Mengenal HIR dan RBg, Hukum Acara Perdata Peninggalan Kolonial Belanda di Indonesia

Karena 2 (dua) sumber hukum acara perdata sampai saat ini masih eksis dan digunakan di Indonesia, baik dalam praktik peradilan maupun untuk pembelajaran
Mengenal HIR dan RBg. Foto : DJKN Kemenkeu
Mengenal HIR dan RBg. Foto : DJKN Kemenkeu

Semua praktisi dan akademisi hukum di Indonesia tentu tidak asing dengan Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtregelement voor de Buitengewesten (RBg). 

Karena 2 (dua) sumber hukum acara perdata sampai saat ini masih eksis dan digunakan di Indonesia, baik dalam praktik peradilan maupun untuk pembelajaran di dunia akademis.

Namun, banyak diantara kita yang tidak mengetahui darimana asal muasal kedua peraturan fundamental dalam hukum acara perdata tersebut. 

Berbicara asas konkordansi (penyelarasan hukum antara kolonial dan negara jajahan) bisa dipastikan bahwa 2 (dua) sumber hukum tersebut pastinya adalah peninggalan kolonial belanda. Lalu, seperti apa prosesnya, mari kita simak sejarahnya: 

Masa Awal Pembentukan

Melalui kronik dan catatan sejarah diketahui, pada 5 Desember 1846 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochusen mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3 yang isinya memerintahkan kepada Mr. H. L. Wichers (Presiden Hooggerechtshof) yang diberi tugas untuk merancang sebuah reglemen (peraturan) tentang administrasi polisi dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan bumiputera. Hooggerechtshof adalah badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda.

Setelah itu, Mr. H. L. Wichers dalam kurun waktu tertentu berhasil mengajukan sebuah rancangan peraturan acara perdata dan pidana yang terdiri dari 432 Pasal kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen.

Awalnya HIR bernama Indonesisch Reglement (Reglemen Indonesia) yang berarti reglemen bumiputera. Indonesisch Reglement (Reglemen Indonesia) atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah Kolonial Belanda pada 5 April 1848 dan mulai diberlakukan pada 1 Mei 1848. 

Kemudian terjadi pembaharuan IR menjadi HIR dalam kurun waktu sekitar tahun 1849, akan tetapi tidak membawa perubahan apapun pada hukum acara perdata di muka pengadilan negeri di aturan tersebut.

Faktanya pembaharuan HIR tersebut sebenarnya hanya terjadi di bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. 

Isi pembaharuan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (Openbare Ministries) yang berdiri sendiri dan langsung berada di bawah pimpinan Procureur General. 

Hal tersebut disebabkan karena dalam IR apa yang dinamakan jaksa yaitu pada hakikatnya jabatannya tidak lebih daripada seorang bawahan dari asisten residen.

Pada masa kolonial Belanda berlaku dualisme hukum, sehingga peradilan terpecah menjadi 2 (dua), yaitu peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. 

Peradilan Gubernemen adalah peradilan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda atas nama Raja/Ratu Belanda dengan hukum Eropa, sedangkan Peradilan Pribumi (Adat) adalah peradilan yang dijalankan berdasarkan hukum adat setempat oleh hakim-hakim pribumi untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan rakyat pribumi.

Peradilan gubernemen ini berlaku di Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Sehingga disini jelas dibedakan peradilan untuk golongan Eropa (Belanda) (peradilan gubernemen) dan untuk bumiputera (peradilan pribumi).

Pada umumnya peradilan gubernemen untuk golongan eropa ada tingkat peradilan pertama yaitu Raad Van Justitie,  sedangkan untuk golongan bumiputera yaitu Landraad. 

Kemudian Raad Van Justitie ini juga menjadi peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakim-hakim pada kedua macam peradilan tersebut tidak menentu, banyak orang Eropa (Belanda) menjadi hakim Landraad dan ada pula orang bumiputera di Jawa yang menjadi hakim pengadilan karesidenan dimana yurisdiksinya untuk orang-orang Eropa juga.

Dalam perkembangan selanjutnya kurang lebih 1 (satu) abad sejak berlakunya reglement tersebut, ternyata telah banyak perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktek peradilan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam reglement tersebut. 

Dengan demikian ketentuan-ketentuan dalam reglemen itu hanya merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis. Sebenarnya yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan adalah bagian hukum acara pidana.

Untuk daerah di luar Jawa dan Madura, untuk menjamin adanya kepastian hukum acara tertulis di muka pengadilan gubernemen bagi golongan bumiputera dan timur asing di luar Jawa dan Madura, maka pada tahun 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengumumkan reglemen hukum acara untuk daerah seberang dalam Stb No. 227 Tahun 1927 dengan sebutan Rechtsglement voor de Buitengewesten atau RBg. 

Ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam IR untuk golongan bumiputera dan timur asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku di kalangan mereka sebelumnya. 

Dengan terbentuknya RBg ini maka di Hindia Belanda terdapat tiga macam reglemen acara untuk pemeriksaan perkara di muka pengadilan, yaitu 

  • Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), untuk golongan eropa yang berperkara di Raad van Justitie dan Residentie Gerecht;
  • Herziene Inlandsch Reglement (HIR), untuk golongan bumiputera dan timur asing di Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad;
  • Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg), untuk golongan bumiputera dan timur asing di luar Jawa dan Madura yang berperkara di Landraad;

Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan jepang, setelah penyerahan kekuasaan oleh pemerintah Belanda kepada bala tentara Dai Nippon pada bulan Maret 1942, maka pada 7 Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura pembesar bala tentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1942. 

Dalam Pasal 3 disebutkan: “semua badan pemerintah dan kekuasaannya, undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer”

Berdasarkan undang-undang ini, maka peraturan hukum acara perdata untuk Jawa dan Madura masih tetap berlaku HIR. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura badan kekuasaan bala tentara Dai Nippon juga mengeluarkan peraturan yang sama seperti di Jawa dan Madura. Dengan demikian hukum acara perdata untuk luar Jawa dan Madura masih tetap berlaku RBg.

Pada April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan kekuasaan pengadilan. 

Dalam peraturan tersebut ditentukan: “Untuk semua golongan penduduk kecuali orang-orang bangsa jepang hanya diadakan satu jenis pengadilan sebagai pengadilan sehari-hari yaitu pengadilan negeri (Tihoo Hooin) untuk pemeriksaan perkara tingkat pertama dan pengadilan tinggi (Kootoo Hooin) untuk pemeriksaan perkara tingkat kedua”

Berdasarkan peraturan tersebut, semua golongan penduduk termasuk golongan eropa tunduk pada satu jenis pengadilan untuk pemeriksaan perkara pada tingkat pertama, yaitu pengadilan negeri menggantikan Laandlard. Sedangkan Raad van Justitie dan Residente Gerecht dihapuskan.

Dengan demikian Rv, sebagai hukum acara yang diperuntukkan bagi golongan Eropa tidak berlaku lagi. 

Ketentuan hukum acara perdata yang masih berlaku untuk pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan negeri adalah HIR untuk Jawa dan Madura dan RBg untuk daerah di luar Jawa dan Madura.

Sedangkan bagi semua mereka yang hukum materialnya termuat dalam BW (Burgerlijke Wetboek) dan WvK (Wetboek van Koophandel) masih dapat mengikuti ketentuan Rv, sepanjang itu dibutuhkan karena tidak diatur dalam HIR dan RBg.

Masa Kemerdekaan

Perkembangan peraturan hukum acara setelah kemerdekaan masih memakai ketentuan pada masa pemerintahan bala tentara Dai Nippon yang didasarkan atas ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 jo. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Sehingga sampai saat ini HIR dan Rbg tetap berlaku sebagai hukum acara perdata. 

Sampai sekarang belum ada peraturan tentang hukum acara perdata yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia, sehingga HIR dan RBG yang dibentuk oleh kolonial Belanda masih digunakan. HIR dan RBG yang digunakan sekarang menjadi sama sebagai hukum acara perdata yang diadopsi dan berlaku di Indonesia.

Sementara, Pemberlakuan RV secara tegas dihentikan dengan berlakunya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, yang menyatakan bahwa HIR dan RBg berlaku penuh sebagai hukum acara perdata di Indonesia. 

Namun, Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, mengatakan bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku, namun dalam hal/masalah tertentu masih perlu dijadikan pedoman sesuai dengan prinsip process doelmatigheid (kepentingan beracara) atau process orde (ketertiban beracara) bilamana hal tersebut tidak diatur dalam HIR maupun RBg.

Penulis: Adeng Septi Irawan
Editor: Tim MariNews