersebut mengandung arti bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, harus digali agar dapat ditemukan, kemudian dibentuk melalui putusan hakim.

Pada akhirnya putusan merupakan proses ilmiah dengan menempatkan hakim sebagai pemeran utamanya. 

Hakim memegang peran sentral dalam membuat putusan atas sengketa yang diberikan kepadanya untuk diputus. 

Melalui tiga tahapan tersebut dijadikan sebagai tolak ukur dalam pertimbangan suatu putusan.

Apabila seorang hakim tidak melakukan salah satu tahapan tersebut, misalnya tidak menentukan apa peristiwa tersebut benar terjadi atau tidak, kemudian tidak mengkualifikasi perbuatan tersebut termasuk perbuatan apa dan tidak melakukan penilaian terhadap alat bukti, maka ketidakberhasilan dua tahap awal tersebut berpotensi menyebabkan putusan yang dihasilkan tidak memenuhi hukum yang tepat atas permasalahan yang terjadi.

Selain melalui tiga tahapan di atas, dalam memutus sebuah perkara yang utama adalah Kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap di persidangan. 

Sebelum melaksanakan tugasnya, seorang hakim tidak boleh memutus begitu saja tanpa memberikan argumentasi hukum atau pertimbangan hukum (legal reasoning), sehingga putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan dengan didasari oleh rasa adil, kebijaksanaan dan bersifat objektif sehingga memenuhi tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. 

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Buku

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Kencana, 2017.
Hamzah, Andi. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan perkembangannya. Jakarta: Sofmedia. 2012.
Mertokusumo, Soedikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 2002.