Stammler: Keadilan Harus Mengadaptasi Nilai Moril dan Tidak Mencederai Individu Lain

Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi hukum di berbagai negara, pemikiran Stammler mengingatkan kita bahwa legitimasi hukum tidak hanya berasal dari kekuasaan, tetapi dari kemampuannya mewujudkan keadilan yang hakiki.
Rudolf Stammler. Foto YouTube Aleydis Brigitte Salgado Félix
Rudolf Stammler. Foto YouTube Aleydis Brigitte Salgado Félix

Penerapan filosofi hukum dalam praktik dan teori hukum selalu berkembang dari kontradiksi antara positivisme hukum dengan naturalisme hukum. Salah satu filsuf hukum yang patut dipertimbangkan adalah filosofi Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa hukum alam dapat menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. 

Stammler berpendapat, hukum tidak boleh hanya dinilai dari validitas formalnya, tetapi juga dari kemampuannya menyelaraskan dengan konsep keadilan yang berlaku di masyarakat. Pandangan ini cukup kontroversial oleh karena filosofi tersebut menolak kekakuan hukum positif dengan moral dari hukum alam. Menurut Stammler, hukum sejatinya harus mampu melindungi kebebasan individu sambil menjamin kebebasan yang sama bagi individu lain.
Untuk menggambarkan hukum yang adil, Stammler mengonstruksikan empat prinsip, yaitu (Husik:2014):

1. Pemaknaan peraturan harus sesuai dan tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang untuk menundukkan subjek hukum lain di luar makna dari pembuatan peraturan tersebut;

2. Pengikatan ketentuan hukum hanya dapat berlaku kepada subjek hukum sesuai dengan tujuan hukum dari peraturan itu sendiri;

3. Tidak diperkenankan mengesampingkan atau mengeluarkan subjek hukum secara sewenang-wenang dari masyarakat hukum tersebut.

4. Kewenangan yang diperoleh tetap berlaku selama ditujukan pada subjek hukum yang terikat, namun tidak untuk subjek hukum di luar ketentuan hukum tersebut;

Dapat disimpulkan bahwa empat prinsip Stammler tersebut memberikan kerangka praktis untuk mengevaluasi keadilan dari peraturan. Prinsip-prinsip ini menekankan, kebebasan suatu subjek hukum tidak boleh tunduk pada kemauan sewenang-wenang dari subjek hukum lain, dan tidak seorang pun boleh dikucilkan dari masyarakat secara sewenang-wenang. Konsep ini sangat relevan dengan permasalahan hukum modern seperti diskriminasi, ketidaksetaraan, dan perlindungan hak asasi manusia.

Melihat dari Perkara ADM Jabalpur v. Shivkant Shukla (AIR 1976 SC 1207, 1977) di India menjadi contoh nyata relevansi pemikiran Stammler. Ketika Majelis Hakim memutuskan bahwa hak hidup dan kemerdekaan dapat dikesampingkan demi kepentingan negara selama darurat, ada perbedaan pendapat dari Hakim H.R. Khanna yang berpendapat sebaliknya-sejalan dengan filosofi Stammler bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan dalam situasi apapun.

Di era digital ini, di mana teknologi menghadirkan tantangan baru terhadap privasi dan kebebasan, pendekatan Stammler menjadi semakin penting. Konsepnya tentang hukum sebagai alat untuk mencapai harmoni sosial, bukan sekadar kontrol, menawarkan perspektif yang berbeda dalam menghadapi isu-isu seperti peraturan mengenai internet, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan perlindungan data.

Pemikiran Stammler mengajarkan, hukum terbaik adalah hukum yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai masyarakat yang berkembang tanpa kehilangan fondasi moralnya. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi hukum di berbagai negara, pemikiran Stammler mengingatkan kita bahwa legitimasi hukum tidak hanya berasal dari kekuasaan, tetapi dari kemampuannya mewujudkan keadilan yang hakiki.