Implementasi Sosio-Legal dalam Reformasi Peradilan Indonesia

Paradigma sosio-legal hadir sebagai jembatan antara teks dan konteks, antara norma dan realitas.
Ilustrasi socio-legal.  Foto : Freepik
Ilustrasi socio-legal. Foto : Freepik

Paradigma Sosio-Legal sebagai Arah Reformasi Hukum

Reformasi hukum di Indonesia telah memasuki babak baru. Ia tidak lagi sekadar pembenahan peraturan, tetapi juga pembaruan cara berpikir. 

Paradigma sosio-legal hadir sebagai jembatan antara teks dan konteks, antara norma dan realitas. 

Hukum dipahami bukan hanya sebagai kumpulan aturan, melainkan sebagai praktik sosial yang hidup dalam masyarakat dan berinteraksi dengan nilai serta pengalaman manusia (Irianto, 2009).

Mahkamah Agung melalui Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035 menegaskan arah pembaruan menuju lembaga peradilan yang modern dan berkeadilan. Namun, perubahan struktural ini belum selalu diikuti perubahan kultural. 

Disinilah sosio-legal menjadi penting, yaitu membangun kesadaran bahwa reformasi hukum tidak cukup mengganti sistem, tetapi juga menata kesadaran sosial tempat hukum bekerja (Banakar & Travers, 2005).

Dari Struktur ke Kultur

Lawrence Friedman menegaskan tiga elemen sistem hukum, antara lain struktur, substansi, dan kultur. 

Reformasi di Indonesia terlalu lama berhenti pada dua yang pertama. Padahal, tanpa transformasi nilai dan perilaku aparat, modernisasi hanya akan melahirkan prosedur tanpa jiwa. 

Paradigma sosio-legal menegaskan, hukum yang hidup hanya lahir dari kesadaran sosial pelaku hukumnya.

Hakim dan aparatur pengadilan bukan semata pelaksana teks, tetapi agen moral yang menafsirkan hukum dalam konteks sosial. Karena itu, pembaruan sistem hukum harus melahirkan legal consciousness, kesadaran hukum yang berpihak pada keadilan substantif (Irianto, 2009; Wignjosoebroto, 2002).

Lebih dari itu, hukum hanya memperoleh legitimasi ketika masyarakat mempercayai prosesnya. Disinilah pentingnya “hukum yang berwajah sosial”: keadilan yang dihasilkan dari empati, partisipasi, dan transparansi. 

Hakim sebagai aktor utama memiliki peran ganda, dengan menegakkan norma sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap moralitas hukum. 

Ketika proses peradilan dirasakan adil, bukan hanya diputus adil, maka legitimasi sosial hukum akan tumbuh secara alami.

Tiga Dimensi Implementasi Sosio-Legal

Paradigma sosio-legal bekerja pada tiga lapis reformasi, yakni instrumental, institusional, dan kultural.

Sebagaimana diungkapkan oleh Sally Engle Merry (2005), hukum bukan semata sistem aturan dan lembaga, tetapi proses sosial yang menegosiasikan relasi keadilan dalam kehidupan nyata. 

Karena itu, inovasi hukum seperti e-Court, e-Litigasi, dan SIPP harus dimaknai bukan sekadar digitalisasi, tetapi upaya menciptakan relasi egaliter antara pengadilan dan masyarakat. 

Keberhasilannya diukur bukan dari efisiensi administratif, melainkan dari kemampuan meningkatkan akses keadilan bagi publik.

Pada tataran institusional, paradigma ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. 

Di lingkungan peradilan agama, misalnya, pelaksanaan kewajiban nafkah pascacerai sering kali bergantung pada sinergi antara pengadilan, perusahaan tempat pihak bekerja, pemerintah daerah melalui dinas sosial, serta lembaga terkait lainnya. 

Program seperti sidang keliling dan itsbat nikah terpadu juga menunjukkan, peradilan tidak berdiri di menara gading, melainkan hadir di tengah masyarakat sebagai pelayan keadilan sosial. 

Hal ini menegaskan, efektivitas hukum tidak hanya ditentukan oleh norma yang mengaturnya, tetapi juga oleh kekuatan jejaring sosial dan kelembagaan tempat hukum itu dijalankan (Irianto & Nurchayo, 2006).

Etika Kelembagaan dan Kepemimpinan Moral

Reformasi kelembagaan tanpa pembaruan etika hanya menghasilkan prosedur tanpa makna. Pemimpin lembaga hukum harus menjadi teladan etik, bukan sekadar pengawas administratif. 

Ethical leadership, menjadi syarat bagi kelahiran budaya hukum baru.

Kelelahan reformasi (reform fatigue) kerap muncul ketika perubahan administratif tidak diikuti oleh perubahan moral. 

Sebagaimana dikemukakan Wignjosoebroto (2002), hukum yang baik tidak hanya tertib secara prosedural, tetapi juga hidup dalam kesadaran moral masyarakat. 

Karena itu, sosio-legal menuntut agar reformasi dijalankan dengan kesadaran nilai—sebab hukum yang hidup adalah hukum yang dijalankan dengan hati, dan keadilan yang bermakna adalah keadilan yang berakar pada empati sosial.

Teknologi dan Tantangan Kemanusiaan

Transformasi digital memang mempercepat akses keadilan, tetapi juga menimbulkan dilema etis. Penggunaan kecerdasan buatan dan otomatisasi dalam sistem pengadilan dapat memperlebar jarak antara hukum dan sentuhan kemanusiaan. 

Sebagaimana diingatkan Banakar dan Travers (2005), rasionalisasi teknologi tanpa orientasi moral berisiko melahirkan legalitas yang terdehumanisasi. 

Karena itu, paradigma sosio-legal menegaskan, teknologi hanyalah sarana, bukan tujuan; hukum tetap harus berpihak pada manusia yang dilayaninya (Merry, 2005; Irianto, 2009)

Digitalisasi hukum harus tetap berakar pada nilai kemanusiaan. Dalam konteks reformasi peradilan, modernisasi sistem hukum seperti e-Court hendaknya tidak berhenti pada efisiensi administratif semata, tetapi juga memastikan kemudahan akses dan keadilan substantif bagi masyarakat. 

Sebagaimana ditegaskan Irianto (2009), hukum yang baik adalah hukum yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat. 

Prinsip ini relevan dalam konteks transformasi digital, di mana teknologi seharusnya memperpendek jarak antara hukum dan manusia, bukan sebaliknya.

Banakar dan Travers (2005) menekankan, rasionalisasi sistem hukum tanpa orientasi moral dapat menghasilkan legalitas yang terdehumanisasi—hukum yang kehilangan wajah kemanusiaannya. 

Dalam konteks ini, pendekatan sosio-legal penting untuk memastikan agar digitalisasi peradilan tetap berpijak pada nilai keadilan, etika, dan hak asasi manusia. 

Keadilan di era digital bukan hanya persoalan efisiensi prosedural, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap data, privasi, dan martabat manusia.

Pluralisme Hukum dan Kepekaan Sosial

Indonesia hidup dalam pluralisme hukum, yaitu negara, agama, dan adat. 

Pendekatan sosio-legal membaca pluralisme ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kekayaan sosial. Dalam praktik peradilan agama, hukum Islam berdialog dengan adat dan nilai lokal masyarakat.

Hukum bukanlah sistem yang berdiri di luar masyarakat, melainkan praktik sosial yang tertanam dalam budaya dan terus ditafsirkan ulang melalui interaksi sosial Banakar & Travers (2005). 

Ketika dialog ini berlangsung dalam kesadaran sosial, hukum menjadi sumber harmoni, bukan konflik. 

Pendekatan sosio-legal memberi ruang bagi sensitivitas budaya dan penghormatan terhadap kearifan lokal, sehingga hukum berakar kuat pada nilai-nilai masyarakat.

Hakim sebagai Moral Restorer

Paul Scholten menyebut, hukum tanpa manusia sebagai “kerangka tanpa daging.” Hakimlah yang memberi kehidupan pada teks melalui nurani dan kebijaksanaan. 

Sosio-legal menghidupkan kembali peran hakim sebagai moral restorer—pemulih keseimbangan sosial di tengah konflik hukum.

Sebagaimana diingatkan oleh Scholten (2005), hukum yang hanya berpegang pada teks ibarat kerangka tanpa daging, a bloodless phantom, karena kehilangan ruh kemanusiaannya. 

Hukum baru menjadi hidup ketika diterapkan dengan kebijaksanaan dan nurani hakim.

Dalam pandangan Wignjosoebroto (2002), hukum tidak pernah bebas nilai. Ia lahir dan hidup dalam konteks sosial masyarakatnya. 

Karena itu, putusan yang benar secara formil belum tentu adil secara moral. Pelatihan hakim seharusnya melampaui dogmatika menuju social jurisprudence—pendekatan hukum yang peka terhadap konteks sosial dan kemanusiaan.

Keadilan tidak pernah lahir dari teks semata. Ia tumbuh dari keberanian manusia untuk menegakkan nurani dalam sistem yang sering kali kaku. 

Hakim sosio-legal bukan hanya pelaksana norma, tetapi penjaga moral publik. Ia menimbang hukum bukan dengan mata yang dingin, tetapi dengan hati yang peka terhadap penderitaan manusia. Inilah hakikat moral restoration dalam sistem hukum yang hidup.

Reformasi dan Kesadaran Hukum Progresif

Satjipto Rahardjo (2009) menegaskan, hukum tidak boleh berhenti pada teks, karena teks hanyalah alat, maka hukum hidup untuk manusia dan kemanusiaan. Hukum progresif menuntut keberanian moral untuk menegakkan keadilan substantif di atas kepastian formal. 

Semangat ini, sejalan dengan pendekatan sosio-legal yang dikemukakan Irianto (2009), hukum harus dipahami sebagai proses sosial yang dinamis dan terbuka terhadap nilai kemaslahatan. 

Dengan demikian, reformasi hukum bukan sekadar pembaruan sistem, melainkan pembaruan kesadaran sosial yang menempatkan nurani keadilan sebagai inti dari sistem hukum.

Budaya hukum yang sehat tidak tumbuh dari regulasi, tetapi dari keteladanan. Ketika aparatur peradilan bekerja dengan kejujuran dan empati, rule of law bertransformasi menjadi rule of justice—aturan yang hidup karena dijalankan dengan hati nurani. 

Dalam perspektif sosio-legal, reformasi hukum tidak hanya menyangkut struktur, tetapi juga karakter. 

Neuman (1997) menegaskan, ilmu sosial kritis tidak sekadar memahami masyarakat, melainkan berupaya mengubahnya menuju keadilan dan kebebasan manusia. 

Senada dengan itu, Sarantakos (1997) menyebut, penelitian kritis bertujuan mengungkap struktur kekuasaan dan ketimpangan sosial yang membentuk perilaku hukum. 

Karena itu, integritas, solidaritas kelembagaan, dan tanggung jawab moral menjadi fondasi lahirnya budaya hukum baru yang berkeadilan.

Reformasi hukum yang berorientasi pada manusia menuntut peradilan yang reflektif, yang belajar dari pengalaman sosialnya sendiri. Setiap putusan seharusnya menjadi cermin bagi nurani bangsa. Semakin reflektif peradilan, semakin dekat ia dengan cita keadilan substantif. 

Wignjosoebroto (2002) mengingatkan, hukum tidak pernah statis, tetapi ia hidup sejauh manusia yang menegakkannya berani menatap dirinya sendiri. 

Karena itu, paradigma sosio-legal bukan sekadar wacana akademik, melainkan kebutuhan praksis untuk menegakkan keadilan yang kontekstual—keadilan yang berakar pada empati, integritas, dan tanggung jawab kemanusiaan.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews