Intervensi dalam Mediasi Gugatan Perdata

Dalam bermediasi, Mediator berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.
Ilustrasi mediasi hukum. Foto: istockphoto.com
Ilustrasi mediasi hukum. Foto: istockphoto.com

Mekanisme mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memotong lamanya proses hukum dan birokrasi, sedari awal gugatan didaftarkan sampai dengan eksekusi. 

Dalam bermediasi, Mediator berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, namun dalam praktik Mediator menemukan beberapa kebutuhan dan tantangan dari Para Pihak dalam proses mediasi untuk menyelesaikan perkara mereka dengan tuntas. 

Salah satunya pembatasan pasal 27 ayat (2) huruf Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, yakni saat membantu merumuskan kesepakatan perdamaian, Mediator wajib memastikan kesepakatan perdamaian tidak memuat ketentuan yang merugikan pihak ketiga. 

Tulisan ini akan membahas Intervensi, saat mediasi gugatan perdata dilakukan 
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi, merupakan langkah menyelesaikan sengketa dengan cara berunding agar mendapatkan mufakat dari para berperkara dengan arahan Mediator. 

Sedangkan, pengertian mediasi menurut Black Law Dictionary adalah suatu proses penyelesaian sengketa dengan adanya pihak penengah, di mana Mediator bersifat tidak berpihak, serta membantu pihak yang berselisih agar muncul kesepakatan.

Intervensi dalam gugatan perdata merupakan salah satu instrumen untuk mengikutsertakan pihak terkait dalam suatu gugatan namun, belum termasuk dalam surat gugatan 

Sedangkan intervensi menurut Pasal 279 Reglement op de Rechtsvordering (RV), yakni “Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain, dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan.” Menurut Reglement Rechtsvordering (RV), terdapat dua macam bentuk intervensi, yaitu:

1.     Intervensi yang merupakan inisiatif sendiri dari pihak ketiga dalam pemeriksaan perkara perdata

  •     Voeging, yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata, untuk membela salah satu pihak penggugat atau tergugat (Pasal 279 Reglement Rechtvordering (RV)).
  •    Tussenkomst,yaitu ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri dalam pemeriksaan sengketa perdata, akan tetapi tidak memihak salah satu pihak baik penggugat atau tergugat tetapi demi membela kepentingannya sendiri (Pasal 282 Reglement Rechtvordering (RV)). Dengan demikian intervensi disini berhadapan dengan penggugat dan tergugat asal sekaligus.

2.     Intervensi yang terjadi karena adanya pihak ketiga yang ditarik masuk oleh salah satu pihak yang berperkara yaitu Vrijwaring. Vrijwaring atau penjaminan, adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam pemeriksaan sengketa perdata, karena ditarik oleh salah satu pihak untuk ikut menanggungnya. Vrijwaring diatur dalam Pasal 70 sampai Pasal 76 Reglement Rechtvordering (RV).

Dasar Hukum intervensi dalam perdamaian/mediasi

Mediator dalam menjalankan tugasnya sesungguhnya telah dibekali beberapa keleluasaan dalam ruang lingkup perundingan. 

Ketentuan Pasal 25 Ayat (1) Perma Nomor 1 tahun 2016 tentang Mediasi, mengatur materi perundingan dalam mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum gugatan. 

Sedangkan Ayat 2 Pasal tersebut, menjelaskan dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan di luar sebagaimana diuraikan pada ayat (1), penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan.

Mekanisme intervensi dalam perdamaian/mediasi.

Berdasarkan Pasal 25 tersebut, sesungguhnya Mediator dapat memberi arahan kepada pihak untuk merumuskan kesepakatan perdamaian dan melakukan perubahan gugatan untuk menyesuaikan pembahasan perundingan yang tidak masuk ke dalam gugatan.

Mekanismenya, penggugat mengubah gugatan dengan memasukan pasal-pasal  kesepakatan perdamaian dalam gugatan. 

Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk Penggugat memasukan pihak ketiga ke dalam gugatan yang akan didamaikan dan dikuatkan pada akta perdamaian, sebagaimana kita ketahui kekuatan akta perdamaian memiliki kekuatan eksekutorial, sama halnya dengan putusan Pengadilan. Mekanisme tersebut, dimungkinankan berdasarkan Pasal 25 Ayat (1) Perma Nomor 1 tahun 2016 tentang Mediasi. 

Namun harus dilaksanakan oleh Mediator dengan hati-hati dan akan lebih mudah apabila pihak ketiga yang masuk dalam gugatan tersebut terlibat aktif dalam mediasi, serta suka rela berdamai sebagaimana dituangkan dalam ketentuan kesepakatan perdamaian. 

Kesimpulan dan Saran

Dengan demikian Mediator dalam rangka menjalankan tugasnya mendamaikan Para Pihak, sekaligus mampu mengarahkan Para Pihak yang bersengketa memenuhi Pasal 27 Ayat (2) huruf Perma Nomor 1 tahun 2016, yakni membantu merumuskan kesepakatan perdamaian. Adapun kesepakatan perdamaian, wajib tidak memuat ketentuan yang merugikan pihak ketiga.

Praktik mediasi demikian, sesungguhnya memberikan implikasi positif kepada sistem bermediasi Para Pihak, serta tidak perlu mencabut perkara terlebih dahulu dan kemudian mendaftarkannya kembali, serta mengulang perkara sedari awal, sehingga terhindarlah proses perkara ke dalam adagium justice delayedi justice denied.

Opini Penulis ini bisa jadi akan menimbulkan kontra opini, hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan, namun berkaca pada asas Aequum et bonum est lex legume, di mana saat ada pertentangan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka yang didahulukan adalah keadilan. Mediator dapat mengambil sikap pada posisi tersebut.

Sumber:

Reglement Rechtvordering (RV);
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi;
Yahya Harahap, S.H., 2021 Hukum Acara Perdata;
Zainal Arifin Mochhtar, Eddy O.S. Hiariej, 2021 Dasar-Dasar Ilmu Hukum;

Penulis: Muhamad Ridwan
Editor: Tim MariNews