“Quid leges sine moribus-Apa arti hukum tanpa moralitas?”
Hukum tanpa moralitas, bagaikan seperangkat aturan tanpa jiwa. Susunan kata berbaris menjadi pasal yang tidak memiliki makna. Kalaupun dipaksakan untuk ditaati, maka ketaatan tersebut tidak lebih dari kepatuhan akibat rasa takut yang rentan untuk dilanggar.
Gambaran mengenai betapa banyaknya pelanggaran aturan berlalu lintas yang dilakukan masyarakat menjadi contoh konkret aturan hukum yang tidak dibarengi moralitas. Salah satu iklan lama di televisi menjadi ikonik ketika ada seorang pelanggar aturan berlalu lintas ditanya alasan ia melanggar, dan ia menjawab “kan ga ada yang lihat”.
Oleh sebab itu, untuk menciptakan keadilan, maka hukum harus meliputi tiga unsur nilai yaitu kewajiban, moral, dan aturan. Hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moralitas.
Namun, alih-alih menjadikan pembentukan hukum yang lepas dari dimensi sosial masyarakat sebagai kambing hitam ketidaktaatan terhadap hukum, mengapa tidak menumbuhkan ketaatan terhadap hukum terlebih dahulu untuk kemudian menjadi satu bentuk moralitas di masyarakat?
Falsafah Belom Bahadat dan Eksistensinya pada Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah
Belom bahadat berasal dari bahasa Dayak Ngaju, yaitu belom yang bermakna hidup, dan bahadat yang memiliki arti beradat atau taat norma hukum, tata karma, dan sopan santun.
Menurut Ajahari (2018), belom bahadat bermakna hidup beradat. Yang dimaksud dengan belom bahadat adalah senantiasa memperhatikan nilai-nilai kehidupan baik dari segi adat istiadat, moralitas, sosial, termasuk kepatuhan terhadap hukum yang mengatur tata kehidupan orang Dayak. Belom bahadat juga berarti hidup dengan moral, etika atau kesopanan dengan memegang teguh adat yang menjadi pedoman bagi masyarakat adat Dayak.
Menurut Jefry Tarantang dan BM Kasih (2018), filosofi belom bahadat memiliki arti yang sangat luas dan mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan, baik hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lainnya maupun hubungan manusia dengan alam lingkungan. Filosofi belom bahadat yaitu, hidup berbudi pekerti dan berkeadaban dalam damai, persatuan, persamaan, kerukunan, toleransi, menjunjung tinggi hukum dan kerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama.
Masyarakat Dayak sudah diajari belom bahadat sejak ia kecil. Belom bahadat juga dituntut terhadap orang dewasa tanpa memperhatikan apakah ia kaya atau miskin, apakah ia memiliki status sosial yang tinggi atau sekedar masyarakat biasa. Karena hadat mengatur segala kehidupan dan pikiran, serta segala hubungan antara manusia dengan dunia dan seisinya.
Bagi masyarakat Dayak, belom bahadat adalah pedoman dalam menjalani hidup. Implementasi belom bahadat tercermin dari cara berpikir, bertingkah laku, dan bertutur kata. Sehingga bagi seseorang yang tidak mengindahkan belom bahadat, maka ia disebut ‘dia bahadat’ (orang yang tidak tau adat). Seseorang yang disebut ‘dia bahadat’ merupakan suatu sanksi sosial yang berat di kalangan masyarakat adat Dayak.
Eksistensi belom bahadat awalnya tidak terlepas dari keyakinan masyarakat adat Dayak, bahwa ada aturan hidup yang lahir dari Tuhan (dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kaharingan disebut Ranying Hatala Langit). Masyarakat adat Dayak Kaharingan meyakini, belom bahadat hakikatnya berasal dari Ranying Hatala Langit yang menurunkannya ke dunia untuk diterapkan di dalam kehidupan masyarakat adat Dayak. Belom bahadat kemudian berkembang menjadi seperangkat aturan hukum yang mengatur kehidupan antarmanusia dan alam sekitarnya. (Citranu: 2022).
Dalam perkembangannya, falsafah belom bahadat tidak hanya dimaknai sebagai kepatuhan terhadap aturan ilahi, tetapi juga mencakup kepatuhan terhadap norma dan aturan sosial yang disepakati sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Falsafah ini menjadi fondasi moral masyarakat Dayak dalam menjalani kehidupan yang tertib, harmonis, dan beradab.
Menurut Citranu (2022), ketaatan masyarakat Dayak terhadap hukum tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang mereka, khususnya sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada 1894. Kesepakatan bersejarah ini menjadi tonggak awal penegakan hukum adat Dayak secara kolektif, dan hingga kini terus dijaga serta diwariskan secara turun-temurun. Sejak saat itu, kesadaran hukum telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat adat Dayak.
Ketaatan tersebut tidak semata-mata didorong oleh sanksi, melainkan oleh keyakinan bahwa hukum adat Dayak memiliki fungsi dan tujuan luhur: menjaga ketertiban, keadilan, dan kebaikan bersama. Falsafah belom bahadat berperan penting sebagai dasar moral yang mengikat masyarakat untuk hidup patuh terhadap hukum adat.
Bagi masyarakat Dayak, hubungan antara individu dan hukum adat sangat erat, bahkan membentuk sikap tunduk secara sukarela. Inilah yang menjadi salah satu manifestasi nyata dari nilai-nilai belom bahadat. Hukum adat tidak hanya dipatuhi sebagai aturan, tetapi juga dijalani sebagai bagian dari identitas dan jati diri.
Falsafah belom bahadat memiliki daya ikat yang kuat sebagai prinsip moralitas masyarakat Dayak. Sehingga, internalisasi belom bahadat akan menghasilkan tata kehidupan masyarakat yang bermoral, beradat, dan patuh terhadap hukum.
Internalisasi falsafah belom bahadat terhadap masyarakat adat Dayak tidak hanya ditopang oleh norma sosial kemasyarakatan saja, tetapi juga sudah menjadi agenda Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008. Pasal 10 ayat (2) huruf e Perda Kalimantan Tengah tersebut mendelegasikan kepada Damang Kepala Adat untuk melaksanakan kewajiban untuk mengingatkan dan mendorong masyarakat adat Dayak untuk ikut menjaga, melestarikan, mengembangkan dan membudayakan falsafah hidup Budaya Huma Betang atau belom bahadat.
Penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf e Perda Kalimantan Tengah nomor 16 Tahun 2008 tersebut secara gamblang menyebutkan Budaya Huma Betang atau belom bahadat adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup belom bahadat, maka akan teraktualisasi dalam wujud Belom Penyang Hinje Simpei yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama.
Menurut Jefry Tarantang, ketaatan terhadap aturan hukum merupakan salah satu indikator penerapan ‘belom bahadat’. Ketaatan terhadap aturan hukum tersebut mencakup hukum Negara, hukum adat dan hukum alam. Urutan ketaatan pada hukum yang tercantum pada Penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf e Perda Kalteng tersebut, tidak mencerminkan adanya superioritas antara satu dengan lainnya, melainkan ketiga aturan hukum tersebut (hukum Negara, hukum adat dan hukum alam) menduduki posisi yang sama-sama penting dan saling berintegrasi dalam mewujudkan Belom Penyang Hinje Simpei (hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama).
Diperlukan integrasi agar daya melekat kehidupan yang mengedepankan moralitas dan etika selaras dengan kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum. Tentu tidak mudah. Namun mengambil pola didikan belom bahadat yang sudah ditanamkan kepada orang Dayak sejak usia dini, maka budaya untuk patuh terhadap norma hukum juga dapat ditanamkan kepada masyarakat sejak usia dini.
Kesadaran dalam menerapkan falsafah belom bahadat menjadi pondasi bagi masyarakat adat Dayak dalam menerapkan kesadaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Falsafah belom bahadat harus senantiasa dipertahankan dan diinternalisasikan agar menjadi jati diri dan karakteristik masyarakat adat Dayak secara khusus, dan warga Negara Indonesia secara umum.