Keadilan untuk Perempuan: Harapan di Balik UU TPKS dan Peran Hakim

Peran hakim dalam menafsirkan dan menerapkan UU TPKS menjadi sangat penting. Sensitivitas terhadap isu gender menjadi hal yang krusial. Hakim dituntut untuk mampu memahami konteks sosial, psikologis, dan kultural dari kasus-kasus kekerasan seksual yang ditanganinya
Ilustrasi perlindungan perempuan. Foto freepik.com
Ilustrasi perlindungan perempuan. Foto freepik.com

Isu kekerasan seksual terhadap perempuan bukan lagi sekadar persoalan moral atau sosial, melainkan telah menjadi agenda hukum nasional. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022, menjadi angin segar bagi korban yang selama ini kesulitan mendapat perlindungan hukum yang memadai. UU ini diharapkan tidak hanya menjadi payung hukum, tetapi juga simbol komitmen negara dalam memberikan keadilan bagi perempuan.

Namun, hukum tidak bisa bekerja sendiri. Peran hakim dalam menafsirkan dan menerapkan UU TPKS menjadi sangat penting. Sensitivitas terhadap isu gender menjadi hal yang krusial. Hakim dituntut untuk mampu memahami konteks sosial, psikologis, dan kultural dari kasus-kasus kekerasan seksual yang ditanganinya. Dalam proses pemeriksaan perkara, misalnya, diperlukan kehati-hatian agar tidak terjadi reviktimisasi terhadap korban.

Dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung (MA) memiliki peran strategis. Selain sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA juga memiliki kewenangan dalam pembinaan teknis yudisial terhadap para hakim. Melalui pelatihan, pedoman, dan putusan yang menjadi yurisprudensi, MA dapat mendorong terwujudnya sistem peradilan yang responsif terhadap korban, khususnya perempuan.

Penting juga bagi masyarakat untuk memahami bahwa tidak semua kasus kekerasan seksual mudah dibuktikan. Oleh karena itu, hakim harus menggunakan hati nurani dan integritas tinggi dalam menggali fakta. Ini menjadi tantangan besar, mengingat banyak korban merasa takut, malu, atau tidak tahu bagaimana melaporkan kejadian yang dialaminya.

Ke depan, harapan terhadap para hakim bukan hanya sekadar menegakkan hukum secara tekstual, tetapi juga substansial. Memahami semangat UU TPKS dan melihat korban sebagai manusia yang harus dipulihkan martabatnya, adalah wujud keadilan yang sesungguhnya. Dengan dukungan MA yang kuat dan sinergi antar lembaga, keadilan untuk perempuan bukan lagi impian, melainkan kenyataan.

 

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews