Perisai Episode 7 Badilum: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP Nasional

Apabila pemahaman di KUHP lama sebelumnya memberikan penderitaan kepada terpidana serta merendahkan derajatnya, KUHP Nasional lebih humanis, dengan memanusiakan terdakwa atau terpidana.
Ilustrasi KUHP. Foto www.istockphoto.com
Ilustrasi KUHP. Foto www.istockphoto.com

MARINews, Jakarta-Mahkamah Agung melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) melaksanakan Pertemuan Rutin Sarasehan Interaktif Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Perisai Badilum) pada Jumat (20/6) yang dilaksanakan di Command Center Ditjen Badilum dan secara daring diikuti peserta dari masing-masing pengadilan.

Kegiatan Perisai Badilum merupakan kegiatan diskusi rutin yang dilaksanakan oleh Ditjen Badilum dengan peserta dari hakim dan tenaga teknis pada peradilan umum seluruh Indonesia baik tingkat pertama dan tingkat banding.

Kegiatan ini sangat mendukung peran dan tanggung jawab hakim peradilan umum Mahkamah Agung dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam menerapkan ketentuan pidana baru yang diatur dalam KUHP Nasional.

Perisai Badilum episode tujuh ini, dipandu oleh moderator Mustamin S.H., M.H. (Hakim Yustisial Badilum) dan yang menjadi narasumber pada kegiatan ini adalah Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. (Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dengan topik pembahasan “Pemidanaan Dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP Nasional”.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mendorong budaya berdiskusi dan berpikir kritis ilmiah para hakim dan tenaga teknis di lingkungan peradilan umum, dengan mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan permasalahan dalam praktik peradilan, terkhusus peradilan umum.

Kegiatan Perisai Badilum dibuka langsung oleh Dirjen Badilum Bambang Myanto, S.H., M.H., dan dihadiri pula oleh Sekretaris Badilum Kurnia Arry Soelaksono, S.E., S.H. M.Hum, Dirganis Badilum Hasanudin, S.H., M.H.  dan Dirbingganis Badilum Zahlisa Vitalita, S. H., M. H.

Setelah kegiatan dibuka, moderator memandu acara dengan mengawali memperkenalkan narasumber dan dilanjutkan dengan pemaparan materi dari narasumber.

Prof. Harkristuti memaparkan, kebaruan dalam pidana dan pemidanaan dengan menekankan pada pedoman pemidanaan dan pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara oleh hakim sesuai ketentuan yang diatur dalam KUHP Nasional.

Kedepannya dengan KUHP Nasional sebagai payung hukum pemberian pidana kepada pelaku tindak pidana, penghukuman tidak lagi berfokus pada pembalasan (pandangan retributif) namun hukuman penjara bersifat alternatif dengan hakim wajib menggali nilai-nilai kearifan lokal (living law) yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Apabila penjara menjadi yang utama, maka disampaikan oleh narasumber bahwa saat ini kapasitas lapas di Indonesia sudah memiliki 276 ribu warga binaan, padahal dengan 114 ribu (overcrowding) kapasitas se-Indonesia.

Karena sejatinya tujuan pemidanaan nasional adalah pencegahan, rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, penciptaan dan rasa aman dan damai, serta penumbuhan penyesalan terpidana, sehingga penjara tidak lagi sebagai satu-satunya tujuan pemidanaan.

Apabila pemahaman di KUHP lama sebelumnya memberikan penderitaan kepada terpidana serta merendahkan derajatnya, KUHP Nasional lebih humanis, dengan memanusiakan terdakwa atau terpidana.

Prof. Harkristuti juga menyampaikan pedoman pemidanaan merupakan kewajiban hakim dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang ada dengan berpedoman (pola pikir) untuk tidak menjatuhkan pidana karena ada pemaafan hakim (judicial pardon).

Karena sejatinya hakim saat ini diwajibkan tidak hanya menegakkan hukum, namun yang terpenting adalah menegakkan keadilan, sehingga apabila ada pertentangan hukum dan keadilan maka keadilan yang diutamakan.

Banyak faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan hakim dalam memberikan pemidanaan antara lain: bentuk kesalahan, motif dan tujuan, sikap batin, cara melakukan, pemaafan dari korban dan nilai hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat. 

KUHP Nasional juga memberikan syarat-syarat dalam memberikan wewenang kepada hakim untuk sedapat mungkin tidak memberikan pemidanaan, yakni terdakwa anak, terdakwa berusia lanjut (75 tahun), perbuatan pertama kali, kerugiaan dan penderitaan korban, terdakwa membayar ganti rugi dan lain sebagainya.

Setelah narasumber menyampaikan materi, moderator memberikan pertanyaan pemantik dan mengatur jalannya proses tanya jawab dan pemberian saran atau pendapat dari para peserta yang hadir baik secara langsung dan daring.

Dilakukan penyampaian saran, pendapat atas materi yang disampaikan serta tanya jawab yang disampaikan dari beberapa pimpinan dan hakim pengadilan yang berada di Sabang sampai Merauke kepada narasumber dan narasumber memberikan jawaban dan tanggapan atas saran, pendapat dan pertanyaan dari para peserta Perisai Badilum di seluruh Indonesia. 

Kiranya dengan adanya diskusi ini memberikan wawasan yang luas bagi hakim Mahkamah Agung dan diharapkan tidak hanya hakim yang memahami mengenai Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP Nasional, melainkan penegak hukum lainnya juga ikut memahami dan dapat menerapkan sehingga tidak ada kesalahpahaman antara penegak hukum dan hasil putusan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana merupakan putusan yang adil dan dihargai oleh masyarakat.

Mahkamah Agung terus memberikan pemahaman kepada hakim se-Indonesia dalam menerapkan KUHP Nasional, sebagaimana kegiatan diskusi Persia Badilum ini, karena hakim yang memahami ketentuan akan menghasilkan putusan yang adil dan memberi manfaat dalam terciptanya keharmonisan di masyarakat.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews