Membangun Harmoni dan Profesionalisme Bersama: Sinergi Para Pemangku Keadilan dalam Menjaga Marwah Peradilan

Meskipun masa tugas hakim ad hoc bersifat terbatas, nilai, budaya kerja, serta kehormatan lembaga tetap melekat kuat dalam diri setiap anggotanya
Membangun Harmoni dan Profesionalisme Bersama: Sinergi Para Pemangku Keadilan dalam Menjaga Marwah Peradilan. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Membangun Harmoni dan Profesionalisme Bersama: Sinergi Para Pemangku Keadilan dalam Menjaga Marwah Peradilan. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Peradilan Bermartabat Dimulai dari Hakim yang Berketeladanan:

Ketika Integritas Menjadi Nafas Kehormatan Lembaga Peradilan

Keteladanan sebagai Pilar Utama Integritas Peradilan

Sebagai seorang Hakim Ad Hoc yang diamanahi tugas dan telah menjalankan pengabdian selama enam tahun ini di Pengadilan Negeri Merauke, momentum pelantikan tidak hanya menjadi penegasan atas tanggung jawab yuridis, tetapi juga merupakan deklarasi moral bahwa setiap hakim ad hoc otomatis menjadi bagian dari keluarga besar peradilan. 

Meskipun masa tugas hakim ad hoc bersifat terbatas, nilai, budaya kerja, serta kehormatan lembaga tetap melekat kuat dalam diri setiap anggotanya dan terus mengarahkan perilaku dalam menjalankan tugas.

Sejak hari pertama dilantik, tertanam pemahaman bahwa menjalankan tugas sebagai hakim berarti membawa nama baik institusi ke mana pun berada, termasuk di tengah keluarga dan lingkungan tempat tinggal. 

Setiap sikap, ucapan, dan tindakan seorang hakim tidak sekadar mencerminkan pribadinya, tetapi juga membawa marwah lembaga peradilan yang agung. 

Dalam bingkai tanggung jawab moral ini, keluarga di rumah pun menjadi bagian dari “lingkaran etis” yang senantiasa memberikan pengingat agar integritas dan kehormatan profesi selalu dijaga.

Dalam sistem peradilan, hakim tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai figur moral yang perilakunya menjadi rujukan bagi rekan kerja, aparatur pendukung peradilan, dan masyarakat. 

Keteladanan terbentuk bukan dari aturan tertulis semata, melainkan melalui kedisiplinan batin, kebiasaan menjaga diri, dan komitmen untuk menginternalisasi nilai-nilai etika dalam setiap aspek kehidupan.

Keteladanan Sebagai Pengaruh Utama di Lingkungan Kerja

Lingkungan peradilan sangat sensitif terhadap keteladanan yang ditunjukkan oleh seorang hakim. 

Sikap dan karakter yang tercermin dalam interaksi formal maupun informal berpengaruh terhadap panitera, panitera muda, staf administrasi, hingga sesama hakim. 

Konsistensi dalam menjaga jarak profesional, kemampuan menahan diri dari godaan, dan keteguhan memegang nilai etis menjadi contoh yang membentuk budaya kerja di lingkungan peradilan.

Oleh karena itu, nilai-nilai etika harus menjadi karakter yang terpatri, bukan sekadar slogan institusional. 

Ketika nilai etis benar-benar dihidupi, batas profesional akan dihormati dan potensi penyimpangan dapat diminimalkan. Sikap tersebut tidak hanya melindungi hakim secara pribadi, tetapi juga memperkokoh wibawa lembaga peradilan.

Menjadikan Etika sebagai Belief System dalam Kehidupan Hakim

Kode etik profesi tidak boleh berhenti pada ritual pembacaan saat apel atau seremoni formal lembaga. 

Nilai-nilai etika harus menjadi belief system suatu keyakinan batin yang mengarahkan perilaku hakim dalam setiap kondisi, baik di dalam maupun di luar ruang sidang.

Ketika etika telah menyatu dengan karakter, seorang hakim akan senantiasa menjaga martabat jabatannya secara konsisten. 

Etika yang hidup dalam diri memastikan bahwa setiap keputusan, tindakan, dan interaksi tetap selaras dengan kehormatan peradilan yang dijunjung tinggi.

Kedekatan Spiritual sebagai Sumber Kebijaksanaan Hakim

Hakim memikul amanah besar sebagai pemutus perkara yang berhubungan langsung dengan nasib manusia. 

Dalam menjalankan peran tersebut, kedekatan spiritual menjadi pilar penting yang menjaga kejernihan hati, ketajaman nurani, serta keteguhan moral. 

Kedekatan kepada Tuhan memberikan kekuatan untuk tetap jujur, adil, dan teguh meskipun menghadapi tekanan, godaan, atau tantangan etis.

Dengan fondasi spiritual yang kuat, hakim mampu melihat persoalan secara objektif dan mengambil keputusan yang sejalan dengan keadilan substantif. 

Aspek spiritual ini bukan hanya menjadi pelindung pribadi, tetapi juga menjadi cahaya yang menuntun hakim agar selalu berada pada jalur yang benar.

Tanggung Jawab Moral Antar-Hakim: Menegur dan Menjaga

Profesi hakim memiliki dimensi moral kolektif. Setiap hakim berkewajiban mengingatkan rekannya ketika muncul potensi penyimpangan atau perilaku yang tidak selaras dengan etika jabatan. 

Teguran yang diberikan dengan bijaksana bukan bentuk permusuhan, tetapi wujud kepedulian sejawat demi menegakkan martabat profesi.

Namun, apabila penyimpangan tetap berlangsung meskipun telah diberikan peringatan, langkah lebih tegas perlu ditempuh. 

Melaporkan pelanggaran bukan tindakan yang dilandasi kebencian, melainkan upaya menjaga integritas lembaga peradilan sekaligus menyelamatkan rekan sejawat agar tidak terjerumus lebih jauh dalam pelanggaran etis.

Sepuluh Nilai Etis sebagai Pegangan Hidup Hakim

Berikut sepuluh nilai etis yang dapat dijadikan landasan moral dan profesional dalam menjalankan tugas sebagai hakim:

  1. Keteladanan dalam perilaku kecil maupun besar.
  2. Integritas sebagai benteng dari segala bentuk godaan.
  3. Kejujuran yang dimulai dari tindakan-tindakan sederhana.
  4. Menjaga jarak profesional dengan seluruh elemen kerja.
  5. Menjadikan etika sebagai karakter, bukan formalitas.
  6. Menguatkan diri melalui kedekatan spiritual.
  7. Keberanian menegur sesama hakim yang menyimpang.
  8. Kesediaan menerima teguran demi perbaikan diri.
  9. Komitmen melaporkan pelanggaran demi menjaga martabat lembaga.
  10. Menjunjung marwah peradilan sebagai amanah sepanjang hayat.

Kesepuluh nilai ini berfungsi sebagai kompas moral yang mengarahkan setiap langkah dan keputusan dalam menjalankan profesi.

Dengan demikian, Keteladanan hakim merupakan fondasi utama bagi tegaknya etika dan martabat peradilan. 

Etika bukan hanya norma tertulis, tetapi kompas moral yang menuntun setiap perilaku seorang hakim. 

Dengan menghidupi nilai-nilai etis secara konsisten, hakim mampu menjaga kehormatan pribadi sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai penjaga terakhir keadilan.

Bagi seorang Hakim Ad Hoc, keterbatasan masa tugas tidak mengurangi kedalaman komitmen terhadap marwah peradilan. 

Sejak pelantikan, hakim telah menjadi bagian dari keluarga besar peradilan yang bertanggung jawab menjaga kehormatan lembaga di mana pun berada. 

Perubahan menuju peradilan yang bermartabat berawal dari diri sendiri, melalui konsistensi dalam hal-hal kecil yang akhirnya menghasilkan dampak besar terhadap kepercayaan publik.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews