Hukum bukan sekadar teks dalam kitab undang-undang. Wujudnya, adalah cermin besar yang memantulkan siapa yang berdiri di hadapannya. Di sana tercermin nilai, norma, luka, dan harapan masyarakat yang membentuknya. Hukum menjadi refleksi kualitas peradaban dan nurani sosial suatu bangsa.
Ketika masyarakat masih dipenuhi dengan ketimpangan dan ketidakadilan, hukum akan memantulkan bayang-bayang yang suram. Namun, bila kejujuran, keadilan, dan kasih sayang jadi denyut kehidupan sosial, hukum menghadirkan pantulan yang bersinar, jernih, dan luhur.
Hukum tidak lahir di ruang kosong. Bentuknya tumbuh dari pergumulan sejarah, konflik kepentingan, serta upaya manusia memahami dan menata kehidupannya. Maka, hukum selalu menyimpan jejak-jejak pergulatan sosial yang melahirkannya, baik dalam bentuk keadilan maupun keterlukaan.
Ketika seorang nenek harus dijatuhi hukuman, karena mengambil kayu bakar untuk keperluan memasak, hukum jadi cermin yang menyakitkan. Hukum menunjukkan bahwa masyarakat masih abai terhadap derita, dan sistem belum sepenuhnya berpihak pada yang lemah. Cermin itu tidak salah, tapi pantulannya mengajak berbenah.
Sebagai cermin, hukum tidak hanya menunjukkan struktur, tapi juga wajah batin dari masyarakat. Apakah masyarakat masih memelihara rasa malu, hormat, dan tanggung jawab? Ataukah hukum hanya menjadi alat formal, yang kehilangan jiwa di tengah birokrasi dan prosedur yang kaku?
Sebagian orang bisa kecewa terhadap hukum, karena merasa sulit mendapatkan keadilan. Namun kekecewaan justru membuktikan, bahwa hukum dilihat sebagai sesuatu yang luhur. Saat hukum menyimpang, tetap dinilai melalui standar moral yang tumbuh di hati manusia.
Refleksi sosial dalam hukum, juga tampak dari bagaimana dipatuhi atau dilanggar.
Masyarakat yang taat hukum, bukan semata takut sanksi, melainkan sadar akan pentingnya keteraturan yang adil. Kepatuhan sejati lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan.
Perubahan hukum, seringkali dimulai dari kesadaran sosial. Saat masyarakat mulai menuntut kesetaraan gender, perlindungan lingkungan, dan keadilan bagi kaum marjinal, hukum dituntut untuk menyesuaikan diri. Wujudnya, tidak lagi sekadar cermin pasif, tapi ikut memantulkan arah perubahan.
Namun, cermin bisa retak dan hukum dipolitisasi, ketika keadilan dibisniskan, dan kebenaran ditukar dengan kekuasaan. Maka yang terpantul, adalah wajah yang tidak lagi utuh. Hukum berubah, dari cermin menjadi topeng, dan masyarakat kehilangan orientasinya.
Keadilan dipandang sebagai wajah Tuhan, yang hadir dalam kehidupan sosial. Maka hukum yang adil, bukan hanya sekadar alat negara, tetapi pantulan nilai ilahiah dalam interaksi manusia. Di situlah hukum jadi iman dan penegakannya ibadah, bukan sekadar prosedur.
Dibutuhkan keberanian untuk bercermin, sebab tidak semua pantulan menyenangkan. Namun, dari kejujuran perubahan bisa dimulai. Hukum harus menjadi alat introspeksi kolektif, termasuk mengoreksi diri sendiri.
Sistem peradilan, adalah ruang refleksi paling konkret. Dalam persidangan, ada upaya manusia untuk memahami kesalahan, memulihkan ketertiban, dan mempertemukan antara hukum dan hati nurani. Di sana, wajah masyarakat diuji, apakah sanggup melihat dirinya sendiri dengan jujur atau tidak.
Cermin hukum, mengajak setiap warga untuk turut serta dalam pembentukan keadilan. Tidak hanya berharap dari penguasa atau penegak hukum, tetapi juga melalui sikap, perilaku, dan pilihan hidup sehari-hari. Masyarakat adil, akan menciptakan hukum yang adil.
Saat hukum mencerminkan kebaikan, masyarakat akan hidup dalam rasa aman dan damai. Namun, bilamana hukum mencerminkan kekacauan batin kolektif, masyarakat akan hidup dalam ketakutan dan keresahan. Semua itu, tergantung pada siapa yang berdiri di depan cermin.
Dengan demikian, hukum sebagai cermin, memberi kesempatan untuk melihat kembali seperti apa hukum itu sebenarnya. Semakin jernih hukum mencerminkan kehidupan, besar peluang masyarakat untuk memperbaiki dirinya. Di sanalah, keadilan tidak hanya menjadi tujuan, tetapi proses menuju kedewasaan sosial dan spiritual.