Krisis Legitimasi dan Relevansi Logika Triadik
Meningkatnya beban perkara, keterlambatan eksekusi putusan, serta menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, menjadi fenomena yang mengemuka dalam satu dekade terakhir.
Banyak pihak menilai, hukum kehilangan ruh moralnya dan peradilan kehilangan kepercayaan sosial yang mestinya menjadi sumber legitimasi. Di tengah krisis legitimasi ini, konsep logika triadik yang dikemukakan Martin Shapiro (1981), kembali menemukan relevansinya.
Shapiro menegaskan, keadilan hanya dapat dipulihkan melalui kehadiran pihak ketiga yang netral, berintegritas, dan berperan sebagai penyeimbang antara kekuasaan dan kepentingan para pihak.
Figur pihak ketiga inilah, yang menjelmakan pengadilan sebagai ruang pemulihan moral (moral restorer), bukan sekadar lembaga pemutus perkara.
Tanpa kehadiran pihak ketiga yang dipercaya, proses penyelesaian sengketa akan mudah berubah menjadi pertarungan “dua lawan satu,” dimana pihak yang kalah hanya melihat angka, bukan kebenaran substantif.
Struktur triadik, bukan hanya model sosial penyelesaian konflik. Tetapi, fondasi filosofis legitimasi hukum.
Dari masyarakat tradisional hingga sistem hukum modern, kebutuhan akan figur netral selalu menjadi alasan keberadaan lembaga peradilan.
Ketika publik mulai meragukan netralitas hakim, maka bukan hanya otoritas individu yang dipertaruhkan. Tetapi, kredibilitas lembaga negara yang
menaunginya.
Dari Consent ke Law dan Office: Akar Krisis Legitimasi
Dalam peradaban awal, penyelesaian konflik bersifat sukarela. Dua pihak yang berselisih sepakat menentukan norma yang digunakan dan memilih seorang penengah yang dipercaya.
Dalam hukum Romawi klasik, mekanisme ini disebut iudex per conventionem, yaitu hakim yang diangkat berdasarkan kesepakatan.
Legitimasi hukum lahir dari consent atau persetujuan sosial, bukan dari pemaksaan kekuasaan. Namun, seiring berkembangnya negara modern, logika consent tergantikan oleh law dan office.
Norma hukum menjadi produk negara yang berlaku umum. Hakim berubah dari sosok pilihan masyarakat menjadi pejabat publik.
Martin Shapiro menyebut, pergeseran ini sebagai transformasi dari “consent-based legitimacy” menuju “authority-based legitimacy.”
Perubahan ini, menandai kemajuan institusional. Tetapi, juga menimbulkan jarak emosional antara masyarakat dan lembaga peradilan.
Ketika hukum ditegakkan semata-mata atas dasar kewenangan formal, bukan partisipasi moral, maka legitimasi sosial hukum perlahan terkikis. Krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan hari ini sejatinya adalah konsekuensi dari hilangnya consent sebagai elemen dasar hubungan antara masyarakat dan negara.
Mediasi sebagai Unsur Struktural dalam Triadik
Untuk mengembalikan keseimbangan dalam struktur triadik, berbagai peradaban menciptakan mekanisme mediasi.
Mediasi bukan sekadar alternatif penyelesaian sengketa, melainkan cara mempertahankan stabilitas sosial, agar peradilan tidak runtuh menjadi arena permusuhan.
Dalam sistem hukum Tiongkok kekaisaran, hakim dikenal sebagai parental judge yang berperan menengahi, menasihati, dan mendamaikan sebelum memutus perkara.
Filsafat Konfusianisme, menempatkan harmoni sosial sebagai nilai tertinggi, dan keputusan hukum harus tunduk pada prinsip moralitas dan keseimbangan.
Hal yang serupa juga ditemukan dalam tradisi Anglo-Saxon pra-Norman, dimana pengadilan lebih berfungsi sebagai fasilitator kesepakatan daripada alat pemaksa negara (Dawson, 1968).
Dengan demikian, mediasi adalah jantung dari logika triadik. Ia menegaskan bahwa legitimasi hukum bukan hanya lahir dari kemenangan satu pihak, tetapi dari penerimaan sosial terhadap proses penyelesaiannya.
Semakin banyak ruang mediasi dalam sistem hukum, semakin tinggi pula legitimasi sosial peradilan di mata publik.
Kompromi dan Balancing dalam Keputusan Yurisprudensial
Dalam sistem common law, prinsip keseimbangan (balancing of equities) merupakan bentuk konkret dari penerapan logika triadik.
Meskipun sistem ini dikenal legalistik, penyelesaian perkara seringkali diakhiri dengan kompensasi finansial atau kesepakatan damai. Hukum tidak hanya menegakkan kepastian, tetapi mempertimbangkan proporsionalitas agar tidak menimbulkan ketimpangan baru (Zehr, 2002).
Namun, modernitas hukum memunculkan dikotomi tajam antara litigasi dan negosiasi. Sistem peradilan modern lebih menekankan pada finalitas putusan daripada harmoni sosial.
Disinilah muncul kritik dari Eisenberg (1976) dan Coons (1980), yang menilai negosiasi dan hukum sebenarnya saling berkelindan. Setiap penyelesaian hukum, betapapun formal, tetap beroperasi di bawah bayang-bayang norma sosial dan moral masyarakat.
Pemikiran ini memiliki resonansi yang kuat di Indonesia, terutama setelah Mahkamah Agung mengembangkan paradigma keadilan restoratif.
Pendekatan ini bukan sekadar inovasi teknis, tetapi bentuk kebangkitan nilai lama dalam wajah baru: mengembalikan consent dalam kerangka law and office.
Keadilan Restoratif dan PERMA Nomor 1 Tahun 2024
Kebangkitan logika triadik, kini tampak nyata dalam kebijakan peradilan Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi tonggak penting, karena menegaskan tujuan hukum pidana tidak berhenti pada penghukuman, melainkan pemulihan hubungan sosial.
Hakim dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai law enforcer, tetapi sebagai moral restorer. Ia menggunakan kekuasaan kehakiman (coercion) untuk menumbuhkan kembali kesepakatan sosial (consent) antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Dalam banyak kasus, terutama perkara ringan atau tindak pidana dengan korban tunggal. Hakim memainkan peran strategis untuk memfasilitasi perdamaian dan memastikan keadilan tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya.
PERMA ini melengkapi PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Ketiganya menunjukkan arah reformasi hukum yang konsisten: pengadilan bukan hanya ruang untuk memutus, tetapi untuk memulihkan.
Implementasi keadilan restoratif ini juga sejalan dengan semangat konstitusional, kekuasaan kehakiman diselenggarakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Artinya, dimensi spiritual dan moral tak dapat dipisahkan dari praktik hukum positif. Dengan mengedepankan mediasi pidana, hakim pada dasarnya menjalankan fungsi profetik, yaitu mengembalikan kemanusiaan melalui hukum.
Kekuasaan Kehakiman dan Ancaman terhadap Netralitas
Implementasi peran hakim sebagai moral restorer, pada kenyataannya menghadapi tantangan serius di lapangan.
Intervensi politik, tekanan publik, dan praktik koruptif kerap menggeser posisi hakim dari figur penengah menjadi bagian dari kekuasaan yang dipersepsikan berpihak.
Fenomena ini, sejatinya merupakan konsekuensi historis dari pergeseran legitimasi: dari consent menuju law dan office. Ketika unsur kesepakatan sosial hilang, kekuasaan kehakiman berisiko kehilangan wajah moralnya.
Independensi hakim dalam konteks ini bukan hanya syarat prosedural, tetapi fondasi moral dari keberlangsungan sistem peradilan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk mencapai keadilan substantif.
Prinsip ini mengandung pesan moral yang kuat, yakni sumber legitimasi hakim tidak hanya berasal dari undang-undang, tetapi dari kepercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, menjaga integritas dan kemandirian hakim adalah bentuk perlindungan terhadap struktur triadik itu sendiri.
Ketika figur pihak ketiga kehilangan independensinya, maka triadik akan runtuh menjadi struktur dominatif yang tidak lagi dipercaya.
Untuk itu, reformasi kelembagaan dan etika kehakiman harus diarahkan pada pemulihan fungsi moral pengadilan, sebagai institusi yang menjaga keseimbangan antara hukum dan keadilan.
Refleksi Historis dan Konteks Sosial di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, konsep logika triadik sebenarnya telah lama hidup dalam tradisi lokal.
Dalam masyarakat adat Rejang, dikenal lembaga jenang kutei yang berfungsi sebagai penengah dan penjaga harmoni sosial.
Di Kalimantan, terdapat tuai adat yang memiliki fungsi serupa—menyelesaikan sengketa berdasarkan musyawarah dan pemulihan hubungan sosial, bukan sekadar menghukum pelaku.
Kedua lembaga ini berakar pada prinsip consentual justice, yaitu hukum yang ditegakkan berdasarkan kesepakatan moral komunitas. Ketika terjadi pelanggaran, tujuan utama bukanlah menjatuhkan sanksi, tetapi mengembalikan keseimbangan sosial.
Dalam bahasa Shapiro (1981), ini adalah bentuk ideal dari stable triad—hubungan tiga pihak yang saling mengakui dan menghormati peran masing-masing.
Fenomena ini memperlihatkan, keadilan restoratif bukanlah konsep impor, melainkan reinvention atas nilai-nilai hukum yang telah hidup lama di Indonesia.
Ia bukan penemuan baru, melainkan pengingatan dan pelembagaan kembali atas kebijaksanaan lama yang nyaris terlupakan dalam arus positivisme hukum modern.
Pengadilan sebagai Ruang Restoratif
Keadilan yang sejati, tidak lahir semata-mata dari supremasi kekuasaan, melainkan dari keseimbangan yang dinamis antara persetujuan sosial (consent) dan pemaksaan kewenangan hukum (coercion).
Dalam konteks ini, logika triadik memberikan landasan sosial sekaligus moral bagi terciptanya keseimbangan tersebut.
Hakim bukan hanya pelaksana undang-undang secara tekstual, melainkan representasi negara yang mengemban tanggung jawab etis untuk menjaga legitimasi moral sistem hukum di hadapan masyarakat.
Bangkitnya paradigma keadilan restoratif, menandai pergeseran paradigma hukum Indonesia dari orientasi retributif menuju rekonstruksi moral peradilan.
Pendekatan ini tidak sekadar menghadirkan inovasi prosedural, melainkan menghidupkan kembali prinsip-prinsip dasar keadilan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, musyawarah, dan pemulihan relasi sosial.
Dengan demikian, paradigma tersebut merupakan penemuan kembali (reinvention) atas kearifan lama yang telah mengakar dalam tradisi hukum Nusantara—suatu bentuk pelembagaan kembali nilai-nilai moral dan sosial yang pernah menjadi jiwa hukum rakyat Indonesia.
Lebih jauh, revitalisasi nilai-nilai logika triadik dan keadilan restoratif harus diikuti dengan reformasi kelembagaan dan pendidikan hukum yang berorientasi pada etika.
Hakim sebagai moral restorer dituntut tidak hanya memahami hukum positif, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial dan kesadaran moral untuk menafsirkan hukum secara manusiawi.
Dengan cara inilah, pengadilan dapat kembali menjadi forum humanitatis, ruang tempat keadilan ditegakkan bukan hanya berdasarkan teks, tetapi berdasarkan nurani, kearifan, dan kemaslahatan bersama.