MARINews, Jakarta-Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Jumat (15/8).
Acara ini juga diisi dengan kuliah tamu daring bertema “Pembentukan Pengadilan Niaga di Lingkungan Peradilan Agama: Perspektif Sosio-Historis dan Yuridis” yang disampaikan oleh Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam Program Magister UII Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag.
Kegiatan dilaksanakan secara virtual melalui Zoom dan diikuti oleh pimpinan pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama beserta wakil ketua, hakim, panitera, dan sekretaris.
Dirjen Badilag MA RI, Drs. Muchlis, S.H., M.H., menegaskan, kerja sama ini bertujuan memperkuat sinergi antara peradilan agama dan dunia akademik, khususnya dalam pengembangan hukum keluarga dan ekonomi syariah. MoU menjadi landasan untuk penelitian bersama, pelatihan, dan pengembangan keilmuan.
Rektor UII Yogyakarta Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., menambahkan, kesepahaman ini menjadi jembatan penghubung antara teori akademik dan praktik peradilan. Menurutnya, MoU ini akan berdampak luas, mendorong modernisasi hukum di peradilan agama yang lebih profesional, responsif, dan berkontribusi pada budaya hukum nasional.
Kerja sama Badilag MA RI dengan UII ini bukan yang pertama. Pada 2021, kedua pihak juga telah menandatangani MoU yang berhasil mendorong banyak hakim dan tenaga teknis Peradilan Agama menempuh studi magister dan doktoral di UII melalui program hybrid learning.
Sementara, dalam kuliah tamu, Prof. Yusdani menekankan urgensi pembentukan Pengadilan Niaga Syariah untuk menangani perkara ekonomi syariah, termasuk kepailitan badan hukum syariah. Ia menyebut, Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 sebagai pintu masuk penting untuk merealisasikan gagasan ini.
Menurutnya, sebelum pembentukannya, DPR, Pemerintah, dan MA RI perlu menyinkronkan undang-undang kepailitan yang ada dengan hukum materiil dan formil ekonomi syariah, mengacu pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) serta fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
Prof. Yusdani juga mencontohkan Putusan Nomor 26 Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, di mana sengketa melibatkan bank syariah, namun akad syariahnya kurang dibahas dalam putusan. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang bertransaksi berdasarkan prinsip syariah.
“Jika akadnya berbasis prinsip syariah, maka penyelesaian sengketanya pun harus dilakukan berdasarkan prinsip syariah,” tegasnya.
Dengan penandatanganan MoU ini, Badilag MA RI memperluas jejaring kerja sama akademik, memperkuat kompetensi intelektual SDM peradilan, dan mendukung pembentukan sistem hukum yang lebih adaptif terhadap dinamika masyarakat, khususnya dalam hukum Islam dan ekonomi syariah.