Satu lagi kabar duka datang dari dunia peradilan, seorang hakim ditemukan meninggal dunia di rumah kos.
Kematian itu menambah daftar panjang hakim yang berpulang jauh dari keluarga dan sendirian, dalam kesunyian, di tengah pengabdian yang tidak pernah berhenti.
Tentu, kematian adalah rahasia Tuhan, dan setiap jiwa akan menempuh takdirnya masing-masing. Namun, peristiwa seperti ini seharusnya menjadi bahan renungan serius, bukan sekadar berita yang berlalu begitu saja.
Ada sistem, kebiasaan, dan kultur yang patut ditinjau kembali, tentang bagaimana hakim-hakim kita menjalani tugasnya jauh dari keluarga, dan bagaimana negara memperlakukan mereka sebagai manusia, bukan sekadar aparatur.
Selama ini, penempatan hakim di luar daerah sering dianggap sebagai bagian dari pengayaan pengalaman dan perluasan wawasan. Ada yang lintas kabupaten, lintas provinsi, bahkan lintas pulau.
Hal itu memang baik, agar hakim mengenal beragam karakter masyarakat dan pola penegakan hukum di berbagai daerah. Tetapi di balik idealisme dimaksud, tersembunyi potret kesendirian yang panjang.
Tidak semua hakim mampu membawa serta keluarganya. Biaya hidup yang tinggi, sekolah anak, atau pekerjaan pasangan sering menjadi penghalang. Maka, mereka pun memilih hidup sendiri di rumah kos atau kontrakan sederhana dan mengurus semua kebutuhan sendiri, dari mencuci hingga menyiapkan makan.
Di titik inilah kehidupan mandiri, justru berubah menjadi kehidupan yang rawan. Hakim yang sudah berusia di atas 50 tahun, misalnya, berhadapan dengan risiko kesehatan yang tidak ringan.
Makan di warung setiap hari memang praktis, tetapi siapa yang menjamin higienitas dan kecocokannya bagi tubuh yang mulai menua? Kolesterol, tekanan darah, asam urat, hingga gangguan jantung bisa datang tanpa tanda.
Ketika serangan mendadak itu tiba, berupa angin duduk atau tekanan jantung, dapat saja tidak ada keluarga di sisi. Telepon genggam mungkin ada, tetapi siapa yang sempat menekan tombol panggilan dalam keadaan seperti itu?
Lebih menyedihkan lagi, kondisi ini sering tidak mendapat perhatian serius dari negara.
Negara masih memandang kehidupan personal hakim sebagai urusan masing-masing dan sering dianggap bukan bagian dari tugas kedinasan.
Padahal, penghormatan terhadap hakim bukan sekadar soal upah, melainkan juga penghargaan terhadap martabat kemanusiaannya.
Upaya memuliakan hakim memang telah menjadi komitmen negara, namun realisasinya belum sempurna dan masih jauh menjangkau sisi kemanusiaan sang pengadil.
Bagi pimpinan pengadilan tidak cukup hanya menjadi administrator atau pengelola perkara, mereka juga harus menjadi pengayom, pelindung, dan penuntun bagi para hakim yang dipimpinnya.
Sebab, pada akhirnya, seorang hakim bukan hanya manusia hukum, tetapi juga manusia biasa yang butuh diperhatikan, disapa, dan dirawat sisi kemanusiaannya.
Kematian seorang hakim di rumah kos, seharusnya tidak hanya menambah daftar berita duka. Ia adalah cermin kecil dari persoalan besar, bahwa di balik toga yang tampak gagah, ada manusia yang rentan dan di balik tugas yang mulia, ada kesepian yang panjang.





