Mengapa Hakim Harus Memiliki Kebebasan Finansial?

Kesejahteraan bagi hakim memiliki makna yang sama dengan kebebasan finansial. Hakim sebagai “Pejabat Negara” tentu harus memiliki kebebasan finansial.
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik

Belakangan isu kenaikan gaji hakim kembali ramai. Dimulai sejak 2024, yang ditandai dengan protes banyak hakim karena belum ada kenaikan penghasilan selama 12 tahun. 

Meskipun kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 disahkan, namun kenaikan penghasilan hakim dinilai masih belum sepadan dengan beban kerja dan risiko yang dihadapi.

Euforia sempat dirasakan para hakim, ketika Presiden Prabowo menyatakan akan menaikkan gaji hakim secara signifikan. 

Setidaknya sudah ada empat kali sepanjang 2025 Presiden Prabowo secara terbuka menyampaikan itu. Dimulai pada 19 Februari 2025 saat Prabowo menghadiri acara Laporan Tahunan MA. Kemudian pada 12 Juni 2025 saat ia menghadiri pengukuhan calon hakim menjadi hakim baru MA. 

Ketiga, saat Prabowo berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI 15 Agustus 2025. Dan yang terakhir, saat Presiden menyebutkan kenaikan gaji hakim sebesar 280 persen sebagai salah satu capaian satu tahun Pemerintahan yang dipimpinnya pada 20 Oktober 2025.

Terlepas dari fakta kenaikan gaji hakim sebesar 280 persen tersebut belum terjadi hingga saat ini, namun rencana memberikan peningkatan kesejahteraan secara signifikan kepada para hakim harus didukung penuh.

Kesejahteraan bagi hakim memiliki makna yang sama dengan kebebasan finansial. Hakim sebagai “Pejabat Negara” tentu harus memiliki kebebasan finansial.

Status hakim sebagai Pejabat Negara ironisnya tidak tergambar dalam fakta kesehariannya. 

Satu contoh faktual terjadi dalam setiap pertemuan Forkopimda. Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan (yang merupakan Hakim) seringkali adalah yang paling sederhana di barisan Bupati/Walikota, Ketua DPRD, Sekda, Kapolres, Dandim, dan Kajari. 

Padahal, Hakim dan Bupati/Walikota memiliki status yang sama, yaitu sebagai Pejabat Negara, sedangkan hal serupa tidak dimiliki oleh yang lainnya. 

Penulis tidak bermaksud mendiskreditkan yang lain, hanya saja menjadi sebuah ironi, ketika status Pejabat Negara yang disandang para hakim tidak termanifestasi dalam kesejahteraan yang dimilikinya.

Menginginkan lebih banyak uang bukanlah bentuk keserakahan, tapi perjuangan untuk meraih kebebasan finansial. 

Kebebasan finansial berarti seseorang ingin makanan yang enak tanpa harus memikirkan harganya, pergi berlibur bersama keluarga tanpa harus menghitung berapa banyak tabungan yang dihabiskan, membayar sekolah anak tanpa harus menjual aset yang dimiliki, atau membeli barang-barang yang dibutuhkan tanpa harus meminjam uang ke bank. 

Sedangkan, keserakahan adalah menginginkan sebanyak mungkin uang tanpa memikirkan cara memperolehnya bahkan meskipun harus mengorbankan kesejahteraan orang lain dengan mengambil bagian yang bukan miliknya.

Ironisnya, hampir seluruh hakim bisa dipastikan memiliki pinjaman di bank untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti untuk membangun rumah, membeli kendaraan, atau membayar biaya sekolah anaknya. 

Hal ini terjadi karena Negara gagal memberikan kesejahteraan kepada para hakim.

Padahal, memberikan kesejahteraan dan kebebasan finansial kepada para hakim adalah investasi terbesar Negara di bidang penegakan hukum.

Hakim yang memiliki kebebasan finansial akan memiliki lebih banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk meningkatkan profesionalitas dan kapabilitasnya dengan cara membaca buku, mengikuti diklat, menambah pengetahuan baru, serta dengan penuh kehati-hatian mempelajari berkas persidangan dan menganalisis berbagai aturan dan kaidah hukum untuk memperkaya pertimbangan putusannya. 

Hakim yang memiliki kebebasan finansial, tidak akan tersita waktunya untuk menghitung dengan ketat pembagian gaji bulanannya untuk kebutuhan rumah tangga, membayar angsuran, membeli buku, serta biaya pulang kampung.

Pemenuhan kesejahteraan hakim bukan hanya sekedar kata “cukup” untuk biaya hidupnya. Jaminan kesejahteraan hakim, berarti menjamin hierarki kebutuhan Maslow terpenuhi pada diri para hakim.

Kesejahteraan hakim yang berhenti pada asumsi “cukup” untuk biaya hidupnya (physiological needs), berarti mengabaikan kebutuhan para hakim akan security needs, social needs, esteem needs, dan self-actualization needs.

Padahal, hakim juga membutuhkan rasa aman serta social needs dalam menjalankan tugas pentingnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Jika physiological needs, security needs, dan social needs seorang hakim telah terpenuhi, dengan kesejahteraan yang dimiliki, seorang hakim akan mengejar esteem needs berupa keinginan untuk berprestasi dan memiliki prestise. 

Terakhir, hakim yang sejahtera akan mengaktualisasikan dirinya dengan profesionalisme, dedikasi, integritas dalam menjalankan tugas mulia sebagai penegak hukum dan keadilan.

Ketika kesejahteraan telah dimiliki oleh para hakim, saat itulah kemuliaan sang pengadil akan diraih. 

Untuk memenuhi lima hierarki kebutuhan para hakim, adalah dengan cara memberikan kebebasan finansial kepada para hakim, sebagaimana visi seorang Presiden Prabowo.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews