Dalam negara hukum, hakim memegang peran yang tak tergantikan.
Hakim adalah pihak yang diberi mandat untuk menafsirkan hukum, menilai fakta, dan memberikan keputusan yang dapat menentukan nasib seseorang.
Dalam ruang sidang, suara hakim adalah suara negara. Namun, sebelum hakim menundukkan perkara dengan kekuasaan yudisial yang melekat padanya, ada kewajiban yang lebih mendasar di mana seorang hakim harus terlebih dahulu bisa menundukkan dirinya sendiri.
Rasulullah SAW. bersabda: “Orang kuat bukanlah yang menang bergulat, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hakim sering menghadapi situasi emosional, oleh karenanya kekuatan sejati bukan pada kekuasaan memutus perkara, akan tetapi pada kemampuan dalam mengendalikan diri sebelum membuat keputusan.
Pernyataan ini mungkin terdengar filosofis, tetapi justru berada di inti profesi kehakiman.
Keadilan tidak hanya bergantung pada aturan hukum, nanun juga pada kualitas jiwa orang yang menerapkannya.
Putusan yang adil lahir bukan semata-mata dari pasal-pasal, melainkan dari kejernihan batin seorang hakim dalam memaknai fakta dan hukum.
Kekuasaan yang Menuntut Kerendahan Hati
Kewenangan hakim adalah salah satu bentuk kekuasaan paling besar dalam suatu sistem demokrasi.
Kekuasaan ini bukan hanya bersifat hukum, tetapi juga moral, karena keputusan yang diambil tidak dapat ditawar.
Ketika sebuah palu diketuk, konsekuensinya bisa menyentuh kebebasan, hak ekonomi, bahkan kehormatan seseorang.
Dari sinilah muncul paradoks kekuasaan yang besar justru membutuhkan kerendahan hati yang lebih besar lagi.
Hakim yang tidak mampu menundukkan egonya berisiko menjadikan ruang sidang sebagai panggung kuasa, bukan ruang mencari kebenaran.
Ia dapat tergelincir pada sikap menggurui, terburu-buru, atau menggunakan otoritas secara berlebihan. Padahal, setiap perkara menuntut kesabaran, kejernihan, dan kesediaan mendengar.
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Relevansinya adalah bentuk pengendalian diri yang paling eksplisit diperintahkan Nabi, yang menegaskan seorang hakim harus menundukkan emosinya agar keputusan tidak berat sebelah.
Menundukkan Diri: Syarat Etis Profesi Kehakiman
Menundukkan diri bukanlah sikap merendahkan diri, melainkan kemampuan seseorang mengendalikan aspek-aspek manusiawi yang seringkali tidak disadari emosi, asumsi, simpati berlebih, bahkan rasa ingin menunjukkan superioritas intelektual. Semua itu bisa mengganggu objektivitas.
Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, nilai-nilai seperti integritas, keadilan, profesionalitas, dan kebijaksanaan disebut sebagai pilar utama.
Namun, tidak jarang publik lupa nilai-nilai tersebut hanya mungkin tumbuh ketika seorang hakim memiliki kendali diri yang kuat.
Tanpa itu, hukum mudah dikesampingkan oleh keputusan impulsif yang lahir dari ruang batin yang tidak jernih.
Hakim tentunya harus mampu bertanya pada dirinya sendiri; “Apakah saya memutus berdasarkan apa yang saya suka, atau berdasarkan apa yang hukum dan bukti tuntut dari saya?”
Pertanyaan sederhana ini merupakan fondasi etika peradilan.
Membiarkan Fakta Bekerja, Menahan Diri untuk Tidak Menghakimi
Dalam praktik peradilan dalam sistem hukum apaupun di dunia ini, ketenangan adalah kekuatan.
Hakim dapat menghadapi saksi yang gugup, pihak yang emosional, atau advokat yang agresif.
Setiap dinamika itu berpotensi menulari suasana batin hakim. Bila ia tidak waspada, reaksi spontan dapat memengaruhi proses pemeriksaan.
Hakim yang menundukkan dirinya akan membiarkan fakta dan pembuktian bekerja apa adanya.
Ia tidak tergesa-gesa menyimpulkan, tidak memotong penjelasan yang relevan, dan tidak menunjukkan sikap apriori.
Di banyak ruang sidang, kualitas seorang hakim dapat dinilai lebih dari cara ia mendengar ketimbang cara ia berbicara.
Keadilan bukan hanya soal hasil akhir, melainkan juga proses yang adil dan transparan.
Publik kini semakin kritis dan peka terhadap cara hakim bersikap.
Ketenangan, kesabaran, dan kontrol diri bukan hanya kebutuhan etis, tetapi juga kebutuhan institusional untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap peradilan.
Putusan yang Adil Lahir dari Jiwa yang Tertib
Sebuah perkara tidak akan benar-benar tunduk pada hukum bila hakim tidak terlebih dulu menundukkan dirinya pada nilai-nilai dasar profesinya.
Putusan yang baik bukan hanya akurat secara yuridis, tetapi juga lahir dari cara berpikir yang jernih dan jiwa yang tidak dipengaruhi kepentingan apa pun.
Hakim yang tertib jiwanya akan mampu menilai fakta secara objektif, menafsirkan hukum secara proporsional, dan menyampaikan putusan dengan bahasa yang adil.
Ia tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menundukkan para pihak, tetapi sebagai simbol hukum telah berbicara setelah kajian yang hati-hati.
Keadilan tidak pernah lahir dari ego yang menang, tetapi dari hati yang tunduk pada hukum.
Nabi Muhammad SAW menegaskan, kekuatan sejati bukanlah kemampuan memaksakan keputusan, melainkan kemampuan menundukkan diri.
Dalam hadis sahih disebutkan orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah,
“Orang kuat bukanlah yang menang bergulat, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Prinsip pengendalian diri inilah yang menjadi dasar etika seorang hakim: sebelum menundukkan perkara, ia harus menundukkan egonya, emosinya, dan bisikan kepentingan pribadi.
Penutup
Dalam iklim peradilan yang semakin mendapat sorotan publik, prinsip “menundukkan diri sendiri sebelum menundukkan perkara” menjadi semakin penting.
Ia bukan sekadar semboyan, tetapi kompas moral bagi setiap hakim dalam menjalankan mandat konstitusional.
Seorang hakim tidak diukur dari seberapa lantang ia mengarahkan persidangan, tetapi dari seberapa jernih ia berpikir dalam keheningan sebelum memutus.
Ketika seorang hakim mampu menundukkan dirinya sendiri, barulah ia layak menundukkan perkara.
Dan ketika perkara tunduk pada hukum melalui hakim yang berintegritas, keadilan akan menemukan jalannya.
Daftar Bacaan
Al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari. Riyadh: Darussalam Publishers, 1997.
Mahkamah Agung RI. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jakarta: Mahkamah Agung, 2009.
Muslim, Imam. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun.




