Menyongsong KUHP Nasional Baru yang Visioner: Fondasi Baru Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan di Indonesia

KUHP Nasional dirancang lebih visioner, adaptif, dan responsif terhadap bentuk-bentuk kejahatan modern, termasuk kejahatan perikanan berbasis korporasi
Ilustrasi Perahu nelayan kecil di ufuk pagi menggambarkan denyut kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut, sekaligus menaruh harapan pada penegakan hukum demi lestarinya sumber daya perikanan. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Ilustrasi Perahu nelayan kecil di ufuk pagi menggambarkan denyut kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut, sekaligus menaruh harapan pada penegakan hukum demi lestarinya sumber daya perikanan. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Indonesia sebagai negara maritim yang berada pada jalur perdagangan laut dunia memiliki sumber daya perikanan yang sangat melimpah. 

Namun, kekayaan ini menyimpan ancaman serius berupa praktik illegal fishing yang dilakukan secara terorganisasi dan umumnya bernaung di balik struktur korporasi. 

Aktivitas penangkapan ikan ilegal tidak hanya menimbulkan kerugian negara hingga mencapai triliunan rupiah, tetapi juga mengakibatkan kerusakan ekologi laut, berkurangnya stok ikan, dan hilangnya hak ekonomi nelayan kecil yang hidup dari sumber daya tersebut. 

Bagi jutaan masyarakat pesisir, ikan bukan hanya sumber pendapatan, tetapi juga sumber protein yang paling terjangkau dan vital untuk ketahanan gizi keluarga. 

Menghadapi ancaman yang terstruktur, kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional menjadi momentum strategis dalam memperkuat penegakan hukum perikanan. 

KUHP Nasional dirancang lebih visioner, adaptif, dan responsif terhadap bentuk-bentuk kejahatan modern, termasuk kejahatan perikanan berbasis korporasi yang semakin kompleks dalam praktik penegakannya.

Kehadiran KUHP Nasional membawa paradigma baru dalam menangani tindak pidana perikanan. 

Salah satu terobosannya, adalah pengakuan yang lebih tegas bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana. 

Selama ini, penegakan hukum perikanan cenderung memidana nakhoda, ABK, atau operator lapangan lainnya, namun pelaku substantif seperti pemilik kapal, pemilik modal, atau beneficial owner kerap tidak tersentuh hukum. 

KUHP Nasional mengoreksi ketidakseimbangan tersebut melalui mekanisme pertanggungjawaban pidana yang mencakup pemberi perintah, pengendali modal, hingga pihak yang menjalankan operasi meskipun berada di luar struktur formal perusahaan. 

Hal ini menjadi sangat relevan mengingat kejahatan perikanan pada umumnya dikelola, dibiayai, dan dikendalikan oleh perusahaan atau kelompok yang memiliki kemampuan operasional dan finansial besar.

Tidak hanya itu, KUHP Nasional juga memperkenalkan model pemidanaan baru yang lebih efektif.

Pidana denda kategori tinggi sangat relevan diterapkan terhadap perusahaan perikanan ilegal yang selama ini cenderung memindahkan risiko pidana kepada nakhoda. 

Selain pidana denda, KUHP Nasional menyediakan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada korporasi, seperti pembekuan usaha, pencabutan izin kapal, pembubaran korporasi, dan perampasan keuntungan hasil kejahatan. 

Instrumen-instrumen ini dapat memutus rantai kejahatan secara lebih substansial dibandingkan pemidanaan operator lapangan. 

KUHP Nasional juga memperluas jenis tindakan terhadap korporasi, termasuk pengawasan, perbaikan tata kelola, serta kewajiban pemulihan sumber daya ikan. 

Model ini sejalan dengan prinsip restorative justice ekologis, yang tidak hanya menekankan pada pemidanaan, tetapi juga pemulihan kondisi lingkungan laut yang terdampak.

KUHP Nasional tidak berjalan sendiri. Instrumen ini melengkapi pengaturan dalam Undang-Undang Perikanan dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (PERMA Nomor 13 tahun 2016). 

Undang-Undang Perikanan sebenarnya telah memuat norma terhadap korporasi, namun implementasinya masih lemah di lapangan. 

KUHP Nasional memberi fondasi doktrinal yang lebih jelas untuk menafsirkan pertanggungjawaban korporasi, sehingga aparat penegak hukum memiliki panduan yang lebih kokoh dalam menetapkan pelaku substantif. 

Sementara itu, Peraturan Mahkamah Agung memberikan pedoman teknis bagi hakim, jaksa, dan penyidik dalam mengidentifikasi kesalahan korporasi, memanggil badan hukum ke persidangan, serta membuktikan hubungan antara korporasi dan operator lapangan. 

Dengan dukungan KUHP Nasional, PERMA tersebut menjadi lebih operasional untuk menindak perusahaan perikanan ilegal secara efektif.

Lebih jauh, KUHP Nasional selaras dengan kerangka pemikiran maqāṣid al-syarī‘ah. Nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya mencakup perlindungan harta publik (ḥifẓ al-māl), perlindungan lingkungan (ḥifẓ al-bī’ah), pencegahan kerusakan (dar’u al-mafāsid), dan keadilan substantif. 

Sumber daya ikan adalah milik publik, sehingga praktik illegal fishing pada hakikatnya merupakan tindakan yang merampas harta negara dan merugikan hak ekonomi masyarakat pesisir. 

Ekosistem laut yang rusak juga membutuhkan waktu yang panjang untuk pulih, sehingga pemidanaan yang diarahkan kepada korporasi sebagai pelaku utama akan memberikan efek jera yang lebih kuat dibandingkan hanya memidana nakhoda atau ABK. 

Pendekatan maqasid memberikan legitimasi moral dan etis bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang berorientasi pada kemaslahatan publik dan keberlanjutan lingkungan laut. 

Hal ini, juga bermakna melindungi hak nelayan kecil untuk tetap dapat mengakses sumber daya ikan secara adil dan menjamin masyarakat memperoleh ikan sebagai sumber gizi yang aman, murah, dan berkelanjutan.

Dalam era KUHP Nasional yang baru, hakim perikanan memiliki peran strategis dalam memastikan keadilan substantif benar-benar terwujud. 

Hakim dituntut untuk mampu mengidentifikasi siapa pelaku substantif melalui analisis terhadap struktur pengendalian kapal, penyediaan modal, distribusi keuntungan, serta pihak yang memberikan instruksi operasional kepada nakhoda.

Dengan dukungan norma KUHP Nasional, hakim dapat lebih mudah membedakan antara pelaku operasional dan pelaku struktural, sehingga putusan yang dijatuhkan benar-benar menyasar aktor utama. 

Hakim juga memiliki ruang luas untuk mengoptimalkan pidana tambahan seperti pembekuan usaha, pencabutan izin kapal, penyitaan alat produksi, dan kewajiban pemulihan ekologis. 

Instrumen-instrumen ini penting untuk memutus rantai kejahatan perikanan sekaligus menjaga keberlanjutan stok ikan, yang merupakan sumber hidup bagi jutaan keluarga pesisir.

Dengan demikian, KUHP Nasional merupakan tonggak penting dalam perjalanan hukum pidana Indonesia untuk meninggalkan paradigma kolonial dan memasuki fase hukum pidana modern yang humanis, berkeadilan ekologis, dan visioner. 

Dalam kerangka tindak pidana perikanan, KUHP Nasional menawarkan kejelasan pertanggungjawaban pidana korporasi, meningkatkan efektivitas penegakan hukum, menyediakan mekanisme pemulihan lingkungan laut, serta memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi nelayan kecil dan kesejahteraan masyarakat pesisir. 

Dengan menjaga keberlanjutan sumber daya ikan, KUHP Nasional juga turut memastikan ketahanan pangan dan kecukupan gizi masyarakat tetap terjamin. 

Dengan sinergi antara hakim, jaksa, penyidik, serta seluruh pemangku kepentingan sektor kelautan, Indonesia dapat mewujudkan sistem penegakan hukum perikanan yang tidak hanya menghukum, tetapi sekaligus menegakkan hak-hak masyarakat pesisir dan menjaga laut Indonesia bagi generasi mendatang.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews