Abstrak
Penegakan hukum di Indonesia masih mendapati permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan utamanya untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Terdapat hubungan independensi dan integritas kehakiman dengan penegakan etika profesi hukum, serta faktor yang dapat mempengaruhi independensi dan integritas kehakiman dalam proses pengadilan. Kendala yang dihadapi hakim dalam mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dapat dibedakan menjadi kendala internal dan kendala eksternal. Kendala internal yang datangnya dari dalam diri sendiri. Kendala internal terdiri dari: pengangkatan hakim, pendidikan hakim, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, moral hakim, kesejahteraan hakim. Sementara kendala eksternal datangnya dari luar diri hakim itu sendiri. Kendala eksternal hakim terdiri sebagai berikut, kemandirian kekuasaan kehakiman, pembentukan undang-undang, sistem peradilan yang berlaku, partisipasi masyarakat, pengawasan hakim. Demikian halnya hakim sebagai pribadi manusia biasa kadang tidak lepas dari persoalan pribadi, sehingga tidak luput dari kegalauan dan kecemasan di balik toga seorang hakim.
Pendahuluan
Tugas hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian hukum. Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) disertai dengan hati nurani hakim. Pertimbangan hakim disini adalah berupa pertimbangan hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Peter Mahmud Marzuki menyebut pertimbangan hakim ini dengan istilah “ratio decidendi” yakni “alasan- alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio decidendi tersebut terdapat dalam konsideran “menimbang” pada pokok perkara.” Menarik ungkapan Taverne yang menyatakan, “berikanlah kepadaku seorang hakim yang jujur dan seorang jaksa yang cerdas, maka dengan undang- undang yang paling buruk sekalipun, aku akan menghasilkan putusan yang adil.” Sebagai upaya menjaga dan melindungi kemandirian hakim, maka melalui The Bangalore Principles of Judicial Conduct (Konferensi Peradilan Internasional di Bangalore, India pada tahun 2001) menyepakati dibuatnya kode etik dan perilaku hakim sedunia, yaitu: (1) independensi hakim (independence principle) yang merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum; (2) ketidakberpihakan hakim (impartiality principle) merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya; (3) integritas hakim (integrity principle) merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya; (4) kepantasan dan sopan santun hakim (propriety principle) merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan; (5) kesetaraan (equality principle) merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, atau alasan-alasan lain yang serupa; serta (6) kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence principle) merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.
Bagir Manan menegaskan bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk itu harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman, yaitu: Pertama, hakim memutus menurut hukum. Setiap putusan, hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkrit. Kedua, hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi, atau menemukan hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principle of natural justice). Keempat, harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya.
Berdasarkan kode etik terhadap kebebasan dan kemandirian hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara merupakan salah satu upaya untuk menjaga integritas para hakim, agar dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara hukum mampu menggali, menjabarkan, dan mensinergikan antara fakta, norma, moral, dan doktrin hukum dalam pengambilan putusan hakim. Oleh karena itu, hakimlah yang paling bertanggung jawab memasukkan atau menggabungkan unsur-unsur tersebut melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Karena putusan hakim selain harus mempertimbangkan asas keadilan hukum (legal justice) berdasarkan atas norma atau kaidah hukum dan asas keadilan sosial (social justice) yang merupakan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat, juga harus mempertimbangkan asas keadilan moral (moral justice). Hal senada diungkapan oleh Satjipto Rahardjo bahwa, hukum dan penegakannya tidak hanya mengutamakan keadilan hukum (legal justice), melainkan penegakan hukum yang mampu menangkap rasa keadilan masyarakat (social justice), sehingga pada gilirannya hukum betul-betul memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).
Ditambah doktrin hukum sebagai salah satu sumber pertimbangan hakim dalam menemukan hukum. Bila perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula ada keputusan pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, maka hakim akan mencari jawaban pada pendapat para sarjana hukum. Karena ilmu pengetahuan bersifat objektif dan berwibawa, maka keputusan hakim harus bersifat objektif dan berwibawa pula. Maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk mendukung atau mempertanggung- jawabkan putusan hakim.
Lencana Hakim yang selalu disematkan di dada kiri pada bajunya adalah lambang dalam bentuk: kartika (takwa), cakra (adil), candra (bijaksana), sari (berbudi luhur) dan tirta (jujur), sebagai cerminan dari perilaku Hakim yang harus direalisasikan dan diimplementasikan dalam kedinasan dan di luar kedinasan. Untuk menjaga kehormatan, kemuliaan dan keluhuran akan martabatnya itulah, MA-RI dan KY-RI telah merumuskan dan megeluarkan Keputusan Bersama tertanggal 8 April 2009, Nomor: 047/KMA/SK/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/PKY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode Etik tersebut merujuk pada Kode Etik Hakim sedunia “The Bangalore Principles of Yudicial Conduct 2002” yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip Hakim dalam hal: independensi, integritas, imparsial serta kepantasan dan kesopanan. Itulah sebabnya di ruang persidangan sang Hakim dipanggil yang mulia.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim juga wajib untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadian yang hidup dalam masyarakat [Pasal 19 dan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman]. Oleh karena itu, sub unsur yang ada di diri manusia (Hakim), yaitu rasa, cipta, dan karsa, sangatlah relevan dengan tugas Hakim, yaitu konstatir, kualifisir, dan konstituir perkara yang sedang ditanganinya. Pada saat konstatir, Hakim harus menyatakan benar atau tidaknya terjadi peristiwa kongkrit berdasarkan dalil dan bukti dari para pihak.
Di sini Hakim tidak saja harus piawai dalam pembuktian, tetapi juga akan menggunakan rasa nya, siapa yang benar dan siapa yang salah. Kemudian Hakim akan berfikir bagaimana (ketentuan) hukumnya atau melakukan kualifisir akan peristiwa yang telah terbukti tadi, dan ini artinya unsur cipta (akal) Hakim yang berperan, sehingga dalam tahap ini munculah beberapa aliran dalam penemuan hukum antara lain, legisme, mazhab histories dan begriffsjurisprudenz. Setelah Hakim melakukan konstatir dan kualifisir, maka atas pristiwa yang terjadi, Hakim menggunakan karsa (kehendak), untuk menjatuhkan putusan, yaitu melakukan konstituir. Dalam hal ini Hakim dituntut akan kejujuran, keadilan, dan harus secara proforsional mempertimbangkan aspek-aspek sebagai tujuan hukum, yaitu kepastian hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban secara yuridis, keadilan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara filosofis dan kemanfaatan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara sosiologis. Disinilah berfungsinya unsur karsa (kehendak). Ketiga unsur tersebut dapat disebut juga sebagai dengan kalbu dan jika positif, maka akan mengasilkan peradaban, tetapi jika kalbu nya negatif, maka akan menghasilkan kebiadaban.
Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tantangan yang dihadapi hakim dalam menjalankan tugas mereka, terutama dari aspek psikologis dan emosional. Dengan mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan, diharapkan pembaca dapat menyadari pentingnya peran hakim dalam menjaga keadilan dan integritas hukum. Demikian halnya hakim sebagai pribadi manusia biasa kadang tidak lepas dari persoalan pribadi, sehingga tidak luput dari kegalauan dan kecemasan di balik toga seorang hakim dalam memberikan pertimbangan hukum dan menjatuhkan putusan di persidangan. Kesadaran akan tantangan ini tidak hanya bermanfaat bagi para hakim, tetapi juga bagi masyarakat luas yang bergantung pada sistem peradilan yang adil dan terpercaya.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan yang ingin dibahas antara lain : bagaimanakah peran hakim dalam menegakkan etika profesi hakim di atas kegalauan dan kecemasan dibalik kewibawaan toga seorang hakim ?
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approarch). Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa meliputi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan di wilayah hukum sendiri dan putusan hakim. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang telah ada. Bahan hukum sekunder seperti hasil karya tulis ilmiah para sarjana dan para ahli yang berupa literatur sehingga dapat mendukung, membantu dan melengkapi dalam membahas masalah-masalah yang timbul. Selain itu bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku, artikel hukum, jurnal hukum, karya tulis ilmiah, serta data-data penunjang lain yang berkaitan. Analisis bahan hukum yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Pembahasan
Para penganut teori hukum positif menyatakan bahwa kepastian hukum sebagai tujuan hukum. Karena ketertiban atau keteraturan tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis). Sedangkan menurut parapenganut aliran hukum alam, tujuan hukumadalah untuk mewujudkan keadilanyang merupakan tujuan utama hukum. Karena hukum ada atau diadakan adalah untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia. Dalam perkembangan hukum dan kenyataannya, tujuan hukum tidak hanya berasaskan pada keadilan dan kepastian, tetapi juga untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat negara.
Sebagaimana diungkapkan oleh penganut aliran utilitarian dengan teori welfare state-nya. Karena itu, menurut Gustav Radbruch bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Penganut aliran sosiologis selalu menempatkan hukum dari segi kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat. Alasannya, hukum dibuat adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, hukum bersumber dari masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai pandangan moralnya masing-masing, maka dalam konteks inilah sebenarnya hukum harus dikesampingkan ketika ia bertentangan dengan pandangan moral masyarakat yang melingkupinya.
Setidaknya pandangan seperti itu pernah dikemukakan oleh Henry David Thoreau: “The public disobedience of law is justifiable on the basic of moral and ethical principles that are conflict with the law and are more important than law, even when it is made democratically” (Ketidaktaatan publik pada hukum adalah dibenarkan atas dasar moral dan asas etika yang berkonflik dengan hukum yanglebih penting daripada hukum, sekalipun hukum itu dibuat secara demokratis).
Terciptanya masyarakat yang harmonis, adil, dan makmur merupakan salah satu wujud pengejawantahan hakim yang menjunjung tinggi asas dasar negara, dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim dalam memberikan putusan hukum dituntut senantiasa mensinergikan berdasarkan atas fakta hukum, norma hukum, moral hukum, dan doktrin hukumyanghidup, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukumdalam masyarakat. Terkait dengan adanya permasalahan adanya tujuan hukum yang diimplementasikan dalam putusan hakim melalui pertimbangan hukum.
Etika adalah suatu nilai yang harus dipahami dan dimiliki setiap orang, dengan adanya etika maka kehidupan bersama dapat diatur sesuai yang kita harapkan. Konsep terkait baik atau buruknya tindakan atau perilaku seseorang dikenal sebagai etika. Orang yang beretika adalah orang yang memberi contoh perilaku yang baik, sementara orang yang bermoral adalah orang yang melakukannya. Bidang keahlian yang biasa disebut profesi adalah salah satu aspek yang disoroti etika dan moral terkait dengan perilaku seseorang. Karena profesi membutuhkan keahlian teori dan teknis serta kejujuran dan sangat bergantung pada orang yang membutuhkan bantuan untuk menerapkan sistem keadilan, para pengemban profesi harus memenuhi beberapa persyaratan agar benar-benar bekerja secara profesional di bidangnya.
Hakim, jaksa, polisi, advokat, notaris, dan berbagai lembaga yang diizinkan oleh undang-undang termasuk dalam profesi hukum. Pekerja profesional hukum adalah pejabat umum di bidang mereka. Oleh karena itu, tugas pokok profesinya adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku tanpa diskriminasi. Namun pada praktiknya, penegakan hukum di Indonesia masih mendapati permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuan utamanya untuk memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Publik sudah mulai buka mata dengan perkembangan hukum saat ini, masyarakat dapat melihat bahwa masih maraknya diskriminatif yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Salah satu contoh yang sempat ramai diperbincangkan oleh masyarakat, yaitu kasus pencurian 3 kakao yang dilakukan oleh Nenek Minah, yang di mana dalam proses hukumnya dilakukan cukup cepat, apabila dibandingkan dengan penanganan kasus korupsi yang dalam prosesnya sangat lamban dan cenderung meringankan terdakwa.
Saat ini, jelas bagi kita bahwa kasus perdata dan pidana dapat direkayasa sejak awal penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan hukuman penjara. Ada kemungkinan untuk mengatur penerapan hukuman, menawarkan rencana penuntutan, dan bahkan memungkinkan orang lain untuk menggantikan hukuman. Pada akhirnya, permainan kekuasaan menentukan aturan, baik kekuasaan uang atau otoritas politik. Sebab politik hukum di negara kita tidak terlalu jelas, sehingga mencari solusi untuk berbagai masalah penegakan hukum tersebut terasa semakin sulit. Selain itu, masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat, termasuk kesadaran atas hak dan kewajiban asasi mereka secara hukum. Akibatnya hukum yang seharusnya memiliki fungsi untuk menegakkan keadilan pun ternyata belum dapat direalisasikan. Aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari penyebab buruknya penegakan hukum di Indonesia. Hakim yang diharapkan menjadi tonggak terakhir untuk mewujudkan terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat melalui putusannya, ternyata juga menjadi salah satu pihak yang berkontribusi terhadap buruknya penegakan hukum yang terjadi di Indonesia.
Hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dan penting dalam menentukan putusan yang adil bagi seluruh masyarakat melalui pengadilan. Hakim dapat mengubah hak kepemilikan, kebebasan warga negara, atau bahkan menghentikan hak hidup seseorang. Dalam menjalankan tugasnya seorang hakim selain dibatasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik. Etika profesi hakim menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan integritas, independensi, dan keberpihakan yang adil dalam pengambilan keputusan hukum. Peraturan yang mengatur kode etik hakim di Indonesia adalah Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2021,02/PB/ P/KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Ketua MA dan Ketua KY. Dengan peraturan ini, diupayakan bagi hakim untuk menjalankan tugasnya dengan intergritas dan etika profesinya, undang- undang ini juga dapat menjadi panduan penting bagi hakim. Namun ada beberapa kasus di mana dugaan pelanggaran etika profesi hakim muncul, seperti penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan keputusan yang diragukan keadilannya, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas hakim.
Bagir Manan menegaskan bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk itu harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman, yaitu: Pertama, hakim memutus menurut hukum. Setiap putusan, hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkrit. Kedua, hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi, atau menemukan hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principle of natural justice). Keempat, harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya.
Berdasarkan kode etik terhadap kebebasan dan kemandirian hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara merupakan salah satu upaya untuk menjaga integritas para hakim, agar dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara hukum mampu menggali, menjabarkan, dan mensinergikan antara fakta, norma, moral, dan doktrin hukum dalam pengambilan putusan hakim. Oleh karena itu, hakimlah yang paling bertanggung jawab memasukkan atau menggabungkan unsur-unsur tersebut melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Karena putusan hakim selain harus mempertimbangkan asas keadilan hukum (legal justice) berdasarkan atas norma atau kaidah hukum dan asas keadilan sosial (social justice) yang merupakan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat, juga harus mempertimbangkan asas keadilan moral (moral justice). Hal senada diungkapan oleh Satjipto Rahardjo bahwa, hukum dan penegakannya tidak hanya mengutamakan keadilan hukum (legal justice), melainkan penegakan hukum yang mampu menangkap rasa keadilan masyarakat (social justice), sehingga pada gilirannya hukum betul-betul memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).
Ditambah doktrin hukum sebagai salah satu sumber pertimbangan hakim dalam menemukan hukum. Bila perundang-undangan tidak memberi jawaban dan tidak pula ada keputusan pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, maka hakim akan mencari jawaban pada pendapat para sarjana hukum. Karena ilmu pengetahuan bersifat objektif dan berwibawa, maka keputusan hakim harus bersifat objektif dan berwibawa pula. Maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk mendukung atau mempertanggung- jawabkan putusan hakim.
Dalam kaitannya dengan putusan hakim tersebut, dalam pertimbangan hukumnya hakim dapat berpedoman pada teori tujuan hukum. Tujuan hukum menurut Gustav Radbruch16 bahwa hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :
- Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
- Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
- Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).
Berdasarkan beberapa asas tersebut berikut ini penulis kemukakan dalam beberapa teori sebagai berikut :
1. Teori Kepastian Hukum
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma, dimana norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma- norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. 17 Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Saat dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.
Berdasar keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
2. Teori Keadilan
Keadilan berasal dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak : memihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran : sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Pada hakikatnya, keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan.
Sebagaimana disebutkan oleh Dominikus Rato bahwa persoalan keadilan sejalan dengan evolusi. Evolusi filsafat hukum sebagai bagian dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar persoalan tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu keadilan, kesejahteraan dan kebenaran. Diantara yang paling menonjol dalam bidang hukum adalah persoalan keadilan karena hukum atau peraturan perundang-undangan harusnya adil, namun seringkali berkebalikan dan bahkan terabaikan. Hukum selalu berkaitan dengan keadilan walaupun secara empirik kurang disadari sepenuhnya. Hukum tanpa keadilan ibarat membuat gulai tanpa daging, hampa tanpa bermakna. Sebaliknya, keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih. Keadilan merupakan persoalan yang bersifat fundamental dalam hukum.
Hakikat keadilan dalam Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan GBHN, kata adil terdapat pada beberapa ketentuan, diantaranya adalah :
- Sila kedua dan kelima Pancasila
- Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (alinea II dan IV).
- GBHN 1999-2004 tentang visi
Adil tidaknya suatu tindakan tidak terlepas dari teori keadilan, adapun ciri- ciri adil yaitu :
- Tidak memihak (impartial)
- Sama hak (equal)
- Bersifat hukum (legal)
- Sah menurut hukum (lawful)
- Layak (fair)
- Wajar secara moral (equitable)
- Benar secara moral (righteous)
Teori keadilan menurut Aristoteles yang dibagi menjadi lima macam yaitu keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, keadilan konvensional, dan keadilan perbaikan. Adapun penjelasan/pengertian dari masing-masing keadilan adalah sebagai berikut :
- Keadilan Komutatif ; Keadilan Komutatif adalah keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Intinya harus bersikap sama kepada semua orang, tidak melihat dari segi manapun
- Keadilan Konvensional ; Keadilan konvensional adalah keadilan yang mengikat warga negara karena didekritkan melalui kekuasaan khusus. Keadilan ini menekankan pada aturan atau keputusan kebiasaan yang harus dilakukan warga negara yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan.
- Keadilan Distributif ; Keadilan distributif adalah keadilan yang diterima seseorang berdasarkan jasa-jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya (sebuah prestasi). Keadilan ini menekankan pada asas keseimbangan, yaitu antara bagian yang diterima dengan jasa yang telah diberikan
- Keadilan Kodrat Alam ; Keadilan kodrat alam adalah keadilan yang bersumber pada hukum alam/hukum kodrat. Hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai makhluk yang berakal dan bagaimana seharusnya kelakuan yang patut di antara sesama manusia
- Keadilan Perbaikan ; Keadilan perbaikan adalah keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan suatu keadaan atas status kepada kondisi yang seharusnya, dikarenakan kesalahan dalam perlakuan atau tindakan hukum.
Hubungan antara keadilan dan hukum identik dengan keadilan dengan kepatuhan kepada hukum. Namun pendapat ini keliru kecuali jika hukum diberi makna luas, karena pendapat hukum seperti ini akan membuat orang tidak bisa menjelaskan fakta bahwa kritik atas keadilan tidak terbatas pada pelaksanaan hukum dalam kasus-kasus tertentu, melainkan hukum itu sendiri juga sering kali dikritik berdasarkan adil atau tidaknya. Dalam hukum pidana maupun perdata akan dipandang tidak adil jika dalam distribusi beban dan manfaat keduanya melakukan diskriminasi karakteristik seperti warna kulit atau keyakinan agama. Jika para pembunuh yang tergolong sebagai anggota gereja yang mapan akan dibebaskan dari hukuman. Hukum seperti ini dalam masyarakat modern akan dicela sebagai hukum yang tidak adil.
Penilaian keadilan atau ketidakadilan hukum bisa jadi dihadapkan pada pendapat berlawanan yang dituntun oleh sebuah moralitas yang berbeda. Misalnya hukum yang mengecualikan atau tidak memberikan kekuasaan kepada anak-anak atau orang tidak sehat akalnya dalam pembuatan kontrak atau wasiat dianggap adil. Karena mereka tidak memiliki kapasitas, yang dimiliki oleh orang dewasa yang sehat akalnya. Diskrimasi ini dibuat atas alasan yang jelas-jelas relevan. Terkait dengan undang-undang bahwa undang-undang dibuat dengan tujuan kebaikan masyarakat, keamanan rakyat, perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu para pembuat undang-undang harus merumuskan dan menuliskan sesuai dengan moral dan kebahagiaan umum sehingga rakyat menerima dan mentaati, yang didalamnya tercakup seluruh hakikat dan seluruh daya keadilan.
3. Teori Kemanfaatan
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhdap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pulah penerapanya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi
Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahuir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan okleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghoramatan pada hukum dan aturan itu sendiri.
Kemanfaatan hukum pada prinsipnya perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya mamfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyrakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang trkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut diatas, saya sangat tertarik membaca pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility, doelmatigheid). Olehnya itu didalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
John Stuart Mill sebagai pengikut Bentham memberikan argumen yang agak berbeda dengan Bentham. Mill menyatakan antara keadilan, kegunaan, individu, dan masyarakat umum yang saling berkaitan. Hukum akan menjadi baik dan bermanfaat jika didasari oleh rasa keadilan, manusia cenderung akan kesal jika tidak dapat memperoleh kebahagiaan. Sementara itu dalam diri manusia terdapat rasa sosial yang dapat mengobati kekesalannya atas tidak didapatkannya kebahagiaan. Dalam hal yang demikian itu terkandung unsur pertahanan diri dan simpati yang bersifat alamiah.
Rudolf von Jhering memiliki pandangan yang sama dengan Bentham dan Mill bahwa tujuan hukum adalah mencapai kebahagiaan. Pandangan tentang kebahagiaan yang diperoleh sangat bersifat indivudualistis. Pusat kebahagiaan adalah cita diri yang dalam pemerolehannya tidak dapat dilepaskan dari orang lain atau masyarakat. Diperlukan adanya kerjasama dengan orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Akan tetapi semua yang dilakukan para individu ini pasti memiliki pamrih, yaitu demi terpenuhi kebutuhannya. Dengan demikian hukum yang baik dan bermanfaat jika hukum mengakomodir kepentingan individu dalam memperoleh kebahagiaan dan mampu mampu menyerasikan antara kepentingan individu dan masyarakat. Pembuat hukum yang baik adalah yang dapat mengetahui kepentingan masyarakat.
Aliran Sejarah mengajarkan bahwa hukum terbentuk dalam masyarakat. Dua tokoh aliran sejarah adalah Von Savigny dan John Frederich Puchta. Von Savigny menyatakan hukum tumbuh karena rasa keadilan yang terletak pada jiwa bangsa. Hukum telah ada pada masing-masing masyarakat seiring dengan kebiasaan dan adat-istiadat mereka. Tugas ilmuan hukum adalah mengeksplorasi, menemukan, dan merumuskan kembali menjadi aturan-aturan yang berlaku
Kemanfaatan dan kegunaan hukum dapat terwujud dengan baik jika pembuatan dan pelaksanaannya mengacu pada nilai-nilai, kebiasaan dan adat istiadat dalam masyarakat tersebut.
Puchta adalah murid Savigny, hukum dapat dibentuk dari adat istiadat, undang-undang, atau karya ahli hukum. Menurutnya ada bangsa alam dan bangsa nasional. Penemuan oleh ilmuan hukum dapat dijadikan sebagai peraturan bersama jika disahkan oleh masyarakat bersama melalui negara. Negara punya kewenangan untuk menerapkan aturan-aturan yang dirancang berdasarkan hasil riset para ilmuan, hukum baru berlaku setelah ada pengesahan dari negara. Dengan demikian dapat dikatakan hukum yang baik sebetulnya adalah yang digali diambil dari kebiasaan dalam masyarakat. Hukum tersebut akan lebih bermanfaat bagi masyarakat jika telah disahkan oleh negara sebagai hukum yang berlaku.
Aliran Sociological Jurisprudence dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa hukum memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan masyarakat. Dua tokoh terkenal yang dibahas adalah Eugen Ehrlich dari Eropa dan Roscou pound dari Amerika. Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang baik adalah aturan-aturan atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian hukum akan dapat berjalan dengan baik jika hukum dilahirkan dari kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat.
Roscou pound sangat terkenal dengan teorinya law as a tool of social engineering atau hukum adalah sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Hukum yang baik berisi tentang keinginan-keinginan dan kepentingan dari anggota masyarakat. Hukum yang didasarkan pada keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut akan lebih mudah untuk merekayasa masyarakat agar tindakannya sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum atau pembuat hukum.
Aliran Realisme dibagi menjadi dua, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Realisme Amerika mengemukakan bahwa hukum yang baik adalah yang dilahirkan dari pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam masyarakat. Pihak yang paling cocok untuk melahirkan peraturan adalah hakim sebagai pihak yang berpengalaman langsung menangani berbagai masalah hukum. Hukum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat agar dapat bermanfaat secara maksimal.
Menurut aliran Realisme Skandinavia menyatakan bahwa hukum dikembangkan dengan melakukan pengamatan. Pengembangan hukum yang demikian akan lebih mengilmiahkan hukum sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Hukum yang dibuat harus diartikan sebagai peraturan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Hukum akan membentuk moral masyarakat menjadi lebih baik. Demi tercapainya tujuan tersebut maka pembuatan hukum harus didasarkan pada analisis kebutuhan masyarakat. Pembuatan hukum melalui observasi yang didasarkan demi kesejahteraan masyarakatlah yang dapat menjadikan hukum bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia, istilah "kebebasan" digunakan untuk lembaga peradilan, yang berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan hakim, yang berarti kebebasan hakim, sebagai struktur utama kekuasaan kehakiman. Kebebasan hakim, yang ditetapkan oleh konstitusi, telah memiliki banyak penafsiran dalam konteks individu dan masyarakat. Ketika kata "kebebasan" digabungkan dengan kata "hakim", yang membentuk kata majemuk "kebebasan hakim", ada banyak interpretasi yang berbeda.24 Menurut beberapa orang, kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah menegakkan keadilan dan hukum, yang harus didasarkan pada Pancasila. Oleh karena itu, kebebasan hakim tidak bebas secara absolut, dan mereka tidak boleh terlepas dari tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan tanpa batas yang bebas dari batas, karena batas-batasnya dapat menyebabkan ketidakpedulian.
Kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa:
- Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain- lain, Badan Kehakiman menurut undang-undang.
- Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang- undang
Kekuasaan kehakiman di Indonesia telah ditetapkan sejak awal kemerdekaannya sebagai kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh kekuasaan lembaga negara lainnya (Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum Amandemen). Kemerdekaan otoritas kehakiman sebanding dengan"independensi" otoritas kehakiman. Menurut Oemar Seno Adji, Suatu negara hukum harus memiliki pengadilan yang bebas dan tidak terpengaruh. Bebas berarti tidak ada intervensi atau intervensi dari eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi pengadilan. Ia tidak berarti bahwa ia memiliki kebebasan untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya; sebaliknya, ia "disubordinasikan" dan "terikat pada hukum". Ide dasar yang berkembang secara universal tentang kebutuhan akan peradilan yang bebas dan tidak memihak, "peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan," dan peradilan yang bebas dari segala bentuk intervensi.
Franken, ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu
1. Independensi Konstutusional (Constittionele
Onafhankelijkheid) Independesi Konstitusional adalah independensi yang dikaitkan dengan doktrin Trias Politica dan struktur pembagian kekuasaan yang dibangun oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu, lembaga kehakiman harus independen dalam arti bahwa posisi kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
2. Independensi Fungsional (Zakelijke of Functionele Onafhankelijkheid) Hakim memiliki independensi fungsional ketika mereka menghadapi sengketa dan harus membuat keputusan. Independensi hakim berarti bahwa hakim dapat bebas menafsirkan undang-undang apabila undang- undang tidak jelas. Namun, hakim dapat menerapkan isi undang-undang
dalam kasus atau sengketa yang sedang berlangsung.
Independensi substansial juga berarti bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum. Ini juga berarti bahwa, dalam situasi tertentu, lembaga kehakiman atau hakim dapat mencabut ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau keadilan.
3. Independensi Personal Hakim (Persoonlikje of Rechtspositionele Onafhankelijkheid)
Independensi Personal Hakim adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.
4. Independensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke
Onafhankelijkheid) Independensi Praktis yang Nyata adalah independesi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat diakses melalui media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita dan hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh media tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya mereka katakan. Hakim juga harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tuntutan masyarakat untuk diuji secara kritis sesuai dengan sistem hukum saat ini. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana norma sosial dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Hakim harus memahami nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batas pertanggungjawaban dan kebebasan mereka. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, negara yang merdeka harus menggunakan Pancasila sebagai dasar untuk menyelenggarakan peradilan (Pasal 1 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009). Kekuasaan kehakiman itu juga mengandung makna perlindungan pula bagi hakim sebegai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang dapat berasal dari antara lain: 1) Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif; 2) Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran kekuasaan kehakiman sendiri; 3) Pengaruh-pengaruh pihak yang berpekara; 4) Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat baik nasional maupun internasional; 5) Pengaruh-pengaruh yang bersifat trial by the press.
Selain Independesi yang dimiliki oleh hakim, penting juga untuk memiliki integritas yang tinggi. Hakim yang berintegritas akan memutus perkara dengan hatinya, dan akan menciptakan kepastian hukum, keadilaan dan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Karena sebagus apapun regulasi yang telah diterbitkan, jika dijalankan oleh hakim yang tidak memiliki integritas, maka akan sia-sia karena semakin banyak regulasi dikeluarkan dan semakin tinggi ilmu yang dimiliki justru akan semakin banyak celah untuk melakukan tindakan menguntungkan dan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum.
Hakim dalam pandangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, termasuk hakim ad hoc dan hakim pengadilan pajak. Hakim yang berintregritas tinggi diwujudkan pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma- norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Kewajiban hakim dalam penerapan perilaku berintegritas tinggi adalah:
- Hakim harus berperilaku tidak tercela.
- Dalam kasus yang sedang diperiksa oleh hakim yang bersangkutan, hakim harus menghindari hubungan langsung atau tidak langsung dengan advokat, penuntut, dan pihak-pihak lainnya.
- Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung, dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat mereka bekerja.
- Untuk memastikan bahwa tidak ada konflik kepentingan dalam menangani suatu kasus, hakim harus bersikap jujur dan memberikan informasi yang relevan.
- Hakim harus mengetahui masalah keuangan pribadinya, serta masalah keuangan keluarganya.
- Hakim yang terlibat dalam konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c dan huruf d, harus mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili kasus tersebut. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat secepat mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan, atau persangkaan bahwa peradilan tidak bertindak jujur dan berpihak.
- Jika hakim ragu-ragu tentang apakah mereka harus mengundurkan diri, memeriksa, atau mengadili suatu perkara, mereka harus meminta pendapat ketua.
Oleh karena itu, hakim yang menjunjung tinggi independensi dan integritas kehakimannya, dapat menunjukkan arti dari etika profesi hukum. Hubungan antara independensi dan integritas kehakiman dengan etika profesi hukum sangatlah erat, karena independensi dan integritas merupakan syarat pokok bagi terwujudnya negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Dengan independensi dan integritas yang dimiliki hakim, mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian, termasuk sikap jujur, tulus, dan memiliki rasa keadilan serta tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan tugas kehakimannya. Sehingga, etika profesi hakim yang mencakup independensi dan integritas, menjadi kunci dalam memastikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.
Pada dasarnya kendala yang dihadapi hakim dalam mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dapat dibedakan dalam kendala internal dan kendala eksternal. Pada dasarnya kendala internal hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, berdasarkan hasil temuan yang diadakan adalah terdiri dari pengangkatan hakim, pendidikan hakim, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, moral hakim, dan kesejahteraan hakim. Sementara kendala eksternal hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan adalah kemandirian kekuasaan kehakiman, pembentukan undang- undang, sistem peradilan yang berlaku, partisipasi masyarakat, dan sistem pengawasan hakim.
PENUTUP
Etika adalah suatu nilai yang harus dipahami dan dimiliki setiap orang, dengan adanya etika maka kehidupan bersama dapat diatur sesuai yang kita harapkan. Sedangkan, Hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dan penting dalam menentukan putusan yang adil bagi seluruh masyarakat melalui pengadilan. Kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 24 Undang- Undang Dasar 1945. Kekuasaan kehakiman di Indonesia telah ditetapkan sejak awal kemerdekaannya sebagai kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh kekuasaan lembaga negara lainnya (Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum Amandemen). Independensi kehakiman menjadi 4(empat) bentuk yaitu Independensi Konstutusional, Independensi Fungsional, Independensi Personal Hakim, Independensi Praktis yang Nyata. Hakim harus memahami nilai-nilai dasar Pancasila sebagai batas pertanggungjawaban dan kebebasan mereka. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, negara yang merdeka harus menggunakan Pancasila sebagai dasar untuk menyelenggarakan peradilan. Selain independesi yang dimiliki oleh hakim, penting juga untuk memiliki integritas yang tinggi. Hakim yang berintegritas akan memutus perkara dengan hatinya, dan akan menciptakan kepastian hukum, keadilaan dan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dalam segala keterbatasan yang kami miliki, kiranya tulisan ini bisa memberikan manfaat untuk memotret profesi hakim sebagai suatu keniscayaan yang membutuhkan keterjaminan kebebasan dalam menjalankan profesi dengan etika yang melingkupinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Achmad Ali, Mengembara di Belantara Hukum, Jakarta: PT Yasrif Watampone, 1996
Dominikus Rato, Filsafat Hukum ; Mencari dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2004
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum mazhab dan refleksinya, 1994, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: suatu pengenalan pertama ruang lingkup berlakunya ilmu hukum, Bandung; Alumni, Cet. 1999
Oktaviani, R. (2020). Eksistensi Etika Hakim Dalam Persidangan Peradilan Pidana Guna MewujudkanLembaga Peradilan Yang Bersih dari KKN. Wajah Hukum. Vol 4(1).
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana, 2008
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999)
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, 1993
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Kompas, 2008
B. JURNAL
Bagir Manan, “Organisasi Peradilan di Indonesia”, Dalam Makalah Penataran Hukum Administrasi Tahun 1978/1998, Pelaksana Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari 1998, hlm. 12. Lihat pula Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/094/SK/X/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim Artikel tentang Iradah / Karsah Hakim, Oleh ML. Hakim Bastary berjudul “Luqman Menginspirasi Hakim”, Varia Peradilan, Nomor 344, Juli 2014
Ghani, A. (2020). Legal Profession Code of Ethics as Justice Enforcement for Professional Judges. JCIC: Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial. Vol 2(1).
Ginting, Y. P., Arcelya, A., Maruli, E. R., Santoso, F. T. M., Suminto, F., Roseline, N., & Sipayung, Y. (2023). Analisis Kritis Tentang Etika Profesi Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Jurnal Pengabdian West Science. Vol 2(7).
Jurnal Cita Hukum, Vol. II No. 2 Desember 2014. ISSN: 2356-1440
Sinaga, N. A. (2020). Kode etik sebagai pedoman pelaksanaan profesi hukum yang baik. Jurnal IlmiahHukum Dirgantara. Vol 10(2).
Zahra, A. T., Sinaga, A., & Firdausi, M. R. (2023). Problematika Independensi Hakim Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Bureaucracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance. Vol 3(2).Hal 2009-2011



