Dua Hakim Agung Perempuan di Kamar Agama: Keterlibatan Perempuan di Pengambilan Kebijakan Hukum

Ini sebuah capaian bersejarah. Dua orang perempuan akan terlibat secara langsung memutus perkara yang menyangkut nasib perempuan, anak, dan keluarga pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com

Diskusi hukum tentang perceraian di pengadilan yang penulis ikuti, masih belum ada tanda-tanda sampai di satu kesimpulan. Setidaknya hingga Selasa malam saat tulisan ini dibuat. 

Adu argumen terus berlangsung dari dua kelompok. Bahkan pendapat juga disampaikan menggunakan Bahasa Arab. Membuat penulis sedikit mengernyitkan dahi, tapi semakin menarik.

Dampak kebijakan hukum perceraian di pengadilan juga tidak luput dibahas. Utamanya dampak terhadap perempuan dan anak. Di saat bersamaan, keluarlah berita segar yang layak kita sambut dengan senyum lebar: dua perempuan baru saja terpilih menjadi hakim agung di Kamar Agama Mahkamah Agung RI. 

Keduanya adalah Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H. dan Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H. dinyatakan oleh DPR terpilih menjadi Hakim Agung di Kamar Agama.

Ini sebuah capaian bersejarah. Dua orang perempuan akan terlibat secara langsung memutus perkara yang menyangkut nasib perempuan, anak, dan keluarga pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali. 

Dua perempuan itu pula juga akan mempengaruhi kebijakan hukum dalam penegakan hukum keluarga di Indonesia.

Keterlibatan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan

Dengan masuknya dua hakim baru ini, komposisi Kamar Agama berubah. Dari total enam hakim agung di kamar ini, dua di antaranya perempuan. Itu artinya sepertiga kursi diisi oleh perempuan.

Dalam teori representasi gender, angka sepertiga sudah melewati ambang penting. Kehadiran minimal 30 persen perempuan dalam ruang pengambilan keputusan diyakini bisa membuat suara dan perspektif perempuan benar-benar terdengar.

Seperti yang pernah diingatkan Ruth Bader Ginsburg, mantan Hakim Agung Amerika Serikat, “Women belong in all places where decisions are being made. It shouldn’t be that women are the exception.” 

Perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambil kebijakan, bukan sekadar sebagai pelengkap. Tetapi sebagai bagian integral dari proses hukum itu sendiri.

Hal ini bukan berarti suara dan perspektif perempuan tidak mewarnai kebijakan hukum kita. Namun dengan adanya dua hakim tersebut, menjadikan perempuan sebagai subyek yang secara langsung ikut serta dalam pengambilan kebijakan.

Hakim agung punya peran strategis: mereka bukan hanya memutus perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali, tapi juga ikut menentukan arah kebijakan lewat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). 

Dengan begitu, suara dua hakim perempuan ini bisa ikut memengaruhi hukum di Indoensia. Perumusan hukum menjadi pedoman bagi seluruh hakim di peradilan agama di seluruh Indonesia.

Menjawab Tantangan Budaya dan Substansi Hukum

Kita tahu, budaya hukum di masyarakat kita masih jauh dari kata ideal. Banyak perkara perceraian di pengadilan agama yang berawal dari kekerasan dalam rumah tangga, dan korbannya mayoritas perempuan.

Di sisi lain, ada aturan-aturan hukum yang dalam praktiknya rawan ditafsirkan dengan cara yang justru menguntungkan pihak laki-laki.

Di titik inilah, peran dua hakim perempuan itu jadi sangat penting. Mereka bisa memastikan tafsir hukum tidak malah merugikan perempuan. Kalau budaya hukum masyarakat masih bias, maka struktur hukum—termasuk hakim agung yang akan menyeimbangkan dengan perspektif yang memahami kondisi khusus perempuan.

Kehadiran hakim agung perempuan di Kamar Agama bukan sekadar untuk memperjuangkan isu-isu perempuan. Lebih dari itu, ia adalah cara untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan lebih lengkap.

Perlu kita ingat, peradilan agama adalah wajah nyata hukum keluarga di Indonesia. Di sinilah masyarakat bersentuhan langsung dengan negara ketika bicara soal perkawinan, perceraian, warisan, hingga ekonomi syaraiah. Dan di setiap kewenangan tersebut, perempuan selalu menjadi pihak yang paling terdampak.

Karena itu, kehadiran hakim agung perempuan di Kamar Agama memberi pesan kuat: hukum keluarga di Indonesia tidak lagi dilihat hanya dari kacamata laki-laki.

Ada keseimbangan baru. Ada suara yang bisa memastikan bahwa keadilan gender bukan jargon, melainkan terwujud dalam putusan-putusan yang nyata.

Masa Depan Hakim Perempuan

Anggapan perempuan menjadi makhluk yang lebih dominan emosional dalam berpikir, makin terlihat usang dan tidak relevan. 

Dua hakim agung perempuan di Kamar Agama adalah jawaban nyata bahwa kapasitas hukum tidak mengenal jenis kelamin. Apakah mereka emosional? Tentu saja, tapi dalam arti yang justru diperlukan: punya empati.

Dan bukankah kita selalu bilang bahwa hakim tidak hanya harus cerdas, tapi juga berhati nurani? Maka, bukannya kelemahan, justru sensitivitas inilah yang menjadi kekuatan. 

Karena keadilan bukan hanya soal teks undang-undang, tapi juga soal rasa, empati, dan pemahaman akan kenyataan sosial.

Tentu, kita tidak bisa menaruh semua beban di pundak dua hakim agung perempuan ini. Mereka bukan “juru selamat” yang sendirian akan mengubah wajah peradilan agama. 

Bagi ratusan hakim perempuan di pengadilan agama tingkat pertama dan banding, kehadiran dua hakim agung perempuan ini adalah dorongan moral. Perempuan menjadi hakim agung itu mungkin diraih.

Kita tentu menanti kiprah mereka. Tapi setidaknya hari ini, kita bisa berkata: ini sebuah capaian luar biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, suara perempuan bukan hanya terdengar di ruang sidang, tapi juga ikut menentukan arah kebijakan hukum tertinggi di Mahkamah Agung, khususnya dalam lingkungan Peradilan Agama.