Dalam beberapa tahun terakhir pola relasi keluarga di Indonesia mulai mengalami perubahan. Kemampuan wanita untuk memiliki pekerjaan yang lebih mapan dan besaran finansial yang mumpuni melebihi laki-laki, menyebabkan terjadinya pergeseran norma.
Awalnya peran laki-laki adalah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, namun kemudian peran tersebut mulai digantikan oleh perempuan yang mana perempuan juga berperan sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga.
Proses peralihan norma ini lah yang menyebabkan munculnya fenomena “stay at home dad”.
Fenomena “stay at home dad” merupakan fenomena dimana suami yang tinggal serumah dengan istri namun tidak bekerja di ranah publik, sementara istri menjadi pencari nafkah utama.
Pada mulanya banyak pasangan suami-istri yang menerima kondisi ini sebagai bentuk kerja sama rumah tangga yang adaptif, namun dalam praktiknya tidak sedikit perempuan yang akhirnya menjadikan situasi tersebut sebagai alasan untuk mengajukan perceraian.
Penulis yang merupakan seorang hakim, menemui banyak sekali kasus perceraian dengan alasan yang serupa. Dalam sebuah perkara cerai gugat yang di ajukan oleh istri, menyebutkan beberapa alasan, antara lain permasalahan ekonomi, peran yang pincang antara suami dan istri, serta keluhan demi keluhan bahwa tumpuan utama pencari nafkah adalah dirinya.
Kemudian ketika proses persidangan berlangsung dimana suami yang merupakan pihak tergugat juga hadir, menyebutkan bahwa dirinya tidak serta merta hanya bersantai-santai dirumah, namun keputusan untuk menjadi “stay at home dad” adalah karena sang istri yang menuntut dia untuk berhenti bekerja dan membantu mengurus rumah dan anak.
Hal itu diminta oleh sang istri karena ia merasa karir dan penghasilannya lebih tinggi dari suami. Namun seiring berjalannya waktu hal yang awalnya merupakan sebuah toleransi antara suami dan istri justru menjadi alasan cerai.
Bagaimana fenomena ini bisa terjadi dan bagaimana Perspektif Sosial dan Hukum Pekawinan ?
1. Pergeseran Peran Gender dan Munculnya “stay at home dad”
Kondisi ekonomi, persaingan kerja, serta meningkatnya karir perempuan membuat sebagian suami mengambil peran domestik.
Pada awalnya, banyak istri yang berlapang dada dan menerima keadaan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena berbagai alasan seperti suami belum mendapatkan pekerjaan tetap, suami sedang mencari peluang usaha, alasan kesehatan atau kesepakatan bersama untuk mengasuh anak.
Selama peran suami dalam rumah tangga tetap berjalan baik, situasi seperti ini bisa harmonis, namun seringkali semua yang diharapkan tidak bisa berjalan ideal
2. Ketika Peran tidak Dijalankan, Beban Ganda dan Ketidakseimbangan Perkawinan mulai terjadi
Konflik mulai muncul ketika suami yang berada di rumah tidak menjalankan tanggung jawab domestik dan bahkan tidak menunjukkan ikhtiar untuk menafkahi keluarga.
Istri juga yang akhirnya menanggung beban ganda, yaitu sebagai pencari nafkah, mengurus rumah, mengasuh anak, serta tetap menjalankan fungsi sosial lainnya. Dititik ini, toleransi berubah menjadi kelelahan emosional.
Banyak perempuan merasa tidak dihargai, diperlakukan tidak adil, kehilangan rasa hormat terhadap suami, dan merasa tidak lagi memiliki pasangan yang bertanggung jawab.
Bahkan di titik terlemah dalam hidupnya, istri akan merasa dengan atau tanpa memiliki suami, kelelahan, beban, dan tanggung jawabnya terasa sama. Kondisi emosional inilah yang sering menjadi pemicu terjadinya perceraian.
3. Dalam Perspektif Hukum Perkawinan, Nafkah Merupakan Kewajiban Suami dan Alasan Perceraian
a. Kewajiban suami menurut Kompilasi Hukum Islam dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (1) sampai dengan ayat (4) KHI yaitu :
- Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama;
- Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
- Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
- Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
- nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
- biaya ramah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
- biaya pendididkan bagi anak
Selain itu kewajiban suami juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Walaupun peran ekonomi bisa dinegosiasikan, hukum tetap memberikan kewajiban nafkah pada suami.
4. Kegagalan Menjalankan Peran sebagai Alasan Cerai
Fenomena “stay at home dad” sering menjadi pemicu suami tidak memberikan nafkah lahir, bahkan suami juga tidak menunjukkan ikhtiar atau usaha untuk bekerja. Hal tersebut terjadi karena suami sudah nyaman dengan kondisi yang selama ini dijalani.
Bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu, tukar peran yang seharusnya dilaksanakan yakni dengan melakukan pekerjaan domestik pun tidak dijalankan oleh suami. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sering digunakan sebagai alasan diajukannya perceraian.
5. Ketika Peran boleh Fleksibel tapi Tanggung Jawab tidak Boleh Hilang
Hukum perkawinan tidak melarang suami menjadi “stay at home dad”. Namun hukum menuntut tanggung jawab, ikhtiar nyata, pembagian peran yang adil, agar suami dapat melakukan pemenuhan kewajiban nafkah semampunya.
Ketika suami merasa nyaman, tanpa usaha dan tidak menopang kehidupan rumah tangga secara emosional maupun domestik, maka perkawinan akan kehilangan inti dari tujuannya, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
6. Fenomena “Stay at Home Dad”, adalah Fenomena Sosial yang menjadi Persoalan Hukum
Fenomena “stay at home dad” tidak akan menjadi masalah ketika disepakati dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Namun ketika peran tersebut membuat suami tidak menjalankan kewajibannya, tidak memberikan nafkah, tidak berusaha, bahkan menimbulkan ketidakharmonisan, maka perempuan memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan perceraian.
Fenomena sosial ini menegaskan bahwa “Pembagian peran boleh berubah, namun kewajiban hukum dalam perkawinan harus tetap dijalankan”
Lalu Bagaimana Upaya Hakim dalam menyikapi gugatan perceraian dengan alasan tersebut?
1. Hakim akan memaksimalkan penasehatan di Persidangan
Berkaca pada beberapa perkara yang ditangani oleh penulis, hakim harus berusaha secara maksimal pada tahap penasehatan. Hakim harus memastikan apakah tukar peran ini dilakukan berdasarkan kesepakatan atau karena kondisi tertentu.
Jika tukar peran ini merupakan kesepakatan, Hakim harus mengingatkan bahwa dalam perspektif hukum perkawinan, pembagian tugas rumah tangga dapat disepakati, bahkan dalam pasal 80 ayat (6) KHI disebutkan, “Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b”, yang artinya kewajiban suami tidak berlaku secara mutlak, namun bisa dinegosiasikan oleh kedua belah pihak.
Kemudian pada tahap penasehatan ini Hakim perlu memberikan ruang dialog untuk mengurangi kesalahpahaman Penggugat terhadap Tergugat. Tahap penasehatan dengan memberikan ruang dialog ini bertujuan agar para pihak dapat menjelaskan beban psikologis, dan sosial yang mereka rasakan, memahami kembali tujuan awal berumah tangga, mengukur ulang resiko bagi anak.
Dalam praktik persidangan, setelah proses penasehatan dilakukan, banyak ditemukan fakta bahwa sebenarnya masalah bukan pada “suami di rumah”, tetapi pada komunikasi dan ekspektasi yang tidak disampaikan dengan baik.
2. Jika Penasehatan tidak berhasil Optimalisasi akan dilakukan oleh Hakim Mediator
Dalam tahapan mediasi, hakim mediator akan mulai dengan:
- Mengidentifikasi kepentingan masing-masing pihak. Fenomena “stay at home dad” terkadang membuat istri merasa terbebani sebagai satu-satunya pencari nafkah, sedangkan dari sudut pandang suami, ia mungkin merasa tidak dihargai saat mengurus anak dan rumah tangga, bahkan kondisi “stay at home dad” yang mereka sepakati mendapat cibiran dan tidak didukung lingkungan, yang mana hal ini juga termasuk faktor eksternal yang membuat fenomena ini yang awalnya merupakan toleransi berubah menjadi alasan cerai. Disinilah mediator mulai membantu menemukan titik temu antara kepentingan emosional, ekonomi dan keluarga.
- Jika masalahnya pada kesepakatan peran domestik, Mediator dapat memfasilitasi dengan menyusun pembagian peran baru yang lebih seimbang dan rencana kerja suami (jika dimungkinkan), pembagian waktu pengasuhan anak, atau pola komunikasi baru yang bisa dibangun. Melalui negosiasi ulang ini diharapkan penggugat dan Tergugat mau untuk memperbaiki rumah tangganya kembali;
- Mediator perlu memastikan bahwa keputusan bercerai bukan reaksi emosional semata, bukan hasil tekanan lingkungan, dan telah mempertimbangkan kepentingan anak, jika pihak masih ragu, mediator dapat memberikan ruang untuk refleksi masing-masing pihak dan menjadwalkan mediasi lanjutan;
3. Perlindungan Kepentingan anak sebagai prioritas Hakim
Ditengah peran “stay at home dad”, seringkali suami menjadi pengasuh utama anak, sehingga seringkali anak merasa lebih dekat dan nyaman dengan ayahnya. Dalam hal ini hakim perlu mendorong para pihak agar kedepannya jika perkawinan benar-benar terputus, para pihak wajib mengutamakan best interest of the child dalam hal pengasuhannya,
4. Sikap Hakim jika Perdamaian tidak tercapai
Jika mediasi tidak berhasil, dan upaya penasehatan di setiap tahapan persidangan juga tidak membuahkan hasil, Hakim akan mengabulkan gugatan cerai tersebut jika memang terbukti ketimpangan peran dan toleransi yang awalnya di bangun justru menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus.
Dengan demikian, kegagalan peran “stay at home dad” tidak otomatis menjadi alasan cerai, kecuali dapat dibuktikan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran yang tidak dapat didamaikan diikuti dengan pisah tempat tinggal lebih dari 6 (enam) bulan.

