Eksekusi Putusan: Dulu Mudah, Kini Penuh Tantangan (Refleksi atas Dinamika Praktik Peradilan)

Pengadilan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang selalu benar; ia kini diawasi, diuji, bahkan digugat.
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik
Ilustrasi yurisprudensi putusan pengadilan. Foto : Freepik

 Dalam perjalanan sejarah peradilan di Indonesia, terdapat kisah-kisah dari masa lampau tentang betapa mudah dan lancarnya pelaksanaan eksekusi putusan. 

Para aparatur peradilan, baik hakim maupun pelaksana teknis, dahulu memiliki posisi sosial yang kuat di tengah masyarakat. 

Mereka dihormati, dipercaya, bahkan dianggap sebagai tokoh teladan dalam kehidupan sosial dan keagamaan.

Di banyak daerah, khususnya di lingkungan masyarakat religius atau pedesaan, aparatur peradilan sering dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan. 

Mereka menjadi rujukan moral, tokoh organisasi sosial, hingga tempat bertanya dalam urusan agama maupun adat.

Status sosial ini memberikan efek langsung terhadap tugas kedinasan: ketika pengadilan harus melaksanakan eksekusi atas sengketa tanah, warisan, atau aset lainnya, masyarakat umumnya menerima dengan lapang dada. 

Keputusan pengadilan dianggap final dan pelaksanaannya jarang menemui hambatan berarti. Namun seperti pepatah, “Times change, and human beings change along with time” (zaman berubah, dan manusia berubah bersama waktu).

Perubahan Sosial: Dari Kepatuhan Tradisional Menuju Kesadaran Hak

Kemajuan pendidikan dan informasi telah ikut mengubah wajah masyarakat Indonesia. Generasi hari ini lebih kritis, lebih sadar hak, dan lebih berani menyuarakan ketidakpuasan. 

Di satu sisi, ini adalah perkembangan positif: masyarakat semakin melek hukum dan tidak pasrah begitu saja pada putusan yang dianggap tidak adil.

Namun di sisi lain, perubahan ini membuat pelaksanaan putusan, termasuk eksekusi, tidak lagi semudah dulu.

Penolakan, protes, bahkan perlawanan terhadap tindakan eksekutorial semakin sering terjadi. 

Pengadilan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang selalu benar; ia kini diawasi, diuji, bahkan digugat.

Pergeseran Otoritas dan Legitimasi Sosial Penegak Hukum

Modernisasi lembaga peradilan juga membawa perubahan besar. 

Aparatur peradilan kini direkrut melalui mekanisme nasional yang profesional dan terstandarisasi. 

Meski secara kelembagaan ini langkah maju, secara sosial ada dampak lanjutan: aparatur peradilan tidak selalu lagi memiliki modal sosial-kultural yang dulu hadir secara alami.

Kehidupan masyarakat lokal tidak lagi mengenal para penegak hukum sebagai tokoh moral. Mereka dilihat sebagai profesional birokrasi negara, bukan figur panutan. 

Perubahan perspektif ini membuat legitimasi sosial dalam setiap tindakan yudisial semakin mengecil.

Di saat yang sama, meningkatnya nilai ekonomi objek sengketa, terutama tanah dan properti, menjadikan konflik semakin kompleks. 

Sesuatu yang dulu dianggap remeh, kini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga pelaksanaan eksekusi sering berhadapan dengan emosi, kepentingan, dan tekanan dari berbagai pihak.

Peradilan Kini Menghadapi Tantangan Baru

Fenomena ini menunjukkan bahwa peradilan kita memasuki babak baru: babak di mana kepercayaan publik tidak lagi diberikan secara otomatis, tetapi harus diperjuangkan melalui kualitas layanan dan konsistensi moral.

Tantangan yang dihadapi pengadilan hari ini jauh lebih kompleks:

  • meningkatnya resistensi masyarakat terhadap putusan,
  • maraknya konflik internal keluarga atas objek sengketa,
  • terbukanya ruang kritik melalui media sosial,
  • serta ekspektasi publik yang semakin tinggi terhadap transparansi.

Praktik peradilan tidak lagi bisa bertumpu pada “wibawa sosial” masa lalu, tetapi harus bertumpu pada kinerja nyata.

Modal Baru: Profesionalitas dan Integritas

Menghadapi perubahan ini, ada dua modal yang tidak bisa ditawar oleh aparatur peradilan mana pun:

  1. Profesionalitas: Keahlian hukum, kecermatan prosedural, kemampuan berkomunikasi, serta sensitivitas sosial adalah kunci. Profesionalitas melampaui formalitas: ia menjadi bukti bahwa aparatur bekerja berdasarkan hukum dan keadilan, bukan tekanan atau kepentingan.
  2. Integritas: Integritas adalah pondasi utama membangun kembali kepercayaan publik. Ia menghilangkan celah sekecil apa pun terhadap dugaan transaksi, keberpihakan, atau penyalahgunaan kewenangan. Dalam era ketika segala sesuatu mudah terekspos, integritas bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.

Penutup: Peradilan yang Tetap Relevan di Tengah Zaman yang Bergerak

Romantika masa lalu tentang mudahnya eksekusi putusan mungkin tinggal cerita, tetapi bukan berarti peradilan hari ini kehilangan harapan. 

Justru melalui profesionalitas dan integritas, peradilan dapat membangun legitimasi baru yang lebih kokoh, lebih rasional, dan lebih diterima publik.

Peradilan tidak lagi dihormati semata karena simbol, tetapi karena kerja nyata. Tidak lagi dianut karena tradisi, tetapi karena keadilannya terasa. 

Dan, dalam dinamika zaman yang terus bergerak, hanya peradilan yang adaptif, bersih, dan profesional yang akan tetap dihormati, tidak hanya oleh masyarakat, tetapi oleh sejarah itu sendiri.