Kesunyian di tengah Bising Algoritma: Hakim Generasi Z, Media Sosial, dan Kecerdasan Buatan

Ada satu Profesi yang tetap memilih berjalan pelan, menyimak lebih banyak daripada berbicara. Hakim.
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Di dunia yang hampir semuanya diatur oleh algoritma, setiap klik bisa menjadi suara, setiap unggahan bisa menjadi penilaian dan setiap peristiwa bisa viral dalam hitungan detik. 

Ada satu Profesi yang tetap memilih berjalan pelan, menyimak lebih banyak daripada berbicara. Hakim. Bagi generasi baru Hakim Gen Z, kesunyian bukan sekadar kewajiban etika, melainkan tantangan eksistensial. 

Tidak banyak profesi yang menuntut keseimbangan antara nalar, nurani, dan kesunyian, seperti profesi Hakim. Dalam ruang sidang yang hening, di antara berkas perkara yang tidak bertepi, seorang Hakim hidup dalam kesadaran bahwa setiap keputusan, bukan sekadar tentang hukum, melainkan juga tentang kehidupan seseorang. 

Tidak ada tepuk tangan di akhir sidang, tidak ada sorotan publik yang dielu-elukan. Namun disanalah, kemuliaan itu tumbuh, diam-diam, bersama tanggung jawab yang tidak ringan. 

Generasi Hakim saat ini, tidak sedikit bagian dari Generasi Z. Sebuah generasi yang tumbuh bersama gawai dan tidak terpisahkan dari jaringan media sosial. 

Dengan perumpamaan lain, Generasi Z adalah anak kandung dari era algoritmik yang dikenal sebagai digital native. 

Mengutip artikel hukum Universitas Negeri Surabaya yang bertajuk Digital Natives vs Digital Immigrants yang diterbitkan pada September 2024 memperkenalkan istilah digital natives, generasi yang lahir serta tumbuh di dunia digital dan untuk menjelaskan generasi ini terbiasa mengandalkan teknologi dalam hampir disetip aspek kehidupannya dan generasi ini memiliki cara pikir cepat dan terbiasa respons instan. 

Namun, kembali lagi saat memasuki dunia Peradilan, Hakim generasi ini harus ekstra belajar menjadi bagian dari zaman, tanpa kehilangan esensi profesinya.

Hakim boleh hadir di dunia maya, tetapi sorotan bukan tujuan. Ia boleh berbagi, tetapi tidak untuk pamer. Hakim boleh menulis, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa setiap kata mencerminkan lembaga dan nilai yang diemban. 

Era digital dan kemajuan teknologi, bukan sesuatu yang harus dimusuhi. Mahkamah Agung sendiri telah lama beradaptasi dengan kemajuan dan perkembangan zaman, melalui digitalisasi peradilan, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence dalam sistem Peradilan yang digunakan untuk membantu proses administratif dan analisis data perkara. 

Hakim memang profesi yang mulia, tapi juga sunyi. Ia tidak hidup untuk menjadi pusat perhatian, melainkan penjaga keseimbangan keadilan. 

Dalam lanskap digital yang semakin bising dengan opini, viralitas, dan pencitraan. Kesunyian seorang hakim justru menjadi benteng terakhir dari kejernihan nurani. 

Kemuliaan Hakim bukan datang dari gelar atau jubah yang disandangnya, melainkan dari ketulusan dalam menjaga integritas. 

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

Kalimat tersebut tampak sederhana, tetapi sesungguhnya adalah mandat yang paling berat dan sebab menggali nilai. Artinya menyelami hati nurani manusia, dan memahami keadilan yang sering tidak terdengar. 

Dalam benturan dua kutub, teknologi yang menawarkan efisiensi, dan nilai-nilai hukum yang menuntut kedalaman moral, maka Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menjadi tembok peradaban, yang menjaga agar kebebasan digital tidak menenggelamkan integritas yudisial. 
 
Sejalan hal tersebut, Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H., dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Kekuatan seorang hakim tidak diukur dari jabatan atau sambutan, tapi dari kesederhaaan dalam menjaga martabatnya.

Hakim Gen Z dapat memahami cara kerja algoritma, tapi mereka harus belajar memahami keheningan. 

Kehadiran kecerdasan buatan dan era digital yang melekat pada kehidupan, tentu tidak serta merta menggantikan proses penalaran manusia, integritas dan kebijaksanaan menjadi sebuah filter moral. Demikian juga kecerdasaan buatan dan media sosial tidak mengikis cara berpikir seorang Hakim. 

Perjalanan hidup seorang Hakim adalah langkah panjang antara idealisme dan realitas, diantara aturan dan hati nurani. 

Menjaga marwah, adalah cara untuk tetap berpijak. Di akhir hari, bisa saja tidak ada yang mengetahui betapa berat keputusan yang diambil, namun seorang hakim paham kemuliaan sejati bukan untuk diumbar, melainkan untuk dijaga dalam diam. 

Kemuliaan hakim tidak terletak pada siapa yang melihatnya, tetapi bagaimana ia tetap tegak walaupun tidak ada yang menyaksikan.