Dinamika kehidupan sehari-hari sering menimbulkan konflik antara individu dengan lainnya. Seringkali konflik yang timbul tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pihak yang berkonflik. Diperlukan adanya campur tangan pihak lainnya yang dapat memberikan penyelesaian secara imparsial dan obyektif.
Fungsi penyelesaian konflik ini lazimnya dijalankan oleh lembaga peradilan. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat dalam memutus perkara. Diharapkan putusan yang diucapkan oleh hakim dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
Dalam bukunya yang berjudul “einführung in die rechtswissenschaften”, Gustav Radbruch menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat tiga nilai dasar sebagai tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit). Dari 3 (tiga) nilai dasar tersebut menurut Gustav Radbruch keadilan merupakan nilai utama dan menjadi prioritas.
Tanpa mengecilkan tujuan hukum yang lainnya, Penulis berpendapat bahwa hakim dalam memutus suatu perkara tentunya mengutamakan terwujudnya nilai keadilan.
Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Lalu apa yang dimaksud dengan keadilan? Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menyebutkan bahwa adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.
Aristoteles memaknai keadilan sebagai keseimbangan. Ukuran keseimbangan tersebut meliputi dua hal yaitu kesamaan numerik yang berarti setiap manusia disamakan dalam satu unit, misalnya setiap orang sama dihadapan hukum, dan kesamaan proporsional yang berarti memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.
Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 (dua), pertama keadilan distributif yaitu keadilan yang berlaku dalam ranah hukum publik yang berfokus pada distribusi kekayaan dan barang lain yang diperoleh masyarakat.
Kedua, keadilan korektif yang berhubungan dengan membetulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.
Dari 2 (dua) makna keadilan menurut Aristoteles tersebut, hakim seringkali dihadapkan pada kesulitan dalam implementasinya. Kesulitan tersebut terjadi antara lain ketika nilai keadilan dihadapkan pada nilai lainnya, seperti kepastian hukum.
Seringkali terdapat antinomi atau pertentangan antara nilai nilai keadilan dengan kepastian hukum. Kepastian hukum pada umumnya menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya objektif.
Adapun nilai keadilan lebih cenderung abstrak, dikarenakan tidak terdapat suatu ukuran yang jelas dan baku untuk menentukan nilai keadilan tersebut.
Dalam praktek peradilan, hakim selalu dihadapkan pada permasalahan bagaimana memberikan putusan yang adil bagi para pihak yang berperkara?
Seorang hakim sebelum memutus suatu perkara harus melakukan tiga hal, pertama legal problem identification (kontatasi), yaitu mengkonstatir peristiwa dengan mengidentifikasi atau merumuskan masalah-masalah hukum.
Kedua, hakim melakukan legal problem solving (kualifikasi), yaitu mengkualifisir atau mencari unsur yuridisnya, dan ktiga decision making (konstitusi/mengkonstituir hukumnya), yaitu mengambil kesimpulan atau membuat putusan.
Setelah menemukan peristiwa hukum, hakim dalam mengkualifisir suatu peristiwa hukum tersebut umumnya akan mencari dan merujuk kepada suatu ketentuan hukum tertulis.
Misalnya, jika dalam hal penggugat mendalilkan telah mengadakan suatu perjanjian dengan tergugat kemudian tergugat tidak dapat melaksanakan perjanjian sebagaimana yang diperjanjikan, maka peristiwa hukum tersebut dapat dikualifikasikan sebagai wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Selanjutnya hakim dapat memutus perkara dimaksud mendasarkan pada ketentuan tersebut.
Namun dalam praktek terdapat kondisi dimana hukum atau aturannya belum ada atau tidak jelas. Bahkan tidak terdapat yurisprudensi terkait dengan perkara tersebut.
Ketiadaan peraturan hukum konkrit atau yurisprudensi tersebut mengakibatkan hakim harus mencari pemecahan masalah/perkara tersebut antara lain melalui asas hukum.
Sebagai contoh dalam perkara gugatan wanprestasi, penggugat menuntut pembatalan perjanjian dengan dasar adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan dalil bahwa pada saat membuat perjanjian utang-piutang tersebut penggugat dalam keadaan lemah dan ketergantungan secara ekonomi, sehingga penggugat bersedia membayar kewajiban bunga sejumlah 30% (tiga puluh persen) dari plafond pinjaman.
Dalam menangani perkara tersebut, hakim dapat menggunakan metode argumentum per analogiam (analogi) dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata dan hakim dapat pula mendasarkan pada asas keseimbangan dalam perjanjian.
Secara prinsip dalam perkara tersebut berlaku asas pacta sunt servanda dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Namun demikian penulis berpendapat bahwa hakim perlu juga untuk mempertimbangkan adanya kondisi yang menyebabkan kehendak penggugat untuk memberikan persetujuannya dalam perjanjian tersebut menjadu cacat.
Kondisi ini disebabkan karena penggugat berada dalam kondisi yang lemah dan ketergantungan secara finansial. Oleh karena itu terhadap kasus tersebut untuk memenuhi rasa keadilan hakim dapat mempertimbangkan penerapan asas keseimbangan dalam putusannya.
Meskipun asas keseimbangan tidak secara eksplisit diatur dalam Buku III KUHPerdata, namun hal tersebut secara implisit terdapat pada asas iktikad baik (good faith) dalam perjanjian. Di mana dalam sebuah perjanjian, terdapat suatu keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal sehat, yaitu tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan. Sehingga perjanjian yang timbul dapat memberikan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.
Penerapan asas dalam putusan hakim sebagaimana penulis uraikan di atas, tidak terlepas dari adanya pertentangan/antinomi antar asas-asas hukum perjanjian.
Oleh karena di antara asas-asas hukum tersebut tidaklah mengenal hierarkhis, maka penulis berpendapat bahwa pada prinsipnya penerapan suatu asas bersifat kontekstual dan kasuistis.
Apabila terdapat peristiwa hukum yang belum terdapat peraturan hukum konkritnya, maka hakim dapat menggunakan suatu asas hukum yang dipandang paling tepat sebagai dasar untuk menyelesaikan perkara yang diajukannya kepadanya. sehingga diharapkan putusan yang dijatuhkannya dapat memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Referensi
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Cet. VI. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Cet. 4. Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” Jurnal Crepido Vol.1, No.1 (Juli 2019).