Jejak Luqmanul Hakim: Role Model Integritas Spiritual bagi Penegak Keadilan

Inti pesannya sederhana, di tengah huru-hara dunia yang penuh tantangan dan tekanan, kita berusaha menjaga niat dan clear-nya hati kita.
Ilustrasi dibuat oleh AI.
Ilustrasi dibuat oleh AI.

Sosok Luqmanul Hakim, namanya diabadikan Allah dalam Al-Qur'an (Surah Luqman), bukan karena dia raja atau kaya raya, tetapi karena ia diberi anugerah spesial oleh Allah berupa ḥikmah.

Hikmah itu semacam clear mind (pikiran dan hati yang jernih) sampai dapat melihat kebenaran hakiki. Ia sangat taat beribadah. Karena ketaatannya Luqmanul Hakim selalu hati-hati menunjukan kepada kita semua, jika kemuliaan sejati itu ada di kejujuran hati dan integritas, bukan di jabatan yang mentereng atau harta banyak. 

Inti pesannya sederhana, di tengah huru-hara dunia yang penuh tantangan dan tekanan, kita berusaha menjaga niat dan clear-nya hati kita.

Integritas yang Dimulai dari Sujud (QS. Luqman ayat 17)

Ada satu nasihat Luqman yang selalu terasa hangat setiap kali dibaca: “Dirikanlah salat…” Kalimat itu sederhana, namun menyimpan pesan yang dalam. 

Salat adalah saat ketika seseorang menepi sejenak dari riuh dunia, menyusun ulang ketenangan, dan mengingat, hidup ini penuh amanah. 

Bagi aparatur peradilan, momen sujud adalah tempat niat dalam hati diluruskan sebelum meluruskan perkara. 

Urutannya, yaitu hati dibersihkan terlebih dahulu, barulah tugas-tugas besar dijalankan. 

Sebab seseorang tidak mungkin mengajak kebaikan bila dadanya masih kusut oleh amarah dan kepentingan. 

Tidak mungkin pula mencegah keburukan bila dirinya belum tenang. 

Nasihat ini seperti mengatakan, integritas bukanlah topeng, tetapi karakter yang tumbuh dari hati yang damai. 

Bagi aparatur peradilan, ayat ini menjadi pengingat kekuatan moral yang dibutuhkan di meja pelayanan maupun di ruang sidang bersumber dari kemampuan menjaga hati tetap jernih, apa pun tekanan yang datang.

Integritas dalam Memilih Kata (QS. Luqman:19)

Kadang, amanah terbesar bukanlah saat kita mengetuk palu putusan, tetapi ketika kita memilih kata untuk diucapkan. 

Di titik inilah QS. Luqman ayat 19 mengajarkan pelajaran yang begitu halus, namun menghunjam. 

Ayat ini bukan sekadar nasihat etika berbicara. Bukan pula sekadar anjuran untuk berbicara pelan atau sopan. 

Ayat ini adalah cermin integritas batin pesan, cara kita berkata adalah pantulan dari kedalaman jiwa kita.

Dalam tradisi peradilan, kata-kata adalah “senjata kebatinan”. Ia bisa menenangkan hati pihak berperkara, tetapi juga bisa melukai martabat manusia jika diucapkan tanpa hikmah. 

Seorang hakim atau aparatur peradilan memutus, bukan hanya dengan hukum, tetapi juga dengan adab kata-kata. 

Luqmanul Hakim, seorang hamba saleh yang diberi hikmah oleh Allah, tidak memulai pendidikannya dengan hukum, bukan pula dengan perintah. 

Ia memulai dengan kelembutan suara dan kebijaksanaan memilih kata. Karena Luqman mengetahui kata yang baik dapat menjadi doa, kata yang bijak dapat menjadi penuntun, dan kata yang lembut dapat menjadi penolong jiwa yang sedang retak.

Di kantor, di ruang PTSP, ruang pelayanan, ruang sidang, di tengah tekanan pekerjaan, seringkali kita lupa, kalimat yang ringan bisa menjadi ladang pahala, dan kalimat yang kasar bisa menjadi duri yang menancap lama dalam ingatan orang lain. 

(QS. Luqman:19) mengingatkan, integritas bukan hanya perkara jujur dalam dokumen, bukan hanya adil dalam putusan tetapi juga anggun dalam bertutur kata.

Dalam dunia peradilan yang terkadang keras dan penuh polemik, ayat ini seolah menjadi oase (tempat yang menyejukkan,) Lembutkan suara, jaga kata, karena integritas dimulai dari lisan.

Integritas dalam Menjaga Langkah (QS. Luqman:19)
Masih dalam ayat yang sama, Allah memberi peringatan melalui kisah Luqman: “Dan sederhanakanlah langkahmu…”.

Kalimat ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya sangat dalam. 

Langkah hidup manusia sering kali bising. Terlalu cepat, terlalu tergesa, terlalu ingin terlihat. 

Integritas dalam menjaga langkah berarti menyadari, hidup bukan lomba lari. Ia adalah perjalanan ibadah dalam mencari keridhaan Allah Tuhan semesta alam. 

Bagi aparatur peradilan, langkah yang terjaga adalah sikap profesional yang tidak tergoda sorotan, tidak tergelincir oleh tekanan, dan tidak terpancing oleh gejolak publik. 

Melangkah sederhana bukan berarti mundur, justru dialah tanda kedewasaan. Ia berjalan dalam diam, tetapi arah langkahnya jelas: menuju ridha Allah, menuju keadilan yang bersih, menuju amanah yang dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. 

Di tengah hiruk-pikuk viralitas dan dinamika birokrasi, pelajaran Luqman memberi ruang hening

Cermin Bening untuk Aparatur Peradilan (QS. Luqman 12)

Mari kita resapi lagi nasihat-nasihat Luqman kepada putranya. 

Begitu kita baca, rasanya langsung menyentuh sanubari, seolah-olah kita sedang melihat pantulan jiwa yang sangat bening jiwa yang hanya fokus memandu manusia menuju satu arah jalan yang lurus. 

Luqman memang bukan seorang Nabi, tapi, kebijaksanaannya diabadikan langsung oleh Yang Maha Kuasa dalam kitab suci. 

Itu adalah pelajaran yang melintasi semua zaman. Di sinilah letak relevansi emasnya buat kita, para aparatur peradilan. 

Alasannya, karena integritas itu sejatinya bukan produk dari tingginya jabatan. Integritas itu lahir dari hati yang jernih, dari langkah hidup yang kita jaga kelurusannya, dan dari setiap tutur kata yang kita saring.

Di tengah hiruk-pikuk kantor yang padat, riuhnya persidangan, dan derasnya ‘angin’ tekanan publik, sosok Luqman terasa hadir, berdiri tegak sebagai pengingat. 

Dia berbisik lembut, tapi tegas: Tak ada keadilan yang hakiki tanpa ketauhidan, keimanan, dan integritas yang murni, dan tak ada ketauhidan tanpa kelurusan hati. 

Dia menjadi cermin sejati bagi kita yang sehari-hari bertugas menegakkan hukum. Dia mengatakan, tugas mulia ini bukan hanya sekadar menjalankan undang undang atau aturan, tapi adalah memikul amanah langit yang pertanggungjawabannya langsung kepada Allah.

Penutup

Sebagai penutup, tulisan ini mengingatkan kita, role model dari seorang Luqmanul Hakim bukan hanya teori yang terlau rumit, tapi panduan praktis buat aktivitas kita sehari hari (daily life). 

Di tengah tingginya volume pekerjaan, pembaharuan regulasi, dan pressure buat perfect, sebaiknya kita kembali pada kompas internal kita yakni kejernihan hati dan fikiran. 

Ingat, setiap Langkah dan perbuatan sekecil apa pun, itu ada pertanggungjawabannya ke diri sendiri dan ke lingkungan kerja kita, karena itu jika kita ingin sukses dan selamat kita harus berpegang teguh pada nilai nilai Integritas dan moral kita sebagai kompas utama kita.

Sumber bacaan

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS. Luqman 12, 17, dan 19. Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews