Aristoteles pernah berkata, “Penyimpangan terkecil dari kebenaran akan berlipat ganda seribu kali di kemudian hari.” Peringatan filosofis ini sepatutnya dapat dijunjung dan diterapkan dalam iklim peradilan di Indonesia, khususnya bagi para hakim.
Penelitian Crystal Reeck dari Temple University dan Dan Ariely dari Duke University (2025) memperdebatkan mengenai pemikiran Aristoteles tersebut. Studi mereka menunjukkan, tindakan tidak jujur bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan dapat berkembang menjadi perilaku tidak etis yang meresap dan sistemik.
“Tindakan tidak jujur individual dapat menyebabkan kecanduan seiring waktu dan menyebabkan peningkatan perilaku tidak etis hingga menjadi suatu kebiasaan yang rutin,” sebagaimana disimpulkan penelitian tersebut.
Dalam konteks peradilan, temuan ini sangat mengkhawatirkan. Ketika hakim, jaksa, atau aparat penegak hukum lainnya mulai “mencoba-coba” pelayanan peradilan transaksional-menerima gratifikasi kecil, mengambil keuntungan dari posisinya, atau membuat keputusan berdasarkan kepentingan pribadi-mereka tanpa sadar telah membuka pintu bagi degradasi moral yang progresif.
Pelayanan peradilan transaksional memang kadang tidak terlihat gamblang. Misalnya, memberikan kemudahan prosedural kepada pihak tertentu, hingga adanya bias dalam menangani suatu permasalahan hukum di peradilan. Dalam perspektif individual, tindakan-tindakan ini mungkin terlihat tidak signifikan.
Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian tersebut, faktor-faktor seperti kondisi perekonomian yang secara subjektif tidak adil, rasa kebahagiaan dari reward yang menguntungkan diri sendiri, dan mewajarkan kekeliruan dari pelayanan transaksional ini dapat menarik keuntungan diri sendiri tanpa mempertimbangkan orang lain merupakan tindakan egois. Kesadaran tersebut dapat menghambat atau memperlambat proses kemerosotan moral.
Oleh karena itu, semangat menjaga integritas dari aparatur peradilan khususnya dengan menyadari program profiling integritas dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung menegaskan semakin mempercepat proses degradasi moral.
Penelitian Reeck dan Ariely juga kemudian memberikan solusi yaitu dengan kesadaran bahwa ketatnya pengawasan untuk menjaga budaya organisasi yang berintegritas dan berkeadilan.
Sistem peradilan yang akuntabel adalah tulang punggung demokrasi. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap keadilan hukum, fondasi negara hukum pun runtuh. Oleh karena itu, pengetatan integritas peradilan bukan sekadar isu administratif, melainkan kebutuhan eksistensial bagi keberlangsungan bangsa.
Langkah nyata yang dapat diambil oleh Mahkamah Agung adalah dengan menguatkan integritas peradilan serta menanamkan fasilitas serta kesempatan bagi aparatur peradilan untuk menjaga integritas sehingga pelayanan peradilan menjadi berkeadilan dan bukan transaksional.