Sebagai konsekuensi negara yang berlandaskan atas hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Indonesia harus menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang dibangun dalam negara hukum.
Salah satu prinsip hukum yang berlaku adalah adanya teori pemisahan kekuasaan atau trias politica yang dicetuskan oleh Montesque yang memisahkan cabang kekuasan negara menjadi 3 (tiga) salah satunya adalah kekuasaan yudikatif.
Cabang kekuasaan ini sebagai sistem lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan atau oleh pembentuk undang-undang lazim dikenal dengan ‘kekuasaan kehakiman’.
Independensi dan Pengawasan bersifat Koheren
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 48 Tahun 2009 mengamanatkan adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau pihak manapun.
Independensi hakim pada lembaga peradilan hakikatnya merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan tegaknya hukum dan keadilan.
Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
Kemerdekaan tersebut menurut Simon Shetreet termasuk mencakup independensi kolektif yudikatif yang menitikberatkan pada supervisi dan pengawasan, serta independensi internal yudikatif yaitu independensi hakim dari rekan sejawatnya.
Dengan demikian, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum bersifat koheren dengan proses pengawasan dan supervisi terhadap hakim sebagai subjek utama dalam kekuasaan kehakiman.
Konsep pengawasan ini penting mengingat hakim sebagai officium nobile dan subjek utama dalam kekuasaan kehakiman harus menjunjung tinggi kualitas, integritas, dan kredibilitas dalam menjalankan tugasnya.
Perluasan Fungsi Pengawasan KY
Selain dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) ketentuan a quo, dijelaskan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
Setelah dilakukan perubahan substansi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, pembentuk undang-undang memperluas kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial.
Dalam ketentuan Pasal 13 a quo, KY memiliki kewenangan setidaknya dalam 2 (dua) aspek, yaitu pertama menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, dan kedua menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Perluasan kewenangan tersebut merupakan bentuk penguatan atas tugas dan tanggung jawab KY, sebab pembentuk undang-undang mendikotomikan kata ‘menjaga’ dan ‘menegakkan’ yang memiliki dua implikasi hukum yang berbeda.
Dalam konteks ini, kedudukan KY tidak hanya sekedar melaksanakan upaya represif tetapi juga upaya preventif dalam proses pengawasan.
Hal demikian dalam upaya preventif misalnya, diwujudkan melalui tugas KY dalam ‘mengambil langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim’.
Dengan demikian fungsi KY dalam pengawasan juga dapat dimaknai setidaknya dalam dua hal. Pertama, pengawasan terhadap implementasi KEPPH dan penegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku hakim (upaya represif).
Dalam hal ini hakim menjadi ‘obyek’ pengawasan. Kedua, pengawasan terhadap perlindungan hukum bagi hakim dalam menjaga kehormatan dan keluhuran dan martabatnya (upaya preventif) atau hakim menjadi ‘subyek’ pengawasan.
Hal itu menjadi sangat mendesak sebab dewasa ini terjadi upaya-upaya yang berpotensi memberikan ‘teror’ bagi independensi hakim, serta merendahkan kehormatan dan keluruhan martabat hakim. Keadaan ini semakin hari semakin mengkhawatirkan dan menunjukkan problematika yang semakin kompleks.
Baru saja publik dikejutkan dengan peristiwa terbakarnya rumah Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Medan (4/11/2025). Bukan tanpa sebab, peristiwa pembakaran ini disinyalir dikaitkan dengan perkara korupsi yang sedang ditangani yang diikuti dengan rentetan kejanggalan sebelum terbakarnya rumah.
Selain itu, pada awal Maret 2025 yang lalu, seorang Hakim Pengadilan Agama Batam dibacok oleh orang tak dikenal saat hendak berangkat kerja.
Pada saat itu korban baru saja keluar rumah dan hendak berangkat ke kantornya. Adapun pelaku diduga terdiri dari 2 orang. Akibat perbuatan tersebut, korban mendapatkan perawatan medis di rumah sakit.
Kasus lain yang mengemuka adalah kegaduhan yang dilakukan oleh advokat Razman Nasution dan Firdaus Oiwobo pada sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Akibat kericuhan tersebut menyebabkan sumpah advokat keduanya dibekukan oleh Mahkmah Agung. Ilustrasi di atas merupakan fenomena gunung es, beberapa diantara ratusan peristiwa yang terjadi bagi hakim yang sedang menjalankan tugas.
Reformulasi
Oleh sebab itu diperlukan suatu penguatan konsep perlindungan hukum terhadap hakim melalui penguatan kewenangan Komisi Yudisial (KY) utamanya dalam kerangka upaya preventif.
Penguatan ini difokuskan dengan tujuan meningkatkan proses pengawasan yang optimal, advokasi dan perlindungan hukum bagi hakim dalam menjaga kehormatan dan keluhuran dan martabatnya serta perlindungan hukum dan perlakuan yang adil bagi hakim perempuan.
Urgensi Kerja Sama Antar Lembaga Dalam Pelaksanaan Kewenangan KY
Pembentukan KY pada masa reformasi merupakan amanat konstitusi. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24 B ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengamanatkan ‘Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim’.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa kewenangan KY dalam melaksanakan upaya yang bersifat preventif dan represif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan kewenangan yang bersifat konstitutif sehingga menjadi sangat relevan untuk dilakukan proses penguatan.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang pada pokoknya mengatur penjabaran kewenangan KY sebagai berikut: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; menetapkan KEPPH bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Salah satu cara yang dapat diwujudkan melalui kerjasama dengan lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat terkait.
Berdasarkan Max Wiber, dalam teori birokrasi mengemukakan kerja sama merupakan kontribusi dalam organisasi yang paling efisien bagi organisasi untuk mencapai tujuan.
Apabila ditinjau dari segi yuridis, dalam peraturan perundang-undangan memungkinkan KY untuk melaksanakan kerja sama dengan pihak terkait dalam rangka menjalankan kewenangannya.
Ketentuan ini secara implisit termuat dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018. Dalam ketentuan tersebut, secara tersirat dijelaskan bahwa ‘Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH’.
Makna ‘dapat meminta bantuan’ dapat diinterpretasikan dengan adanya opsi bagi KY untuk menjalin koordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya utamanya dalam konteks pengawasan.
Lebih lanjut, dalam ketentuan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 4 Tahun 2024 telah diatur mengenai mekanisme dan tata cara kerjasama antara KY dengan lembaga lain.
Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan a quo, dijelaskan bahwa ruang lingkup kerja sama antara KY dengan stakeholder lain mencakup antara lain tentang pelaksanaan wewenang dan tugas, pertukaran data dan atau informasi, pengembangan kompetensi SDM, pemanfaatan sarana dan prasarana termasuk kegiatan lain yang disepakati.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara gramatikal dapat dipahami bahwa pelaksanaan kerja sama dalam upaya yang bersifat preventif dapat dilaksanakan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK adalah lembaga yang oleh pembentuk aturan diberi tugas dan kewenangan untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan korban.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim sangat rentan mengalami berbagai kekerasan baik yang bersifat fisik, psikis, seksual termasuk tindakan-tindakan yang bersifat intimidatif.
Sekira 20 (dua puluh) tahun silam, hakim agung Syafiuddin Kartasasmita dibunuh oleh satu pihak dalam perkara yang ditanganinya.
Selain itu, ada juga hakim yang dibakar rumahnya, diserang menggunakan ikat pinggang, dibacok bahkan diteror rumah atau alat transportasinya.
Data hasil survei KY menunjukkan, dari 120 satuan kerja yang disurvei sebanyak 59% (lima puluh sembilan persen) hakim mengaku pernah mengalami tindakan contempt of court seperti ancaman pembunuhan, guna-guna, dan santet.
Sementara 38,5% (tiga puluh delapan persen) lainnya mengaku pernah mengalami bahaya contempt of court.
Keadaan ini diperparah dengan belum jelasnya implementasi terkait jaminan keamanan bagi hakim, sebagaimana yang secara atributif diatur dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang pada pokoknya menyatakan ‘negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman’.
Adanya kendala dalam pelaksanaan jaminan keamanan bagi hakim, sedangkan serangan dan teror bagi hakim semakin meningkat dan dinamis mendorong KY untuk dapat meningkatkan pengawasan dalam kerangka upaya preventif melalui kerja sama antara KY dan LPSK RI dalam memberikan perlindungan hukum bagi hakim yang menjadi saksi dan korban dalam suatu tindak pidana yang terjadi maupun dihadapi.
Menurut Stephen Scafer sebagaimana yang dikutip oleh Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, terdapat 4 (empat) sistem dalam perlindungan hukum meliputi ganti rugi (damage), kompensasi yang bersifat keperdataan melalui proses pidana, restitusi yang bersifat perdata dan tercampur dengan sifat pidana, dan kompensasi yang bersifat perdata.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberikan perlindungan hukum kepada korban suatu tindak pidana, yaitu dengan diberikanya hak-hak kepada korban dan saksi yaitu: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan, dirahasiakan identitasnya, mendapat identitas baru, mendapat tempat kediaman sementara, mendapat tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, mendapat nasihat hukum, memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir dan mendapat pendampingan.
Berdasarkan uraian tersebut, dengan dilaksanakannya kerjasama antara KY dan LPSK, maka perlindungan hukum bagi hakim yang berpotensi menjadi korban terhadap terhadap suatu ancaman, serangan dan tindakan yang bersifat ‘intimidatif’ dapat dilaksanakan secara optimal sesuai dengan hak-hak yang secara eksplisit telah diatur dalam undang-undang.
Dengan adanya perlindungan hukum yang optimal dan menyeluruh tersebut, maka kualitas jaminan keamanan bagi hakim dapat meningkat, sembari mendorong pemerintah untuk segera melaksanakan pemenuhan jaminan keamanan bagi hakim, sehingga berbanding lurus dengan independensi dan kemandirian hakim dalam mewujudkan putusan yang berkeadilan.
Komnas Perempuan
Selama tahun 2024, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 445.502 kasus.
Jumlah ini mengalami kenaikan 43.527 kasus atau dengan presentase sejjumlah 9,77% (sembilan koma tujuh puluh tujuh persen) dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, jumlah kekerasan berbasis gender terhadap perempuan juga mengalami peningkatan menjadi 330.097 kasus atau meningkat sebesar 14,17% (empat belas koma tujuh belas persen).
Terjadinya kekerasan terhadap perempuan dilatarbelakangi budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua.
Konsideran deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyebutkan secara tegas bahwa akar masalah kekerasan terhadap perempuan, termasuk didalamnya adalah kekerasan seksual adalah ketimpangan historis dari hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Hal demikian juga terjadi pada hakim perempuan, yang sangat berpotensi menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis dan seksual serta kekerasan berbasis gender seperti menjadi korban KDRT, korban perceraian dan korban perselingkuhan saat melaksanakan tugasnya.
Dalam menghadapi situasi tersebut, KY secara proaktif dapat menjalin koordinasi dan kerjasama dengan Komnas Perempuan dalam rangka perlindungan hukum terhadap hakim perempuan.
Perlindungan hukum tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas merupakan pengawasan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Adapun ruang lingkup kerja sama yang dapat dilaksanakan antara kedua lembaga antara lain mencakup: pertama, pendampingan dan advokasi hakim perempuan yang menjadi korban kekerasan untuk memperoleh pemulihan terhadap hak-haknya, dan kedua mendorong perumusan kebijakan perlindungan hukum dan jaminan keamanan, kesetaraan gender bagi hakim perempuan kepada pemerintah.
Organisasi Advokat
Peluang kerja sama antara Komisi Yudisial dan organisasi advokat dimaksudkan dalam rangka pendampingan hukum dan advokasi bagi hakim yang menjadi korban suatu tindak pidana.
Terlebih saat ini, KY belum memiliki mekanisme dan prosedur yang jelas dalam perlindungan bagi hakim tersebut. Padahal, pendampingan hukum bagi hakim dalam proses penyidikan, penuntutan atau persidangan di pengadilan merupakan perwujudan kewenangan KY dalam menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim serta penerapan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
Selain sebagai perwujudan penjagaan atas jaminan, kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim, sejatinya pendampingan hukum oleh advokat adalah hak yang diberikan bagi setiap warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum.
Dengan adanya berbagai kerja sama tersebut, diharapkan fungsi Komisi Yudisial dalam memberikan perlindungan hukum bagi hakim dalam menjaga kehormatan dan keluhuran dan martabatnya (upaya preventif) dapat berjalan efektif dan optimal sehingga berkontribusi positif dalam mendorong independensi dan kemandirian peradilan.




