Menilai Putusan Pengadilan: Netizen Wajib Mengedepankan Nalar, Bukan Sekadar Opini Publik

Opini publik sering kali didominasi oleh emosi, narasi sepihak, atau bahkan framing media yang belum tentu mencerminkan fakta hukum yang sebenarnya
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto  Unsplash
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto Unsplash

Di era digital, media sosial telah jadi arena perdebatan sengit, tidak terkecuali mengenai putusan pengadilan. 

Kasus-kasus besar, terutama yang melibatkan figur publik atau isu sensitif, seketika memicu gelombang opini publik yang masif. 

Sayangnya, opini publik sering kali didominasi oleh emosi, narasi sepihak, atau bahkan framing media yang belum tentu mencerminkan fakta hukum yang sebenarnya. 

Sebagai netizen yang cerdas, kita memiliki tanggung jawab untuk menilai putusan pengadilan secara objektif, kritis, dan berbasis fakta hukum, bukan sekadar tergiring pada hiruk-pikuk sentimen online.

Memahami Ranah Hukum: Jauh Lebih Kompleks dari Benar dan Salah Populer

Sistem peradilan beroperasi di atas kerangka hukum positif, yaitu undang-undang, peraturan, dan yurisprudensi. 

Sebuah putusan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan moral atau keadilan sosial yang populer, melainkan pada alat bukti yang sah (seperti keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa), serta fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.

Hal ini berbeda dengan opini publik, yang sering kali terbentuk dari:

  • Informasi yang tidak lengkap atau bocoran di media.
  • Asumsi dan spekulasi tanpa akses ke berkas perkara.
  • Dampak emosional kasus tersebut terhadap masyarakat.
  • Bias kognitif (confirmation bias atau hindsight bias) yang membuat kita hanya mencari informasi yang mendukung pandangan awal.

Pengadilan adalah institusi yang terikat pada prosedur hukum acara yang ketat (seperti asas praduga tak bersalah dan hak untuk didampingi pengacara). 

Hakim harus menimbang alat bukti sesuai standar hukum, seperti kriteria minimal dua alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan. Opini publik tidak memiliki standar pembuktian ini.

Langkah Kritis Netizen dalam Menilai Putusan

Untuk menjadi netizen yang bertanggung jawab, kita perlu melakukan penilaian kritis sebelum ikut mengHakimi sebuah putusan.

  1. Cari Tahu Dasar Hukum Putusan: Fokuskan pencarian pada pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang digunakan Hakim. Putusan yang baik akan memuat analisis rinci tentang Fakta-fakta yang terbukti (berdasarkan alat bukti),Pasal-pasal hukum yang diterapkan, dan Alasan yuridis mengapa terdakwa diputus bersalah atau bebas.
  2. Pahami Keterbatasan Informasi Anda: Sebagai publik, kita tidak memiliki akses penuh ke seluruh berkas perkara, BAP (Berita Acara Pemeriksaan), dan rekaman sidang secara utuh (kecuali sidang terbuka). Sadari bahwa apa yang beredar di media massa atau media sosial hanyalah fragmen yang telah diseleksi. Jangan mengambil kesimpulan hanya dari kutipan atau highlight yang viral.
  3. Bedakan antara Hukum Acara dan Hukum Materiil: Terkadang, terdakwa bebas bukan karena tidak bersalah secara moral (hukum materiil), tetapi karena adanya cacat prosedural atau kurangnya alat bukti yang sah (hukum acara). Kegagalan pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), akan berujung pada putusan bebas. Pahami bahwa putusan bebas bukan berarti pengadilan setuju dengan perbuatan yang dituduhkan, melainkan menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
  4. Hormati Upaya Hukum: Jika putusan dirasa tidak adil, sistem hukum telah menyediakan mekanisme koreksi, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Netizen yang kritis seharusnya mengawal upaya hukum ini, bukan hanya merisak (mencaci maki) institusi pengadilan di media sosial.

Kesimpulan: Otoritas Hukum vs. Otoritas Sentimen

Opini publik memiliki peran penting dalam mendorong reformasi dan pengawasan, tetapi putusan pengadilan harus tunduk pada otoritas hukum, bukan mengikuti sentimen publik. 

Saat, netizen mendasarkan penilaian pada analisis hukum yang cermat dan menahan diri dari penilaian emosional, kita tidak hanya menunjukkan kedewasaan berdemokrasi, tetapi juga menjaga independensi peradilan dari tekanan massa.

Jadilah netizen yang mencari dan memahami kebenaran hukum sebuah kebenaran yang teruji dalam persidangan daripada sekadar mempercayai kebenaran versi trending topic.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews