Revolusi Sunyi Mahkamah Agung saat Hukum Mulai Melihat Manusia

Keadilan sejati tidak selalu datang dengan dentuman palu. Kadang, ia hadir dalam langkah sunyi yang mengubah wajah hukum tanpa gemuruh.
Ilustrasi peradilan ramah disabilitas. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Ilustrasi peradilan ramah disabilitas. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Selama bertahun-tahun, sistem hukum kita berdiri di atas asas kepastian prosedur. Semua orang dianggap sama di hadapan hukum, tetapi kesamaan itu sering bermakna mengabaikan perbedaan. 

Penyandang disabilitas kerap menghadapi hambatan untuk mengakses ruang sidang, memahami bahasa hukum, atau sekadar didengar keterangannya. Hukum yang seharusnya melindungi justru sering menjadi dinding yang memisahkan. 

Sebuah Revolusi Sunyi

Keadilan sejati tidak selalu datang dengan dentuman palu. Kadang, ia hadir dalam langkah sunyi yang mengubah wajah hukum tanpa gemuruh. 

Di tengah rutinitas peradilan yang dipenuhi jadwal, berkas, dan tenggat waktu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menyalakan obor kecil yang kelak dapat mengubah arah sejarah hukum Indonesia. 

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum di Pengadilan menjadi asa yang menyalakannya.

Bagi sebagian orang, mungkin ini hanya peraturan teknis. Namun bagi mereka yang setiap hari berjuang di ruang sidang, baik hakim, jaksa, advokat, maupun pencari keadilan, Perma ini merupakan pernyataan moral bahwa hukum akhirnya belajar untuk melihat manusia secara utuh. Ia menjadi langkah awal menuju peradilan yang tidak hanya menegakkan teks, tetapi juga menegakkan rasa.

Keadilan yang Melihat Manusia

Paradigma equality before the law seringkali diartikan sebagai keseragaman. Perma Nomor 2 Tahun 2025 lahir sebagai kritik halus terhadap paradigma tersebut, dan menuntun menuju keadilan yang sesungguhnya.
 
Keadilan bukan memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. Keadilan adalah memberi perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya.

Hukum tidak sekadar menilai seseorang benar atau salah, tetapi juga memahami bagaimana kebenaran dapat ditemukan dengan tetap menjaga martabat manusia.

Langkah tersebut bukan sekadar pembaruan normatif, tetapi sebuah revolusi etika. Mahkamah Agung mengingatkan bahwa hakim tidak cukup hanya menafsirkan pasal, tetapi juga harus menafsirkan manusia di balik perkara. Tugas hakim tidak selesai dengan memutus perkara, melainkan juga memulihkan martabat manusia.

Tonggak Baru Mahkamah Agung

Keberanian Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang berpihak pada kelompok rentan merupakan penanda zaman. Hukum tidak boleh berhenti pada logika semata.

Di tangan hakim, hukum harus menemukan akalnya yang kedua, yaitu hati nurani. Langkah ini juga menunjukkan bahwa lembaga peradilan mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai modern tanpa kehilangan rohnya.

Di tengah era digitalisasi yang serba cepat dan efisien, Mahkamah Agung justru menempatkan empati di pusat keadilan. Kecepatan penyelesaian perkara memang penting, tetapi kepekaan terhadap manusia jauh lebih menentukan makna hukum itu sendiri.

Eksistensi Perma ini telah termuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 844. Namun yang lebih penting dari kelahirannya adalah tumbuhnya kesadaran.

Sejak peraturan ini terbit, pengadilan di berbagai daerah mulai menyediakan sarana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, menghadirkan penerjemah bahasa isyarat, serta menyelenggarakan pelatihan bagi hakim agar memiliki dan memahami perspektif disabilitas. Langkah kecil ini diharapkan dapat membawa perubahan besar dalam wajah peradilan.

Cahaya Keadilan dari Mereka yang Terlupakan

Ketika seorang penyandang disabilitas dapat berdiri di ruang sidang tanpa takut diabaikan, di situlah hukum benar-benar bekerja. Keadilan tidak lagi menjadi milik mereka yang kuat, tetapi menjadi hak setiap manusia untuk didengar.

Perma Nomor 2 Tahun 2025 mengingatkan bahwa hukum tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari kasih sayang terhadap sesama manusia.

Bagi seorang hakim, inilah panggilan nurani baru. Setiap perkara harus dipandang bukan hanya melalui alat bukti, melainkan juga melalui mata empati. 

Dalam setiap putusan, terselip kesempatan untuk membangun peradilan yang menyembuhkan, bukan sekadar menghukum.

Melalui langkah sunyi ini, Mahkamah Agung sedang menulis bab baru dalam sejarah hukum Indonesia. Bab yang menunjukkan bahwa keadilan tidak lagi hanya diputus di ruang sidang, tetapi lahir dari hati yang tidak menyerah mencari terang.

Penutup

Keadilan yang hidup tidak menuntut kesempurnaan, melainkan keberanian untuk peduli. Melalui Perma Nomor 2 Tahun 2025, Mahkamah Agung menunjukkan bahwa reformasi hukum tidak selalu harus datang dari perubahan undang-undang, tetapi dapat lahir dari perubahan cara pandang terhadap manusia.

Di tengah dunia yang semakin cepat dan rasional, langkah ini menjadi pengingat bahwa hukum tanpa empati hanyalah teks yang kering. Namun, ketika hukum mulai melihat manusia, di sanalah keadilan menemukan makna sejatinya.

Penulis: Aji Malik
Editor: Tim MariNews