Tindakan Korektif Pejabat: Respons Terhadap Keputusan Administrasi yang Keliru

Pemerintah, dalam hal ini Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dalam melaksanakan tindakannya selalu dilakukan demi kepentingan umum.
Ilustrasi putusan administrasi negara. Foto: istockphoto.com
Ilustrasi putusan administrasi negara. Foto: istockphoto.com

Pada era digitalisasi dan good governance seperti sekarang ini, sifat dinamis sebuah kementerian/lembaga dalam tubuh pemerintahan terus menghasilkan berbagai keputusan publik. Keputusan-keputusan ini senantiasa disandingkan dengan perubahan-perubahan hukum yang begitu cepat, menuntut adaptasi dan akurasi yang tinggi. 

Namun, dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks dan masif ini, potensi kekeliruan yang mengakibatkan terhadap keputusan-keputusan tersebut dilakukan perubahan, pencabutan, penundaan, hingga pembatalan merupakan hal yang tak terhindarkan.

Lantas bagaimana menyikapi kondisi ketika menemukan sebuah keputusan pemerintah yang dinilai keliru dan/atau merugikan masyarakat? Apakah pemerintah sebagai pembuat kebijakan hanya dapat berpasrah diri dan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah tersebut ke meja hijau, dalam hal ini peradilan administrasi, atau adakah mekanisme koreksi internal dan jalur penyelesaian alternatif yang lebih efisien dan konstruktif? 

Pemerintah, dalam hal ini Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dalam melaksanakan tindakannya selalu dilakukan demi kepentingan umum. 

Konsep kepentingan umum dapat ditemukan dalam unsur Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan. 

Pemerintah mengimplementasikan fungsi pemerintah dalam bentuk pengambilan keputusan dan/atau tindakan.

Namun demikian seringkali ditemui keputusan yang obsolete (usang). Konteks usang ini tentu harus dikaitkan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu diadakan perubahan, pencabutan, kesalahan, perubahan dasar pembuatan keputusan, fakta baru, hingga kecacatan wewenang, prosedur, substansi dalam hal keputusan dan/atau tindakan diajukan pembatalan.

Sejatinya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memiliki hak dan kewajiban terkait apa yang menjadi keputusannya. 

Salah satu hak tersebut adalah menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan. Hal lain yang menjadi kewajiban Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah memeriksa dan meneliti dokumen administrasi pemerintahan.

Kedua hal ini telah diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d juncto Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Secara konkrit kedua norma tersebut kemudian diatur melalui mekanisme perubahan, pencabutan, penundaan, dan pembatalan.

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur mengenai perubahan. 

Dijelaskan kondisi perubahan terhadap suatu keputusan itu antara lain karena kesalahan konsideran, kesalahan redaksional, perubahan dasar pembuatan Keputusan, dan/atau fakta baru. Khusus dalam hal perubahan telah ditegaskan dalam Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Keadaan ini berbeda apabila kita melihat adanya pencabutan, penundaan dan pembatalan. Keberadaan pencabutan dan pembatalan ini dapat dilakukan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi sebagaimana Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Ketiga hal ini tidak serta merta didasarkan pada inisiatif Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, melainkan dapat pula didasarkan pada perintah pengadilan.

Dalam rumusan pasal-pasal tersebut tentu telah terlihat bahwa dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah mengetahui terhadap keputusannya haruslah dilakukan sebuah perbaikan. 

Keadaan ini sejalan dengan apa yang dikenal dengan asas spontane vernietiging. Asas ini lebih menekankan bahwa Spontane Vernietiging (Pembatalan Spontan) adalah sebuah asas yang fundamental dalam Hukum Administrasi Negara (HAN). 

Asas ini berkaitan dengan kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan korektif terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkannya.

Inilah yang seringkali kita temui dalam suatu keputusan terdapat kata-kata “apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, maka akan diadakan perbaikan/peninjauan kembali sebagaimana mestinya”. Dalam ranah teori administrasi frasa ini dikenal dengan istilah in clausa venenum.

Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah Belanda "spontane vernietiging", konsep pembatalan atas inisiatif sendiri karena terdapat cacat hukum pada suatu keputusan diakui dan dilembagakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Klausa in clausa venenum ini berfungsi sebagai penegasan formal dari prinsip spontane vernietiging. 

Dengan mencantumkan klausa ini, Pejabat Pemerintahan secara eksplisit:

  • Mengakui adanya kemungkinan kesalahan atau kekeliruan dalam proses penetapan keputusan.
  • Menyatakan dan mengamankan kewenangannya (berdasarkan asas spontane vernietiging) untuk melakukan koreksi atau pembatalan secara sepihak di masa mendatang, tanpa harus menunggu gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Namun, penting untuk dicatat bahwa spontane vernietiging berbeda dengan fasilitas herziening (peninjauan kembali) yang diatur dalam hukum perdata atau pidana, di mana peninjauan kembali umumnya diajukan oleh pihak yang berkepentingan. 

Spontane vernietiging murni merupakan hak aktif dan inisiatif Pejabat Pemerintah sendiri.

Dengan demikian, asas Spontane Vernietiging bukanlah sekadar teori hukum, melainkan penegasan bahwa Pejabat Pemerintah memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengambil inisiatif korektif segera setelah mengetahui adanya cacat yuridis dalam keputusan yang mereka terbitkan. 

Kewenangan untuk mengubah atau membatalkan Keputusan Administrasi Negara secara mandiri ini diwujudkan demi terciptanya kepentingan umum yang adil dan perlindungan hak-hak masyarakat. 

Pada akhirnya, penulis melihat bahwa tindakan koreksi yang responsif dan proaktif atas inisiatif sendiri, alih-alih menunggu gugatan di pengadilan, justru akan memberikan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap integritas dan profesionalisme birokrasi, menunjukkan bahwa pemerintahan berkomitmen pada asas-asas administrasi yang baik dan bertanggung jawab.

Penulis: Ahmad Hizam Fajri
Editor: Tim MariNews