Hakim Bukan Corong Undang-Undang

Dalam perkembangan hukum modern, paradigma ini bergeser hakim tidak lagi sekadar pelafal hukum, tetapi sebagai penafsir nilai keadilan
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik

Abstrak

Ungkapan “hakim bukan corong undang-undang” merupakan kritik tajam terhadap doktrin klasik la bouche de la loi yang lahir pada masa revolusi Prancis. 

Doktrin tersebut menempatkan hakim sebagai pelaksana pasif undang-undang tanpa ruang interpretasi moral. 

Dalam perkembangan hukum modern, paradigma ini bergeser hakim tidak lagi sekadar pelafal hukum, tetapi sebagai penafsir nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. 

Artikel ini menelusuri sejarah lahirnya istilah la bouche de la loi dan menganalisis kritik filosofis terhadapnya, serta menjelaskan peran integritas moral hakim sebagai batas antara kebebasan menafsir dan potensi kesewenang-wenangan. 

Hakim bukan hanya sekadar pelaksana undang-undang, melainkan juga penegak keadilan dan kemanusiaan. 

Dalam perspektif filsafat hukum, keadilan merupakan tujuan utama dari setiap sistem hukum.

Artikel ini juga membahas pandangan filosofis mengenai mengapa hakim harus berperan sebagai pejuang kemanusiaan dan keadilan, dengan menguraikan keterbatasan legalisme, peran hakim dalam mewujudkan keadilan substantif, serta relevansinya dalam konteks hukum progresif di Indonesia.

Kata kunci: hakim, keadilan, kemanusiaan, filsafat hukum, hukum progresif

Pendahuluan

Hakim memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem peradilan, karena ditangan hakim terletak tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan keadilan.  

Jabatan hakim tidak hanya soal teknis yuridis belaka tetapi mempunyai dimensi filosofis dan moral yang sangat dalam. Hakim bukan semata-mata sebagai corong undang-undang, penegak tekstual belaka tanpa melihat aspek moral. Terkait jabatan hakim bukan lah corong undang-undang sudah menjadi pembahasan yang kritis di masa lalu.

Istilah la bouche de la loi (mulut undang-undang) muncul di Prancis pada abad ke-18, khususnya dalam konteks revolusi Prancis (1789–1799). Rakyat pada masa itu berusaha menghapus sistem feodal dan kekuasaan raja yang absolut, termasuk menolak praktik para hakim kerajaan yang sering menafsirkan hukum untuk kepentingan politik atau golongan tertentu. 

Maka, ketika sistem hukum baru dibentuk, mereka ingin agar hakim tidak lagi memiliki kebebasan menafsirkan hukum. Hakim hanya bertugas mengucapkan hukum sebagaimana tertulis.

Montesquieu sebagai pencetus istilah

Istilah La bouche de la loi, pertama kali diperkenalkan oleh Baron de Montesquieu (1689–1755) dalam karya monumentalnya De l’esprit des lois (The Spirit of the Laws) tahun 1748. 

Ia menulis “Les juges de la nation ne sont que la bouche qui prononce les paroles de la loi.” Artinya “Para hakim bangsa ini hanyalah mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang.” 

Montesquieu menghendaki agar kekuasaan kehakiman bersifat netral tidak boleh menciptakan hukum sendiri. Ia ingin mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim seperti yang terjadi di masa monarki absolut. 

Namun, dalam penerapannya pada masa Code Civil (1804) di bawah Napoleon Bonaparte, prinsip ini menjadi sangat positivistik dan kaku menjadikan hakim hanya boleh menerapkan undang-undang, tanpa menafsirkan maknanya secara moral atau sosial.

Pandangan Positivistik

Doktrin la bouche de la loi menjadi dasar sistem civil law di Eropa Kontinental. Dalam pandangan ini hukum identik dengan undang-undang (law = statute). Hakim hanya pelaksana hukum, bukan pencipta hukum. 

Keadilan dianggap telah termuat di dalam teks hukum itu sendiri. Sikap ini menghasilkan kepastian hukum formal, tetapi sering mengabaikan rasa keadilan masyarakat (substantial justice).

Pada abad ke-19 dan 20, banyak sarjana hukum mulai mengkritik pandangan ini. 

Profesi hakim menempati posisi terhormat dalam struktur peradilan karena melalui putusan hukum menemukan bentuk nyatanya. 

Namun dalam praktiknya, sering muncul pertanyaan fundamental: Apakah hakim hanya menjadi corong undang-undang, ataukah ia memiliki tanggung jawab moral yang lebih tinggi untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan?

Dalam pandangan klasik seperti yang dikemukakan Montesquieu, hakim dianggap sebagai la bouche de la loi   “mulut dari undang-undang” yang hanya menyuarakan isi teks hukum. 

Akan tetapi, perkembangan masyarakat yang semakin kompleks menunjukkan bahwa hukum tidak selalu mampu menampung dinamika dan perubahan sosial. 

Di sinilah hakim dituntut untuk mengedepankan nurani dan kemanusiaannya, sehingga tidak terjebak kepada teks undang-undang semata.

Hakim dan Tujuan Hukum: Antara Kepastian dan Keadilan

Secara teoritik, hukum mengandung tiga nilai dasar sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit). 

Dari ketiganya, nilai keadilan menempati posisi tertinggi karena menjadi tujuan akhir hukum itu sendiri. 

Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan tertinggi yang memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Hakim, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, tidak boleh terjebak dalam legalisme sempit yang hanya menekankan kepastian hukum. 

Ia harus mampu menyeimbangkan antara teks dan konteks, antara hukum positif dan rasa keadilan masyarakat.

Pandangan positivistik yang kaku, sebagaimana dipengaruhi pemikiran John Austin dan H.L.A. Hart, menekankan bahwa hukum adalah apa yang ditetapkan oleh penguasa yang sah. 

Hakim dalam sistem ini hanyalah pelaksana hukum tertulis tanpa ruang moral atau sosial.

Namun, pandangan ini dikritik keras oleh aliran realisme hukum, terutama oleh Oliver Wendell Holmes Jr. yang menyatakan “The life of the law has not been logic, it has been experience.” 

Hukum, menurut realisme, bukanlah sekadar teks, melainkan hasil pengalaman dan penilaian manusia terhadap keadilan. Maka, hakim tidak bisa bersembunyi di balik undang-undang, ia harus menjadi subjek moral yang aktif dalam menafsirkan hukum untuk mencapai keadilan substantif.

Hakim sebagai Pejuang Kemanusiaan

Dalam konteks Indonesia, gagasan Hukum Progresif yang dikembangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo telah memberikan landasan filosofis bahwa: “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” 

Hukum progresif menempatkan manusia sebagai pusat orientasi hukum, bukan sebaliknya. Hakim, sebagai pengemban kekuasaan kehakiman, harus berani keluar dari teks ketika hukum formal tidak mampu menghadirkan keadilan. 

Hakim dalam paradigma ini bukan teknisi hukum, melainkan pejuang kemanusiaan (humanitarian fighter) yang mengutamakan nilai moral, nurani, dan rasa keadilan sosial. 

Putusan yang manusiawi sering kali lebih bermakna dibanding putusan yang sekadar benar secara prosedural, tetapi mengabaikan penderitaan pihak yang lemah.

Kesimpulan

Jabatan hakim adalah jabatan yang luhur dan sarat tanggung jawab moral. 

Para ahli hukum menunjukkan, hakim bukan sekadar pelaksana undang-undang, tetapi juga pelindung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. 

Dengan demikian, hakim yang ideal adalah hakim yang berpikir progresif, menegakkan keadilan substantif, dan menjadi penjaga nurani hukum bangsa. 

Hakim tidak boleh menjadi “corong undang-undang” yang kaku, tetapi harus menjadi penafsir yang berjiwa nurani, penjaga moral hukum, dan pejuang kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. 

Agar hakim tidak terjebak hanya menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi), maka hakim harus memiliki profesionalitas, integritas, independensi, dan kebijaksanaan dalam menafsirkan hukum.

Daftar Pustaka

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (2009).
Gustav Radbruch, Gesetzliches Unrecht und Übergesetzliches Recht (1946).
Hans Kelsen, Pure Theory of Law (1960).
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (1977).
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Penulis: Zulkarnain Lubis
Editor: Tim MariNews