Praktik Baik PN Slawi: Implementasi Klaim JKK untuk Aparatur Pengadilan Meninggal Dunia

Salah satu praktik baik datang dari PN Slawi, setelah sukses mengurus kenaikan pangkat anumerta dan jaminan kecelakaan kerja (JKK).
Gedung PN Slawi. Foto : Dokumentasi PN Slawi
Gedung PN Slawi. Foto : Dokumentasi PN Slawi

Dunia peradilan tengah berkabung. Menjelang akhir tahun, kabar duka datang berturut-turut: Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis, Triadi Agus Purwanto tutup usia setelah bersidang (12/11); hakim PN Palembang, R. Zaenal Arief ditemukan wafat di kamar kos (12/11); serta hakim tinggi Pengadilan Tinggi Bandung, Made Sutrisna meninggal di kediamannya (14/11). Pada Minggu (16/11), hakim Pengadilan Agama Palembang, Syazili juga telah berpulang. 

Rentetan lelayu ini mengingatkan kembali kewajiban negara atas pemenuhan hak kepegawaian hakim dan ASN, terutama mengenai kepastian status dan kompensasi finansial bagi keluarga yang ditinggalkan. 

Salah satu praktik baik datang dari PN Slawi, setelah sukses mengurus kenaikan pangkat anumerta dan jaminan kecelakaan kerja (JKK). 

Upaya ini bertujuan untuk memastikan hak-hak ASN tetap terpenuhi, meskipun telah wafat saat bertugas. Pada Selasa, 30 Desember 2020, panitera pengganti Edy Suprapto meninggal dunia di dalam kantor karena sakit. Meskipun telah dilarikan ke RSUD dr. Soeselo, Kabupaten Tegal, nyawa almarhum tak tertolong.

Nismah Tulwardah, yang menjabat sebagai Kasubbag Kepegawaian dan Ortala PN Slawi saat itu membagikan pengalamannya mengurus hak-hak kepegawaian Edy. 

Wanita ramah yang telah memasuki masa purnabakti sejak 2023 ini bercerita langsung bergerak cepat mengumpulkan kelengkapan administrasi. 

Berbekal surat keterangan kematian dari rumah sakit, data absensi fingerprint, kronologi kejadian, dan beberapa dokumen lain, Nismah segera menyusun pengajuan klaim ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Beberapa bulan kemudian, upayanya membuahkan hasil: Edy mendapat kenaikan pangkat anumerta dan keluarganya memperoleh JKK.  

“Pencairan pensiun tahap pertama dari Taspen sekitar Rp115 juta. Lalu pencairan kedua berupa santunan JKK sebesar 80 kali gaji pokok terakhir, setelah kenaikan pangkat anumerta. Total yang diterima keluarga sekitar Rp200 juta,” ujar Nismah. 

“Istrinya juga memperoleh hak pensiun bulanan seperti penerima penuh, bukan hanya 36 persen,” imbuhnya.

Penetapan Tewas

Menurut Nismah, salah satu kriteria penting untuk memperoleh santunan JKK dan kenaikan pangkat anumerta adalah penetapan status “tewas” dari pejabat pembina kepegawaian (PPK). Merujuk Pasal 18 PP 66 Tahun 2017, kategori tewas mencakup tiga kondisi:

  • meninggal dunia dalam menjalankan tugas kewajibannya;
  • meninggal dunia dalam keadaan yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kematiannya itu disamakan dengan meninggal dunia dalam menjalankan tugas kewajibannya; atau
  • meninggal dunia karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab atau sebagai akibat tindakan terhadap anasir itu dalam menjalankan tugas kewajibannya.

Ketentuan mengenai kriteria penetapan tewas diatur lebih detail dalam Pasal 30 hingga Pasal 35 Peraturan BKN Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Kriteria Penetapan Kecelakaan Kerja, Cacat, dan Penyakit Akibat Kerja, serta Kriteria Penetapan Tewas bagi Pegawai ASN.

Besaran JKK dan Pihak yang Berhak Menerima

PP 66 Tahun 2017 turut mengatur besaran jaminan kecelakaan kerja bagi ASN yang tewas dalam tugas, terdiri atas: santunan kematian kerja, uang duka tewas, dan biaya pemakaman. 

Berdasarkan Pasal 15, ahli waris berhak menerima santunan kematian kerja sebesar 60% dari 80 kali gaji terakhir, yang dibayarkan satu kali. Pasal 16 memberikan tambahan berupa uang duka tewas, yakni santunan sebesar enam kali gaji terakhir, juga diberikan sekaligus. 

Di Pasal 17, masih ada kompensasi biaya pemakaman kepada ahli waris peserta sejumlah Rp10 juta. Terdapat pula bantuan beasiswa sesuai tingkat pendidikan anak, termuat dalam Pasal 20.

Pasal 19 kemudian memaparkan mengenai pihak yang berhak atas pemberian santunan kematian kerja dan uang duka tewas. 

Jika peserta meninggalkan suami atau istri yang sah, maka pasangan tersebut menjadi penerima utama. Bila tidak ada pasangan, hak itu turun untuk anaknya. Jika peserta tidak memiliki pasangan maupun anak, maka orang tua ditetapkan sebagai penerima santunan. 

Persyaratan Dokumen Penetapan Tewas

Pasal 43 Peraturan BKN Nomor 4 Tahun 2020 menetapkan sejumlah syarat administratif pengajuan penetapan tewas yang wajib dipenuhi oleh PPK, yakni:

  1. Keputusan pengangkatan pertama sebagai CPNS/PNS atau keputusan pengangkatan sebagai PPPK;
  2. Surat keterangan kematian dari dokter yang menerangkan secara detail penyebab kematian;
  3. Laporan kronologis kejadian secara detail dan terperinci dibuat oleh pimpinan unit kerja pegawai ASN yang meninggal dunia, sesuai lampiran;
  4. Daftar susunan keluarga, surat/akta nikah, akta kelahiran anak, surat kejandaan/kedudaan;
  5. Surat perintah tugas (penugasan tertulis) bagi yang meninggal dunia karena menjalankan tugas jabatan dan/atau tugas kedinasan lainnya baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja; 
  6. Visum yang dikeluarkan oleh dokter yang antara lain berisi penyebab kematian bagi yang meninggal dunia karena penganiayaan, penculikan, atau kecelakaan;
  7. Berita acara kepolisian/laporan polisi yang menyebutkan secara lengkap tentang waktu kejadian, kronologis kejadian, para pihak serta kesimpulan bagi pegawai ASN yang meninggal karena kecelakaan; dan
  8. Persyaratan lain yang diperlukan.

Prosedur Penetapan Tewas

Prosedur penetapan tewas termuat dalam Pasal 44 Peraturan BKN Nomor 4 Tahun 2020 berikut ini:

  1. Pimpinan unit kerja di tempat pegawai ASN yang meninggal dunia mengusulkan penetapan tewas kepada PPK melalui kepala biro kepegawaian/kepala badan kepegawaian daerah/pejabat pimpinan tinggi pratama, yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian;
  2. Berdasarkan usulan penetapan tewas, PPK memeriksa syarat-syarat yang telah ditentukan;
  3. Sebelum menetapkan tewas, PPK terlebih dahulu berkoordinasi dengan kepala BKN;
  4. Koordinasi dilakukan secara tertulis dengan melampirkan syarat-syarat yang telah ditentukan;
  5. Koordinasi dilakukan paling lambat 18 bulan, terhitung sejak tanggal kecelakaan kerja terjadi;
  6. Dalam hal koordinasi melewati batas waktu yang ditentukan, maka masih dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan kepala BKN;
  7. Kepala BKN melakukan verifikasi dan validasi terhadap syarat-syarat yang dilampirkan;
  8. Verifikasi dan validasi dilakukan paling lama sepuluh hari kerja sejak syarat-syarat secara lengkap diterima;
  9. Dalam melakukan verifikasi dan validasi, kepala BKN dapat membentuk tim;
  10. Hasil verifikasi dan validasi dari kepala BKN disampaikan secara tertulis kepada PPK sebagai bahan penetapan;
  11. Hasil verifikasi dan validasi dari kepala BKN berupa surat rekomendasi penetapan tewas;
  12. PPK menetapkan atau tidak menetapkan tewas sesuai dengan hasil verifikasi dan validasi dari kepala BKN;
  13. Dalam hal yang akan ditetapkan tewas oleh PPK merupakan CPNS, selain PPK menetapkan tewas juga menetapkan pengangkatan CPNS menjadi PNS;
  14. Penetapan pengangkatan PNS terhitung mulai tanggal satu pada bulan yang bersangkutan dinyatakan tewas;
  15. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, kepada PNS yang bersangkutan diberikan kenaikan pangkat anumerta, yang penetapannya terhitung mulai tanggal yang bersangkutan dinyatakan tewas;
  16. Penetapan pemberhentian yang bersangkutan ditetapkan pada akhir bulan sejak yang bersangkutan dinyatakan tewas.
Penulis: Romi Hardhika
Editor: Tim MariNews