Kajian Sosio-Legal dan Relevansinya bagi Praktik Peradilan

Hukum bukan hanya apa yang tertulis dalam pasal, tetapi juga bagaimana pasal itu dijalankan, diresistensi, dan dinegosiasikan oleh manusia yang hidup di bawahnya.
Ilustrasi sosiologi hukum. Foto  Freepik
Ilustrasi sosiologi hukum. Foto Freepik

Hukum sebagai Realitas yang Bergerak

Hukum tidak pernah hadir dalam ruang yang steril. Ia hidup, tumbuh, dan bergerak di tengah denyut masyarakat. 

Di ruang peradilan, kantor pemerintahan, bahkan jalanan tempat warga memperjuangkan haknya, hukum tampil dalam beragam wajah: teks normatif, praktik administratif, sekaligus alat perjuangan sosial. 

Oleh karenanya, memahami hukum hanya melalui teks undang-undang berarti kehilangan separuh kenyataannya. 

Hukum bukan hanya apa yang tertulis dalam pasal, tetapi juga bagaimana pasal itu dijalankan, diresistensi, dan dinegosiasikan oleh manusia yang hidup di bawahnya (Irianto, 2009; Wignjosoebroto, 2002).

Kajian sosio-legal lahir dari kesadaran tersebut. Ia berangkat dari pertanyaan yang sederhana tetapi mendasar: bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan? 

Jawaban atas pertanyaan ini, tidak dapat ditemukan hanya di perpustakaan hukum, tetapi juga di ruang sidang, lembaga eksekusi, kantor pelayanan publik, dan bahkan di komunitas masyarakat. 

Kajian sosio-legal menawarkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan analisis hukum dengan metode ilmu sosial, sehingga hukum tidak lagi dipandang sebagai bangunan normatif yang kaku, melainkan sebagai proses sosial yang terus dinegosiasikan (Irianto, 2009).

Menjembatani Teks Hukum dan Kenyataan Sosial

Hukum memiliki dua wajah yang tak terpisahkan: satu normatif, satu empiris. 

Di satu sisi, ia hadir sebagai teks yang memberikan kepastian; di sisi lain, ia hidup sebagai praktik yang kadang jauh dari idealnya. Dalam praktik peradilan, jarak antara hukum yang diatur dan hukum yang dijalankan sering kali begitu lebar. 

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, misalnya, tidak selalu berujung pada pelaksanaan yang efektif. Banyak faktor sosial, ekonomi, dan psikologis yang memengaruhi perjalanan hukum dari meja hakim ke kehidupan warga.

Kajian sosio-legal berusaha menjembatani dua dunia itu. Ia tidak menolak norma, tetapi menguji bagaimana norma tersebut bekerja dalam realitas sosial. 

Dalam proses ini, hukum tidak lagi dianggap berdiri di atas masyarakat, melainkan bagian dari masyarakat itu sendiri. 

Dengan cara pandang ini, setiap keputusan hakim, kebijakan pemerintah, atau regulasi baru dapat dibaca tidak hanya dari logika formalnya, tetapi juga dari dampaknya terhadap kehidupan nyata (Banakar & Travers, 2005).

Pendekatan semacam ini penting bagi seluruh praktik peradilan, karena hukum tidak hanya menegakkan kepastian, tetapi juga menuntut kepekaan. 

Hakim yang memahami konteks sosial para pihak, jaksa yang menyelami akar persoalan pidana, dan aparat pengadilan yang peka terhadap kesulitan ekonomi pencari keadilan, semuanya menjalankan hukum secara lebih substansial. 

Dengan demikian, kajian sosio-legal tidak sekadar memperkaya teori, tetapi menjadi fondasi etika dan epistemologi dalam penegakan hukum yang berkeadilan.

Dari Kepastian Menuju Keadilan yang Hidup (Living Justice)

Positivisme hukum yang menekankan kepastian dan konsistensi logis memang memiliki peran penting dalam membangun sistem hukum modern. Namun, ketika diterapkan tanpa sensitivitas sosial, positivisme sering kehilangan ruh keadilan. 

Dalam ruang peradilan, putusan yang sempurna secara formil belum tentu adil secara moral. Banyak perkara yang secara hukum “selesai”, tetapi secara sosial meninggalkan luka karena hukum berhenti pada teks dan gagal menyentuh realitas manusia (Wignjosoebroto, 2002).

Kajian sosio-legal menawarkan jalan tengah antara kepastian dan keadilan. Ia mengakui pentingnya aturan, tetapi juga memahami bahwa aturan selalu berinteraksi dengan nilai dan konteks. 

Dalam perkara perdata, misalnya, efektivitas putusan sering kali bergantung pada faktor sosial seperti struktur keluarga, status ekonomi, atau budaya lokal.
 
Dalam perkara pidana, pemidanaan yang terlalu formalistis dapat mengabaikan kemungkinan pemulihan bagi korban maupun pelaku. Pendekatan sosio-legal melihat aspek-aspek ini bukan sebagai “urusan di luar hukum”, melainkan sebagai bagian dari ekologi hukum itu sendiri (Oto, 2007).

Dengan pandangan seperti ini, peradilan tidak lagi menjadi menara gading yang memutus tanpa empati, melainkan lembaga moral yang memahami kehidupan masyarakat. 

Hakim bukan sekadar “mulut undang-undang”, tetapi penjaga nilai kemanusiaan yang menimbang keadilan tidak hanya dari bunyi teks, tetapi dari makna sosialnya.

Membaca Keadilan dengan Kacamata Sosial

Kajian sosio-legal tidak hanya berbicara tentang metode, tetapi juga cara berpikir. Secara teoritis, ia berakar pada paradigma interpretif dan kritikal. 

Paradigma interpretif menekankan pentingnya memahami makna di balik teks dan tindakan hukum. Dalam setiap pasal atau putusan, tersimpan pandangan dunia tertentu: bagaimana pembentuk undang-undang melihat masyarakat, bagaimana hakim memahami keadilan, dan bagaimana warga menafsirkan hak-haknya.

Sementara itu, paradigma kritikal mengingatkan bahwa hukum tidak netral. Ia sering kali menjadi arena di mana kekuasaan bekerja secara halus. 

Bahasa hukum yang tampak objektif dapat menyembunyikan ketimpangan sosial, bias gender, atau subordinasi ekonomi. 

Oleh karena itu, kajian sosio-legal menggunakan analisis kritis untuk membongkar relasi kuasa yang tersembunyi dalam praktik hukum. 

Melalui pendekatan ini, hukum tidak lagi dipandang sebagai sistem yang “selalu benar”, melainkan sebagai institusi yang perlu terus dievaluasi agar tetap berpihak pada keadilan substantif (Sarantakos, 1997; Neuman, 1997).

Dalam ruang peradilan, kesadaran kritis ini sangat penting. Hakim yang peka terhadap bias struktural dapat menghindari formalisme yang menindas. 

Jaksa yang memahami kondisi sosial terdakwa dapat menuntut dengan rasa keadilan, bukan sekadar berdasarkan pasal. 

Aparat pengadilan yang sadar akan ketimpangan sosial, dapat memberikan pelayanan yang lebih berkeadilan bagi pencari keadilan dari kelompok miskin dan marjinal. 

Dengan demikian, paradigma sosio-legal membantu mengembalikan hukum pada tujuan asalnya, yaitu menghadirkan keadilan bagi manusia.

Dinamika Sosial dalam Ruang Peradilan

Dalam praktiknya, lembaga peradilan di Indonesia menunjukkan bahwa hukum selalu berhadapan dengan konteks sosial yang kompleks. 

Pada lingkungan Peradilan Umum, persoalan eksekusi putusan perdata kerap tersendat akibat hambatan administratif, keterbatasan sumber daya, serta resistensi sosial dari pihak yang kalah. 

Sementara di Peradilan Agama, pelaksanaan kewajiban nafkah pascacerai sering kali bergantung pada kerja sama lintas sektor antara pengadilan, perusahaan, dan instansi pemerintah daerah, sehingga keberhasilan hukum tidak hanya ditentukan oleh kekuatan normatif. Tetapi, juga dukungan sosial-ekonomi di sekitarnya. 

Adapun di Peradilan Tata Usaha Negara, berbagai sengketa kebijakan publik menuntut sensitivitas terhadap kepentingan masyarakat luas dan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan administratif.

Keseluruhan dinamika tersebut memperlihatkan bahwa hukum yang efektif hanya dapat berjalan apabila memahami jaringan sosial, struktur kelembagaan, dan nilai-nilai kemanusiaan tempat ia beroperasi (Irianto & Nurchayo, 2006).

Kajian sosio-legal membaca seluruh dinamika ini sebagai bukti, bahwa peradilan tidak bekerja dalam ruang tertutup. Keputusan hukum selalu bersinggungan dengan birokrasi, ekonomi, dan budaya. 

Oleh karena itu, memperbaiki hukum tidak cukup hanya dengan menulis undang-undang baru, melainkan juga dengan memperkuat ekosistem sosial yang menopangnya. 

Misalnya, penelitian sosio-legal dapat menjelaskan mengapa putusan tertentu sulit dieksekusi—bukan karena kelemahan hukumnya, tetapi karena struktur sosial yang belum mendukung kepatuhan hukum.

Pendekatan ini juga membuka jalan bagi inovasi kelembagaan. Program mediasi penal, peradilan restoratif, dan kolaborasi antar instansi merupakan contoh nyata penerapan semangat sosio-legal. 

Hukum menjadi sarana pemulihan relasi sosial, bukan semata alat penghukuman. Disinilah, peradilan memainkan peran moral, menjembatani kepastian dengan keadilan, prosedur dengan kemanusiaan. 

Dengan memahami dinamika tersebut, kebutuhan akan pendekatan sosio-legal menjadi semakin nyata, bukan hanya sebagai pendekatan ilmiah, tetapi juga sebagai strategi reformasi kelembagaan peradilan.

Pendekatan Sosio-Legal sebagai Jalan Reformasi Peradilan

Salah satu kekuatan utama kajian sosio-legal terletak pada pendekatan metodologinya yang menyatukan analisis tekstual dan penelitian lapangan. 

Studi hukum doktrinal dibutuhkan untuk memahami isi, struktur, dan rasionalitas peraturan. Namun, studi empiris diperlukan untuk mengetahui bagaimana hukum bekerja dalam kenyataan. 

Ketika kedua pendekatan ini berpadu, maka lahirlah gambaran hukum yang utuh, baik dari sisi normatif maupun fungsional.

Dalam kerangka ini, seorang peneliti tidak hanya membaca undang-undang atau putusan hakim, tetapi juga mengamati bagaimana aktor-aktor hukum bertindak di lapangan. 

Observasi persidangan, wawancara dengan hakim dan pihak berperkara, hingga penelusuran data administratif menjadi bagian integral dari proses ilmiah. 

Dengan cara ini, hukum tidak hanya dianalisis, tetapi juga “dihidupkan kembali” melalui data empiris yang menggambarkan pengalaman manusia di dalamnya (Merry, 2005).

Metode sosio-legal ini sangat relevan bagi reformasi sistem peradilan di Indonesia. Dalam konteks pembaruan birokrasi peradilan, misalnya, penelitian sosio-legal dapat menelusuri sejauh mana inovasi pelayanan publik seperti e-court, mediasi daring, atau sistem manajemen perkara elektronik benar-benar meningkatkan akses keadilan. 

Ia tidak berhenti pada angka statistik, tetapi menilai bagaimana inovasi itu dihayati oleh pengguna layanan: apakah membuat proses lebih transparan, cepat, dan manusiawi. 

Dengan demikian, sosio-legal menegaskan bahwa hukum yang baik bukan hanya tertulis dengan rapi, tetapi juga dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Keadilan yang Membumi (Refleksi Etis Kajian Sosio-Legal)

Kajian sosio-legal mengingatkan kita, hukum tidak hanya hidup di ruang sidang, tetapi juga di hati masyarakat. 

Ia tidak hanya berbicara tentang kepastian, tetapi juga tentang empati. Dalam konteks peradilan, pendekatan ini menegaskan bahwa keadilan tidak lahir dari kekuasaan yang memaksa, melainkan dari kemampuan memahami manusia yang diadili. 

Hukum yang baik bukan sekadar menertibkan perilaku, tetapi juga memulihkan martabat.

Seperti ditegaskan Scholten (2005), hukum yang hanya dibaca dari teks adalah “bloodless phantom” atau “kerangka tanpa daging”. Ia baru hidup ketika menyentuh pengalaman manusia.
 
Kajian sosio-legal membantu para penegak hukum, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk melihat hukum secara utuh—bukan hanya sebagai instrumen kekuasaan, tetapi sebagai cermin nilai-nilai masyarakat yang dinamis. 

Dalam kerangka inilah, keadilan menjadi sesuatu yang membumi, hadir di ruang sidang, ruang publik, dan dalam kehidupan sosial yang nyata.

Ketika sistem peradilan terus berbenah menuju transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan publik yang humanis, semangat sosio-legal memberi arah moral dan intelektualnya. 

Ia mengingatkan, keadilan tidak lahir dari teks undang-undang semata, melainkan dari keberanian menafsirkan hukum secara hidup dan berperasaan. 

Hukum yang bekerja adalah hukum yang berpihak pada manusia—dan di situlah esensi sejati dari keadilan itu sendiri.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews