Evolusi Predikat Kehormatan bagi Sang Pengadil

Pada akhirnya, baik disebut Qadhi, Yang Mulia, atau Your Honour, maknanya tetap satu menjadi penjaga nurani keadilan.
Ilustrasi palu hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi palu hakim. Foto : Freepik

Penyebutan “Yang Mulia” Bagi Sang Pengadil

Setiap zaman, orang yang menegakkan hukum selalu diberi tempat terhormat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, hakim disebut Qadhi

Qadhi, bukan hanya memutus perkara, melainkan menjaga keadilan dan martabat umat. Mereka tidak disapa Yang Mulia, namun setiap kata dan putusannya membuat orang menunduk hormat. 

Sapaan mulia waktu itu, bukan lewat lidah, melainkan lewat sikap dan keadilan yang hidup di hati masyarakat. 

Berabad-abad kemudian, di ruang sidang modern, kita mendengar panggilan yang sakral Yang Mulia Hakim atau Your Honour.

Suara itu bergema, bukan hanya karena aturan, melainkan keyakinan bahwa di kursi hakim, keadilan sedang berbicara.

Namun, di tengah hiruk-pikuk dunia modern, muncul pertanyaan sederhana yakni apakah kemuliaan itu masih tinggal di hati, atau sekadar berhenti di sebutan formal di ruang sidang? 

Pada akhirnya, baik disebut Qadhi, Yang Mulia, atau Your Honour, maknanya tetap satu menjadi penjaga nurani keadilan. Sebab kemuliaan sejati, bukan datang dari gelar, melainkan keberanian menegakkan kebenaran, meski dunia tidak selalu sejalan.

Qadhi, Ulama, dan Sang Pengadil di Masa Klasik

Pada masa keemasan Islam, seorang Qadhi tidak sekadar pengambil keputusan hukum. 

Ia adalah sosok yang menuntun masyarakat dengan ilmu, akhlak, dan kebijaksanaan. Keadilan, bukan hanya tentang benar atau salah, tetapi tentang menjaga martabat manusia di hadapan Allah. 

Imam Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, yakni Keadilan adalah tiang penyangga dunia. Bila ia roboh, runtuhlah tatanan manusia.

Maka, Para khalifah seperti Umar bin Khattab menaruh perhatian besar pada kesejahteraan dan integritas hakim. 

Dalam risalahnya kepada Qadhi Abu Musa al-Asy’ari, Umar menulis pesan yang abadi yakni samakanlah kedudukan manusia di hadapanmu dalam pandangan, dalam ucapan, dan dalam keputusan, agar orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu, dan orang yang kuat tidak berharap pada kecuranganmu.

Rangkaian perkataan dimaksud, menunjukkan bahwa predikat mulia bagi hakim, tidak perlu diucapkan karena sudah hidup dalam perilaku dan keteladanan. Kemuliaan seorang Qadhi tampak dari wajah yang jujur, hati yang bersih, dan keberaniannya menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Era Kekinian Penyebutan Yang Mulia Bagi Sang Pengadil

Beranjak ke masa modern, penghormatan terhadap hakim berkembang menjadi bentuk yang lebih simbolik. Banyak negara, hakim dipanggil dengan sebutan Your Honour yang merupakan sebuah sapaan mencerminkan penghormatan terhadap lembaga hukum, bukan hanya orangnya. 

Hakim Amerika Serikat Benjamin Cardozo pernah mengatakan The judge is not a knight- errant roaming at will in pursuit of his own ideal of beauty or of goodness. (Hakim bukanlah ksatria yang berkelana demi idealismenya sendiri, melainkan penjaga tatanan keadilan yang ditopang hukum dan nurani.) 

Begitu pula di Indonesia, sebutan Yang Mulia, tidak hanya menjadi protokol ruang sidang, tetapi juga simbol kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan. 

Seperti kata Prof. Satjipto Rahardjo, Hukum tidak boleh mati di tangan hakim, karena hakimlah yang memberi nyawa bagi keadilan.

Yang Mulia: Antara Simbol dan Substansi

Kemuliaan sejati bukan soal gelar, melainkan sikap bagaimana seorang hakim menjaga kejujuran, ketegasan, dan empati dalam setiap putusan. 

Seorang hakim bisa saja duduk di kursi megah dan dipanggil Yang Mulia, tetapi nilai itu baru hidup jika ia mampu menundukkan ego dan menjunjung nurani.

Seperti pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Jangan lihat siapa yang berkata, tapi lihatlah apa yang dikatakan. Kalimat ini, seakan menegaskan bahwa martabat seorang hakim tidak lahir dari jabatan, tetapi dari isi keadilannya.

Dalam konteks modern, Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., pernah berujar, the life of the law has not been logic; it has been experience. (hidupnya hukum bukan karena logika semata, melainkan pengalaman dan kebijaksanaan manusia yang menegakkannya.) 

Kalimat dimaksud mengingatkan bahwa di balik teks hukum yang kaku, selalu ada ruang bagi nurani untuk berbicara. 

Inilah yang menjadi substansi dari panggilan Yang Mulia dan bukan penghormatan kosong, tetapi pengakuan bahwa hakim memikul tanggung jawab moral yang sangat berat menegakkan hukum sambil menjaga rasa kemanusiaan. 

Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung meneguhkan kemuliaan, khususnya nilai integritas, kejujuran, dan ketidakberpihakan, tanpa integritas, sapaan Yang Mulia hanyalah hiasan formal, namun dengan integritas, panggilan itu menjadi doa yang hidup, sekaligus amanah yang tak boleh dikhianati.

Kembali ke Hakikat: Mulia Karena Amanah

Pada akhirnya, sebutan Yang Mulia bukan sekadar penghormatan bagi jabatan, tetapi pengingat tentang amanah yang melekat padanya. 

Di balik toga hitam dan palu sidang, seorang hakim memikul beban moral yang tidak ringan, karena menjaga keadilan agar tetap hidup di tengah dunia yang sering abu-abu. 

Kita tidak lagi hidup di masa para Qadhi yang ditunjuk langsung oleh khalifah, namun pesan moralnya tetap sama yakni kemuliaan tidak diwariskan oleh gelar, melainkan dibangun dari kejujuran dan tanggung jawab. 

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menulis, “Keadilan adalah timbangan Allah di muka bumi. Barang siapa menegakkannya, maka ia berada di bawah naungannya.”

Begitu pula pesan klasik yang diwariskan oleh Umar bin Khattab, “egakkan keadilan, meski langit akan runtuh.”

Sebuah kalimat menembus zaman, mengingatkan bahwa hakim sejati tidak mencari kehormatan dari manusia, tetapi dari kebenaran yang ia bela. 

Era modern, ketika dunia sibuk dengan sorotan publik dan media sosial, panggilan “Yang Mulia” menjadi ujian baru.

Dalam dunia peradilan, kemuliaan sejati bukan tentang kebebasan pribadi, tetapi tentang keberanian menjaga kebebasan dan martabat orang lain. 

Maka siapapun dia, baik dipanggil Qadhi, Your Honour, atau Yang Mulia, sejatinya hanya ada satu syarat untuk benar-benar layak disapa demikian, yakni menjadi manusia yang jujur, bijaksana, dan setia pada nurani keadilan.

Sebagai Penutup

Dalam setiap zaman, kehormatan seorang hakim selalu menjadi cermin dari peradaban yang menjunjung keadilan. 

Gelar Yang Mulia, bukan sekadar panggilan sopan, melainkan pengakuan bahwa keadilan memerlukan sosok yang tidak hanya berilmu, tapi juga berjiwa besar. 

Sebagaimana kata Mahatma Gandhi, the true measure of any society can be found in how it treats its most vulnerable members. (ukuran sejati dari suatu masyarakat terlihat dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.) 

Ukuran kemuliaan tidak ditentukan oleh toga atau gelar, melainkan cara seorang hakim memperlakukan setiap pencari keadilan dengan empati dan keberanian moral. 

Sementara Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, pernah menegaskan without justice, there can be no peace. Without peace, there can be no justice.

Dua kalimat ini menyatu menjadi pesan universal, yakni “Yang Mulia” bukanlah gelar yang diminta, melainkan penghargaan yang tumbuh dari sikap adil, rendah hati, dan keberanian menegakkan kebenaran di atas segalanya.

Sumber Bacaan dan Inspirasi

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin (Juz II). Beirut: Dar al-Fikr.
Cardozo, B. N. (1921). The Nature of the Judicial Process. New Haven, CT: Yale University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt1xp3t2
Umar bin Khattab. (1979). Risalah kepada Qadhi Abu Musa al-Asy’ari, dalam Abu Yusuf,
Kitab al-Kharaj. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Holmes, O. W. Jr. (1921). The Common Law. Boston: Little, Brown and Company. https://doi.org/10.2307/1320076
Gandhi, M. (1992). Collected Works of Mahatma Gandhi (Vol. 87). New Delhi: Publications Division, Government of India.
Annan, K. (2009). Address on the Occasion of the 60th Anniversary of the Geneva Conventions. Geneva: Kofi Annan Foundation. Retrieved from https://www.kofiannanfoundation.org/publication/address-on-the-occasion-of-the-60th- anniversary-of-the-geneva-conventions/
Mandela, N. (1995). Long Walk to Freedom: The Autobiography of Nelson Mandela. Boston: Little, Brown and Company. Retrieved from https://www.nelsonmandela.org/a-selection-of- nelson-mandela-quotes

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews