Menemukan Peraturan yang Hilang: Kajian Yuridis Pengulangan Pemeriksaan Perkara saat Terjadi Pergantian Hakim

Berkenaan dengan pengaturan dalam Buku II tersebut, praktiknya telah dilakukan sebagaimana diatur dalam pedoman teknis
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto ; Freepik.com

Pergantian anggota majelis hakim merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Hal ini, disebabkan halangan secara sementara ataupun tetap. 

Alasan hakim berhalangan sementara, dapat disebabkan sakit atau mengajukan cuti tahunan. Sedangkan berhalangan tetap, berkaitan dengan mutasi, meninggal dunia, atau mengajukan cuti alasan penting untuk waktu yang lama.

Pengaturan teknis mengenai pergantian anggota pada majelis dapat dilihat dalam Buku II Mahkamah Agung, yang menyatakan apabila salah seorang hakim anggota majelis berhalangan sementara maka dapat ditunjuk hakim lain sebagai pengganti, dan apabila berhalangan tetap maka dapat digantikan oleh Hakim lain.

Sedangkan bagi Ketua Majelis yang berhalangan sementara untuk bersidang, pemeriksaan perkara harus diundurkan, dan apabila berhalangan tetap maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Ketua Majelis yang baru dengan Penetapan.

Dapat kita lihat dalam pengaturan teknis tersebut, terdapat perbedaan antara anggota Majelis dan Ketua Majelis, berhalangan untuk melakukan persidangan. 

Berkenaan dengan pengaturan dalam Buku II tersebut, praktiknya telah dilakukan sebagaimana diatur dalam pedoman teknis. Praktik yang terjadi apabila hakim anggota berhalangan sementara, maka ditunjuk hakim lain sebagai pengganti, sedangkan apabila berhalangan tetap maka digantikan oleh hakim lain.

Begitu juga, apabila Ketua Majelis berhalangan, maka persidangan ditunda terlebih dahulu, namun apabila Ketua Majelis berhalangan hadir secara tetap dengan alasan mutasi, sering kali kita jumpai yang menjadi Ketua Majelis dalam perkara tersebut adalah Hakim Anggota I, sehingga Hakim Anggota II bergeser posisinya menjadi Hakim Anggota I, dan selanjutnya dilakukan penunjukan hakim untuk memenuhi susunan Majelis, maka hakim lain tersebut statusnya menjadi Hakim Anggota II.

Lantas muncul pertanyaan, apakah terdapat konsekuensi pada hukum acara pidana dan hukum acara perdata, dalam hal terjadi pergantian hakim anggota majelis tersebut?

Apabila melihat dalam koridor hukum acara pidana perihal pergantian hakim disinggung Pasal 198 KUHAP. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal ini karena dianggap cukup jelas, namun M. Yahya Harahap dalam doktrinnya berprinsip frasa yang mengatakan “segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan” dalam Pasal 198 KUHAP bersifat imperatif atau memaksa. 

Lebih lanjut M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa apabila terjadi penggantian Hakim, dan pemeriksaan persidangan sudah berjalan beberapa kali, maka pemeriksaan diulang kembali dari semula. 

Namun, bilamana Penuntut Umum yang diganti, pemeriksaan tidak perlu diperiksa ulang dikarenakan hal ini sesuai dengan prinsip bahwa jaksa merupakan suatu kesatuan dalam melaksanakan fungsi penuntutan.

M. Yahya Harahap dalam doktrinnya menyinggung mengenai pemeriksaan ulang perkara dalam hal terjadinya pergantian anggota majelis hakim, apabila persidangan sudah berjalan beberapa kali. 

Padahal apabila merujuk pengaturan dalam KUHAP mengenai pengulangan pemeriksaan perkara, hanyalah dikenal dalam Pasal 157 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara, apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, memiliki hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera, dengan Terdakwa atau penasihat hukum. 

Bilamana tidak dipenuhi untuk mengundurkan diri, maka Hakim tersebut harus diganti, dan apabila tidak diganti, sedangkan perkara telah diputus, pada Pasal 157 KUHAP ayat (3) dikatakan, maka perkara tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan lain. 

Sehingga yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini KUHAP, yaitu mengenai pengulangan pemeriksaan perkara, hanya saat hakim memiliki hubungan keluarga dengan para pihak di persidangan.

Bilamana kita sandingkan Pasal 198 KUHAP yang menyatakan “wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan” dengan pengaturan teknis apabila yang berhalangan adalah Ketua Majelis harus ditunda terlebih dahulu, lantas bagaimana penerapannya? 

Apalagi dalam Pasal 198 KUHAP tersebut tidak dijelaskan atau dibedakan mengenai berhalangan, apakah bersifat sementara atau tetap. Kemudian diikuti dengan pertanyaan, saat Ketua Majelis yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan merupakan hakim lain, yang tidak mengikuti persidangan dari awal, sehingga sidang pemeriksaan alat bukti telah berjalan, lantas bagaimana cara Hakim Ketua tersebut dapat mengadili secara adil dan dapat bermusyawarah bersama anggota hakim lainnya, serta mengenai hukuman apa yang sebaiknya dijatuhkan kepada Terdakwa? 

Terlebih dikatakan bahwa Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang didasarkan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga dari alat bukti tersebut ia memperoleh keyakinan Terdakwa tersebutlah yang bersalah. 

Pertanyaan ini, tidak hanya dikhususkan kepada Ketua Majelis, namun juga berlaku bagi hakim anggota saat berhalangan hadir secara tetap. Namun, ketika pembuktian telah selesai dilaksanakan atau sedang proses akhir pelaksanaan, bagaimana hakim lain yang menggantikan tersebut, memperoleh keyakinan.

Hal ini, juga berkaitan dengan pertanggungjawaban terhadap keadilan yang diputus, karena hakim lain yang menggantikan akan bertandatangan pada putusan akhir.

Apabila menilik lebih jauh, permasalahan ini sebenarnya telah diakomodasi melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1961 tentang Cara Pemeriksaan Perkara Pidana yang Dilanjutkan oleh Hakim Lain. 

Dalam SEMA, dikatakan bahwa dalam hal pemeriksaan perkara apabila Hakim sedang berhalangan melanjutkan pemeriksaan disebabkan kepindahan Hakim atau disebabkan halangan-halangan lain yang sangat penting, maka Hakim lain yang melanjutkan pemeriksaan itu diharuskan memulai lagi pemeriksaan tersebut dari permulaan, yakni dengan mengulangi pemeriksaan terdakwa dan saksi-saksi yang telah diperiksa. 

Walaupun selanjutnya dalam SEMA, dikatakan praktik serupa ini dapat menghambat lancarnya penyelesaian pemeriksaan perkara, terlebih apabila dalam perkara hanya harus didengar seorang saksi atau apabila telah tiba Penuntut Umum untuk mengucapkan tuntutannya.

Sehingga selanjutnya melalui SEMA dimaksud, Mahkamah Agung menginstruksikan agar ketika seorang Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara yang telah dimulai oleh Hakim lain, maka cukuplah apabila dalam pemeriksaan lanjutan itu dibacakan saja berita acara dari pemeriksaan yang terdahulu. 

Akan tetapi, bilamana dalam pemeriksaan lanjutan ini Hakim yang melakukan pemeriksaan itu berpendapat, bahwa pemeriksaan yang terdahulu belum cukup jelas atau lengkap, sehingga Hakim itu merasa perlu untuk mendengar lagi Terdakwa atau beberapa orang saksi, maka Hakim itu penuh berwenang untuk bertindak demikian.

Namun kemudian yang menjadi masalah, SEMA tersebut secara khusus ditujukan untuk perkara pidana, sehingga bagaimana keberlakuannya terhadap perkara perdata?

Apabila melihat pada hukum acara perdata yang digunakan dan masih berlaku sampai sekarang yaitu HIR dan RBg, Rv dan Yurispridensi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada satu pun pengaturan dalam hukum acara perdata yang menyinggung mengenai pergantian hakim dalam suatu perkara, terlebih lagi pengaturan yang menyinggung mengenai pengulangan pemeriksaan perkara. 

Sehingga pengaturan yang diterapkan mengenai pergantian hakim dalam perkara perdata, adalah pengaturan teknis yang ada dalam Buku II Mahkamah Agung. 

Dikarenakan dalam hukum acara perdata, tidak ada pengaturan yang mengatur mengenai pergantian anggota majelis atau pengaturan yang berkenaan dengan pengulangan pemeriksaan perkara, sedangkan dalam hukum acara pidana ada pengaturannya, maka disini dapat diperoleh kesimpulan terdapat kekosongan hukum acara perdata menyangkut hal tersebut.

Dalam hal memenuhi kekosongan hukum, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan penemuan hukum yang dilakukan dengan dua metode yaitu interpretasi (penafsiran) dan penalaran (konstruksi hukum). 

Dari metode penafsiran dan penalaran tersebut, penulis berpendapat penafsiran ekstensif dan penalaran analogi (argumentum per analogiam) dapat digunakan dalam hal memenuhi kekosongan hukum terhadap pengaturan pergantian hakim pada susunan majelis dalam perkara perdata.

Dengan menggunakan metode penafsiran ekstensif, pada hakikatnya digunakan untuk memberikan perluasan makna pada bunyi teks peraturan berdasarkan kondisi dan situasi yang aktual, sehingga aturan tersebut dapat diterapkan untuk memeriksa dan mengadili sebuah peristiwa secara konkrit.

Sedangkan dengan metode penalaran analogi (argumentum per analogiam) digunakan untuk memberikan perluasan makna yang tidak lagi berpaku pada bunyi teks suatu peraturan, melainkan berpaku pada peristiwa hukum yang secara substantial memiliki unsur esensial yang sama. 

Prof. Scholter (Alg. Deel Asser-Scholter page. 93) menyatakan bahwa pada dasarnya antara analogi dan tafsiran ekstensif memiliki persamaan, karena mencoba menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau abstrak) dari norma yang ada, dan dari hal ini lalu dideduksi menjadi aturan baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). 

Sehingga dengan menggunakan penafsiran ekstensif dan penalaran analogi, ketentuan mengenai pemeriksaan perkara perdata yang digantikan oleh hakim lain karena berhalangan untuk bersidang, maka SEMA Nomor 2 Tahun 1961 dapat diterapkan dalam hal pemeriksaan perkara perdata.

Selain daripada penafsiran dan penalaran hukum tersebut, dalam asas-asas hukum perdata dikenal suatu asas yaitu asas kebolehan.Asas tersebut, menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu diperbolehkan hingga ada dalil yang melarangnya. 

Dikarenakan tidak terdapat ketentuan dalam SEMA tersebut yang menyebutkan adanya larangan prinsip ini diterapkan pada perkara perdata, ataupun dalam ketentuan serta peraturan lain yang isinya melarang untuk melakukan penerapan ketentuan pada hukum acara pidana dilakukan pada hukum acara perdata. 

Maka berdasarkan asas kebolehan, SEMA Nomor 2 Tahun 1961 tersebut boleh diterapkan pada perkara perdata, berdasarkan penafsiran ekstensif dan penalaran analogi. 

Dikarenakan pengaturan mengenai pergantian hakim pada majelis ini tidak terdapat ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan, maka SEMA tersebut masih berlaku dan dapat menjadi dasar dalam pelaksanaan teknis pergantian hakim yang berkenaan dengan pengulangan pemeriksaan perkara.

Harapannya teknis persidangan yang berkaitan dengan hukum acara, diperlukan pengaturan yang dapat diberlakukan, baik pada perkara pidana maupun perkara perdata. 

Sehingga dengan pengaturan yang jelas dan tidak menimbulkan ambiguitas, saat hakim menyidangkan suatu perkara dan tidak terdapat keraguan sedikitpun dalam memutus suatu perkara dan para pencari keadilan dapat menerima keadilan berdasarkan hukum yang jelas dan lengkap.

Sumber Referensi

Buku II Mahkamah Agung Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Edisi 2007

M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan, Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali”, Jakarta Timur: Sinar Grafika, cetakan ketujuh belas Januari 2022.